Kisah Sahabat Rasulullah SAW 37: Qeis bin Sa'ad bin Ubadah



Orang-orang Anshar mengatakan, "Seandainya kami dapat membelikan janggut untuk Qeis dengan harta kami niscaya akan kami lakukan."

Qeis bin Sa'ad bin Ubadah, memang berwajah licin tanpa janggut. Pemuda Anshar ini dicintai umat, selain karena ia berasal dari keturunan keluarga yang dermawan.

"Kedermawanan menjadi tabiat anggota keluarga ini," demikian Rasulullah ﷺ menyebutkan mengenai keluarganya.
Qeis sendiri adalah orang yang lihai dalam tipu muslihat. Ia mahir, licin dan cerdik. Namun, ketika mengenal Islam, ia adalah orang yang jujur dan berterus terang mengenai keadaan dirinya.

"Kalau bukan karena Islam, saya sanggup membuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab manapun! "
Pada peristiwa Shiffin,, Qeis berada di pihak Ali bin Abi Thalib dan menentang Muawiyah. Ia pernah duduk dan merencanakan segala tipu muslihat untuk melaksanakan dukungannya itu. Namun, Qeis kembali teringat akan sebuah ayat Al Quran.

وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِۦ
Dan tidak menimpa rencana jahat (makar) itu kecuali kepada orang yang merencanakannya sendiri.

Quran surat Fathir 43

Maka Qeis mengurungkan niatnya dan memohon ampun kepada Allah. Hampir-hampir ucapannya tak terdengar manakala ia mengatakan, "Demi Allah seandainya Muawiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, terapi hanyalah karena keshalehan dan ketaqwaan kita."

Keluarga Dermawan

Qeis adalah anak dari Sa'ad bin Ubadah, keluarga Anshar dari suku Khazraj. Ayahnya adalah salah seorang pemimpin dikaumnya. Kala masuk Islam, Sa'ad membawa Qeis lalu menyerahkannya kepada Rasulullah ﷺ. Sa'ad berkata, "Inilah khadam Anda ya Rasulullah."

Rasulullah ﷺ menatap Qeis dan melihat tanda keutamaan serta ciri kebaikan. Maka dirangkullah Qeis. Anas, salah seorang sahabat Nabi ﷺ mengatakan bahwa kedudukan Qeis bin Sa'ad tak ubahnya seperti ajudan.

Qeis merupakan seorang Yang berwatak lihai serta licik. Namun, setelah masuk Islam, is belajar mengenaj kejujuran. Setiap kali menghadapi suatu kendala, ia teringat akan perilaku jahilnya dan segera sadar untuk tidak mengulanginya. Ia berkata, "Kalau bukan karena Islam, akan kubuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh bangsa Arab."

Salah satu sifat baik yang ia warisi dari keluarganya adalah kedermawanan. Mereka yang merupakan suku Khazraj suka membantu suku Arab lainnya. Contohnya, memanggil para tamu dari suatu tempat ketinggian untuk mengajak makan siang bersama, atau menyalakan api di malam hari sebagai petunjuk bagi para musafir.

Orang-orang berkata, "Siapa yang ingin memakan lemak dan daging, silakan mampir ke benteng perkampungan Dulaim bin Haritsah. "

Dulaim bin Haritsah adalah kakek kedua bagi Qeis. Disana ia dididik dan mendapat contoh perilaku dermawan.

Suatu hari Unar bin Khattab kepada Abu Bakr radhiyallahu'anhum bercakap-cakap sehingga sampai pada sebuah kesimpulan, "Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kepemurahannya niscaya akan habis licin harta orang tuanya."

Rupanya pembicaraan ini sampai kepada Sa'ad bin Ubadah, ayahanda Qeis, dan membuatnya tidak berkenan. Ia lalu berkata, "Siapa dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan Umar? Diajarkannya anakku kikir dengan memperalat namaku."

Demikian pula kemurahan mereka dalam masalah utang piutang. Sekali waktu seseorang pernah meminjam uang pada Qeis. Saat ia mengembalikan pinjaman uang itu, Qeis menerima kemudian memberikan kembali uang tersebut kepada orang tadi. "Kami tak hendak menerima kembali apa-apa yang telah kami berikan."

Membela Ali bin Abi Thalib

Kepemurahan dan keberanian adalah dua sifat yang saling melengkapi. Orang yang pemurah sudah pasti berani. Orang yang berani, tanpa sifat pemurah biasanya hanya berlagak saja.

Demikian pula Qeis. Ia adalah seorang pemurah dan seorang pemberani, yaitu dengan selalu turut berperang di jalan Allah bahkan sampai setelah Rasulullah wafat ﷺ.

Qeis awalnya adalah seorang licik yang pandai bersilat lidah. Diam-diam tapi menusuk dari belakang. Setelah mengenal Islam, ia membuang jauh-jauh semua perangai buruknya. Salah satu caranya adalah dengan bersifat terbuka, terus terang dengan penuh keberanian.

"Apabila bendera kemuliaan telah dikibarkan, maka segala kekejian berubah menjadi kebaikan." Demikian Qeis bersyair.
Sewaktu timbul pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, Qeis yang memihak pada Ali pada awalnya memencilkan dirinya. Ia selalu mencari cara penuh kelicikan dalam pikirannya dan mencari pembenaran akan tindakannya itu. Sampai pada satu batas waktu ia berpikir bahwa keberpihakannya kepada Ali telah jelas dan meyakini kebenaran dari sisi Ali, sehingga tak perlu lagi memencilkan diri.

Qeis pun membuang jauh-jauh semua pikiran muslihatnya, dan tampil berani membela Ali. Ia tampil di medan perang Shiffin, Jamal dan Nashrawan. Ia berperang tanpa takut mati sambil juga membawa bendera Anshar.

Qeis berteriak, "Bendera inilah bendera persatuan. Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan. Tiada gentar andaikan hanya Anshar pengibarnya. Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya."
Sebelumnya, Qeis pernah diangkat oleh Imam Ali sebagai gubernur Mesir.

Sementara itu, kekuasaan di Mesir merupakan salah satu hal yang paling berharga yang diinginkan Muawiyah.
Sampai suatu hari ia ditarik kembali dari Mesir oleh Imam Ali. Qeis paham itu adalah salah satu upaya dari Muawiyah. Namun, Qeis tidak merasa itu adalah sebuah pemecatan yang tidak mulia. Kedekatan dengan Ali bin Abi Thalib di Madinah baginya merupakan hal yang lebih baik.
Keberanian Qeis mencapai puncaknya saat Imam Ali meninggal sebagai syuhada. Qeis kemudian membaiatkan dirinya kepada putra Imam Ali, Hassan ra.

Saat Muawiyah memaksa mereka menghunus pedang. Qeis memimpin 5000 orang pasukan dari orang-orang yang telah mencukur kepala mereka tanda berkabung atas wafatnya Ali bin Abi Thalib.

Namun, sejarah berbicara lain. Perang tak akhirnya tidak meletus karena Hassan bin Ali bin AbinThalib memilih untuk mengalah daripada berperang menghadapi Muawiyah. Bukan lantaran takut, namun karena menghindari lebih banyak lagi pertumpahan darah di kalangan muslimin.
Hassan akhirnya bersedia berunding dengan Muawiyah dan merelakannya menjadi pemimpin.

Sementara itu, Qeis masih mempimpin 5000 orang pasukan. Maka dengan kebesaran hati, Qeis berpidato dan bertanya kepada mereka "Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita diambil maut lebih dulu. Tetapi jika kalian memilih perdamaian maka aku akan mengambil langkah-langkah untuk itu."

Pasukan Qeis memilih untuk melaksanakan perdamaian. Maka mereka meminta keamanan dari Muawiyah. Hal tersebut tentu membuat Muawiyah senang karena ia telah bebas dari perlawanan Qeis. Sementara bagi Qeis, hal tersebut semata-mata dilakukan sebagai sebuah perilaku keshalehan.

Meninggal di Madinah

Qeis menghembuskan nafas terakhirnya di Madinah pada 59 Hijriah. Qeis dikenang sebagai sahabat yang selalu mengatakan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah ﷺ:

المكر والخد يعة في النار
"Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka."
Qeis berkata, "Kalau tidaklah aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda tentang ini, niscaya akulah yang paling lihai di antara umat ini."

Qeis berpulang dengan nama baik, kepercayaan, kejujuran dan keberanian.
Salam untukmu Qeis bin Sa'ad bin Ubadah, semoga Allah ﷻ meridhoimu.

Alhamdulillah

Lihat kisah sahabat lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar