Berdoa untuk kebaikan dunia saja belumlah sempurna tanpa kebaikan akhirat. Allah mengajarkannya dalam Al Quran surat Al Baqarah 200-202. Ayat ini berkaitan dengan doa-doa yang dipanjatkan orang saat berhaji.
Bismillahi Rahmaani Rahiim
"Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) nama Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang atau bahkan berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kebaikan di dunia.” Dan tiadalah bagiannya di akhirat. (200)
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".(201)
Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan, dan Allah sangat cepat perhitunganNya." (202)
Asbabun nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan, bahwa orang-orang Jahiliyah wuquf di musim panas. Sebagian dari mereka selalu membangga-banggakan nenek moyangnya yang telah membagi-bagi makanan, meringankan beban, serta membayarkan diat.
Dengan kata lain, di saat wuquf itu, mereka menyebut-nyebut apa yang pernah dilakukan oleh nenek moyangnya. Menurut riwayat lain, orang-orang di masa itu apabila telah melakukan manasik, berdiri di sisi jumroh, menyebut-nyebut jasa nenek moyang di zaman jahiliyah. Maka turunlah ayat Al Baqarah 200.
Salah satu suku Arab sesampainya ke tempat wuquf berdoa, “Ya Allah semoga Allah menjadikan tahun ini tahun yang banyak hujannya, tahun makmur yang membawa kemajuan dan kebaikan. Mereka tidak menyebut-nyebut urusan akhirat sama sekali. Maka Allah menurunkan ayat 201 tersebut di atas sebagai petunjuk bagaimana seharusnya berdoa.
Setelah itu, kaum muslimin berdoa sesuai petunjuk dalam Al Quran. Allah menjelaskan pembalasan atas doa itu pada ayat berikutnya 202.
Alhamdulillah
Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang dikehendakinya menuju jalan yang lurus. Quran An Nur 46
▼
▼
▼
Olok-Olok Kaum Munafik
Kaum munafik adalah mereka yang pandai bersilat lidah. Mereka berkata indah di depan kita, tapi menyumpahi di belakang kita. Semasa Rasulullah SAW, para sahabat pun tak lepas dari ulah para penjilat ini. Kalau bukan karena rahmat Allah SWT, tingkah polah kaum munafik yang bermuka dua tak akan terungkapkan. Seperti halnya firman Allah dalam Surat Al Baqarah 14.
Bismillahi Rahmaani Rahiim
Dan bila mereka dengan orang-orang beriman mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila berjumpa mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.”
Asbabun nuzul:
Surat Al Baqarah ayat 14 diturunkan tentang Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya dalam suatu peristiwa saat mereka bertemu beberapa sahabat Nabi SAW. Abdullah bin Ubay berkata kepada teman-temannya, “Lihatlah bagaimana caranya aku mempermainkan mereka yang bodoh-bodoh itu!”
Ia pun mendekat dan menjabat tangan Abu Bakar sambil berkata, “Selamat Penghulu Bani Taim dan Syaikhil Islam dan orang kedua beserta Rasulullah di gua (Thur) yang mengorbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah.”
Kemudian Abdullah bin Ubay menjabat tangan Umar sambil berkata, “Selamat penghulu Bani Adl bin Kab yang mendapat gelaran al Faruq, yang kuat memegang agama Allah yang mengorbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah.”
Setelah menjabat tangan Umar, ia berpindah menjabat tangan Ali bin Abi Thalib sambil berkata, “Selamat saudara sepupu Rasulullah, menantunya dan penghulu Bani Hasyim sesudah Rasulullah.”
Setelah itu mereka berpisah. Berkatalah Abdullah bin Ubay kepada kawan-kawannya. “Sebagaimana kamu lihat perbuatanku tadi jika kamu bertemu dengan mereka, berbuatlah seperti apa yang kulakukan.”
Kawan-kawannya pun memuji-muji Abdullah bin Ubay. Setibanya kaum muslimin (Abu Bakar, Umar dan Ali bin Abi Thalib) kepada Nabi SAW mereka memberitahukan peristiwa tadi. Maka turunlah ayat 14. Allah membukakan kepalsuan golongan munafik terhadap kaum muslimin.
Alhamdulillah
Dan bila mereka dengan orang-orang beriman mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila berjumpa mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.”
Asbabun nuzul:
Surat Al Baqarah ayat 14 diturunkan tentang Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya dalam suatu peristiwa saat mereka bertemu beberapa sahabat Nabi SAW. Abdullah bin Ubay berkata kepada teman-temannya, “Lihatlah bagaimana caranya aku mempermainkan mereka yang bodoh-bodoh itu!”
Ia pun mendekat dan menjabat tangan Abu Bakar sambil berkata, “Selamat Penghulu Bani Taim dan Syaikhil Islam dan orang kedua beserta Rasulullah di gua (Thur) yang mengorbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah.”
Kemudian Abdullah bin Ubay menjabat tangan Umar sambil berkata, “Selamat penghulu Bani Adl bin Kab yang mendapat gelaran al Faruq, yang kuat memegang agama Allah yang mengorbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah.”
Setelah menjabat tangan Umar, ia berpindah menjabat tangan Ali bin Abi Thalib sambil berkata, “Selamat saudara sepupu Rasulullah, menantunya dan penghulu Bani Hasyim sesudah Rasulullah.”
Setelah itu mereka berpisah. Berkatalah Abdullah bin Ubay kepada kawan-kawannya. “Sebagaimana kamu lihat perbuatanku tadi jika kamu bertemu dengan mereka, berbuatlah seperti apa yang kulakukan.”
Kawan-kawannya pun memuji-muji Abdullah bin Ubay. Setibanya kaum muslimin (Abu Bakar, Umar dan Ali bin Abi Thalib) kepada Nabi SAW mereka memberitahukan peristiwa tadi. Maka turunlah ayat 14. Allah membukakan kepalsuan golongan munafik terhadap kaum muslimin.
Alhamdulillah
Berprasangka Baik Kepada Allah
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Nabi SAW bersabda:
“Allah Ta’ala berfirman, 'Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR bukhari dan Muslim)
Salah satu ibadah hati adalah berprasangka baik kepada Allah. Berprasangka baik tidaklah cukup hanya di hati namun juga dilaksanakan dalam amalan ibadah yang baik dan benar.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Telah jelas perbedaan antara husnuzhan dan ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik mendorong lahirnya amal, menganjurkan, membantu dan menuntun untuk melakukannya. Inilah sikap yang benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang dalam kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik itu adalah pengharapan (raja), barangsiapa pengharapannya membawa kepada kataatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar. Dan barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap berharapnya berarti enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya.‘ (Al-Jawab Al-Kafi, hal. 24)
Syekh ShAleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Prasangka yang baik kepada Allah seharusnya disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak,maka itu termasuk sikap merasa aman dari azab Allah. Jadi, prasangka baik kepada Allah harus disertai dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan kejelekan, itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu adalah pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar Allah." (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2/269)
Kapan kita berprasangka baik kepada Allah?
Pertama, saat menunaikan ketaatan kepada Allah.
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Sesungguhnya seorang mukmin ketika berbaik sangka kepada Tuhannya, maka dia akan memperbaiki amalnya. Sementara orang buruk, dia berprasangka buruk kepada Tuhannya, sehingga dia melakukan amal keburukan." (HR. Ahmad, hal. 402).
Ibnu Qayim rahimahullah berkata: “Siapa yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan, akan mengetahui bahwa khusnuzhan kepada Allah adalah memperbaiki amal itu sendiri. Karena yang menjadikan amal seorang hamba itu baik, adalah karena dia memperkirakan Tuhannya akan memberi balasan dan pahala dari amalannya serta menerimanya. Sehingga yang menjadikan dia beramal adalah prasangka baik itu. Setiap kali baik dalam prasangkanya, maka semakin baik pula amalnya."
Abul Abbas Al-Qurtubi rahimahullah berkata: “Pendapat lain mengatakan, maknanya adalah: Mengira akan dikabulkan apabila berdoa, mengira diterima ketika bertaubat, mengira diampuni ketika memohon ampunan, mengira diterima amalnya ketika melaksanakannya dengan memenuhi persyaratan, serta berpegang teguh terhadap kejujuran janji-Nya dan lapangnya KeutamaanNya.
Sabda Nabi SAW, ‘Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan (doanya).’ (HR. Tirmizi shahih)
Kedua, saat mengalami musibah dan saat menjelang kematian.
Dari Jabir radhiallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi SAW tiga hari sebelum wafat bersabda: “Janganlah salah satu di antara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim, 2877)
Al-Khatab berkata, "Dianjurkan bagi yang akan meninggal dunia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Berprasangka baik kepada Allah meskipun sangat dianjurkan ketika mau meninggal dunia dan dalam kondisi sakit, akan tetapi sepantasnya seseorang senantiasa berprasangka baik kepada Allah. " Wallahu'alam.
“Allah Ta’ala berfirman, 'Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR bukhari dan Muslim)
Salah satu ibadah hati adalah berprasangka baik kepada Allah. Berprasangka baik tidaklah cukup hanya di hati namun juga dilaksanakan dalam amalan ibadah yang baik dan benar.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Telah jelas perbedaan antara husnuzhan dan ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik mendorong lahirnya amal, menganjurkan, membantu dan menuntun untuk melakukannya. Inilah sikap yang benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang dalam kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik itu adalah pengharapan (raja), barangsiapa pengharapannya membawa kepada kataatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar. Dan barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap berharapnya berarti enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya.‘ (Al-Jawab Al-Kafi, hal. 24)
Syekh ShAleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Prasangka yang baik kepada Allah seharusnya disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak,maka itu termasuk sikap merasa aman dari azab Allah. Jadi, prasangka baik kepada Allah harus disertai dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan kejelekan, itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu adalah pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar Allah." (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2/269)
Kapan kita berprasangka baik kepada Allah?
Pertama, saat menunaikan ketaatan kepada Allah.
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Sesungguhnya seorang mukmin ketika berbaik sangka kepada Tuhannya, maka dia akan memperbaiki amalnya. Sementara orang buruk, dia berprasangka buruk kepada Tuhannya, sehingga dia melakukan amal keburukan." (HR. Ahmad, hal. 402).
Ibnu Qayim rahimahullah berkata: “Siapa yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan, akan mengetahui bahwa khusnuzhan kepada Allah adalah memperbaiki amal itu sendiri. Karena yang menjadikan amal seorang hamba itu baik, adalah karena dia memperkirakan Tuhannya akan memberi balasan dan pahala dari amalannya serta menerimanya. Sehingga yang menjadikan dia beramal adalah prasangka baik itu. Setiap kali baik dalam prasangkanya, maka semakin baik pula amalnya."
Abul Abbas Al-Qurtubi rahimahullah berkata: “Pendapat lain mengatakan, maknanya adalah: Mengira akan dikabulkan apabila berdoa, mengira diterima ketika bertaubat, mengira diampuni ketika memohon ampunan, mengira diterima amalnya ketika melaksanakannya dengan memenuhi persyaratan, serta berpegang teguh terhadap kejujuran janji-Nya dan lapangnya KeutamaanNya.
Sabda Nabi SAW, ‘Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan (doanya).’ (HR. Tirmizi shahih)
Kedua, saat mengalami musibah dan saat menjelang kematian.
Dari Jabir radhiallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi SAW tiga hari sebelum wafat bersabda: “Janganlah salah satu di antara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim, 2877)
Al-Khatab berkata, "Dianjurkan bagi yang akan meninggal dunia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Berprasangka baik kepada Allah meskipun sangat dianjurkan ketika mau meninggal dunia dan dalam kondisi sakit, akan tetapi sepantasnya seseorang senantiasa berprasangka baik kepada Allah. " Wallahu'alam.
Alhamdulillah
Menanti di Pintu Allah
Suatu kala, Fudayl bin Iyad, seorang pencuri yang menyatakan keislamannya, sedang berjalan ke masjid. Ia melewati sebuah rumah yang didalamnya ada seorang ibu yang sedang memarahi anak laki-lakinya. Lantaran kenakalan si anak, ibu sangat marah dan memukulnya. Si anak berteriak dan berhasil membuka pintu lalu kabur. Masih dengan kesalnya, si ibu mengunci pintu rumah dari anaknya itu.
Ketika Fudayl pulang dari masjid, ia mendapati anak kecil tadi berbaring sesenggukan di depan pintu rumahnya. Mukanya sembab sehabis menangis. Ia hanya diam bersedih mengharapkan maaf dari ibunya. Tak berapa lama Fudayl lewat, hati si ibu telah lembut dan akhirnya membukakan pintu bagi anaknya itu.
Fudayl begitu tersentuh melihat pemandangan demikian. Ia dulunya adalah seorang pencuri. Bahkan saat ia telah menyatakan dirinya Islam, melaksanakan sholat dan puasa, Fudayl masih suka mencuri, terutama barang-barang dari rombongan orang dalam perjalanan. Sampai suatu kali ia mendengar ayat Al Quran surat Al Hadid 16.
“Bukankah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah suatu masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” QS Al Hadiid 16
Fudayl menyadari kesalahannya. Ia jera dan benar-benar tobat. Ketika menyaksikan sang ibu membukakan pintu bagi anaknya, mata air Fudayl berlinangan. Bahkan air mata itu sampai membasahi jenggotnya. Ia berkata:
“Subhanallah, kalau saja seorang hamba selalu sabar menanti di depan pintu Allah, Allah pasti akan membukakan pintuNya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang tetap bersabar, Allah akan membuatnya sabar. Tak seorang pun menerima keberkahan lebih baik dan lebih besar daripada kesabaran.” (Shahih Bukhari)
Ketika Fudayl pulang dari masjid, ia mendapati anak kecil tadi berbaring sesenggukan di depan pintu rumahnya. Mukanya sembab sehabis menangis. Ia hanya diam bersedih mengharapkan maaf dari ibunya. Tak berapa lama Fudayl lewat, hati si ibu telah lembut dan akhirnya membukakan pintu bagi anaknya itu.
Fudayl begitu tersentuh melihat pemandangan demikian. Ia dulunya adalah seorang pencuri. Bahkan saat ia telah menyatakan dirinya Islam, melaksanakan sholat dan puasa, Fudayl masih suka mencuri, terutama barang-barang dari rombongan orang dalam perjalanan. Sampai suatu kali ia mendengar ayat Al Quran surat Al Hadid 16.
“Bukankah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah suatu masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” QS Al Hadiid 16
Fudayl menyadari kesalahannya. Ia jera dan benar-benar tobat. Ketika menyaksikan sang ibu membukakan pintu bagi anaknya, mata air Fudayl berlinangan. Bahkan air mata itu sampai membasahi jenggotnya. Ia berkata:
“Subhanallah, kalau saja seorang hamba selalu sabar menanti di depan pintu Allah, Allah pasti akan membukakan pintuNya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang tetap bersabar, Allah akan membuatnya sabar. Tak seorang pun menerima keberkahan lebih baik dan lebih besar daripada kesabaran.” (Shahih Bukhari)
Istri yang Qanaah
Suatu kali Hasan al-Bashri bercerita, “Aku mendatangi seorang pedagang kain di Mekkah untuk membeli baju, lalu si pedagang mulai memuji-muji dagangannya dan bersumpah. Akupun meninggalkannya dan aku katakan tidaklah layak beli dari orang semacam itu, lalu akupun beli dari pedagang lain.”
Dua tahun setelah itu saat pergi berhaji, aku bertemu lagi dengan pedagang yang sama. Tapi, aku tak lagi mendengarnya memuji-muji dagangannya serta bersumpah. Lantas aku tanyakan kepadanya, ”Bukankah engkau orang yang dulu pernah berjumpa denganku beberapa tahun lalu?” Ia menjawab, “Iya benar.”
Aku bertanya lagi, ”Apa yang membuatmu berubah seperti sekarang? Aku tidak lagi melihatmu memuji-muji dagangan dan bersumpah!”
Pedagang kain itu pun bercerita, ”Dulu aku punya istri yang jika aku datang kepadanya dengan sedikit rizki, ia meremehkannya dan jika aku datang dengan rizki yang banyak ia menganggapnya sedikit. Lalu Allah mewafatkan istriku tersebut, dan akupun menikah lagi dengan seorang wanita. Jika aku hendak pergi ke pasar, ia memegang bajuku lalu berkata:’Wahai suamiku, bertaqwalah kepada Allah, jangan engkau beri makan aku kecuali dengan yang thayyib (halal). Jika engkau datang dengan sedikit rezeki, aku akan menganggapnya banyak, dan jika kau tidak mendapat apa-apa aku akan membantumu memintal (kain).”
Demikianlah perubahan sikap si pedagang karena berubahnya tabiat istrinya di rumah. Istrinya yang qana’ah atau suka menerima dan jiwanya selalu merasa cukup tak membuat suaminya menjadi orang yang berlebih-lebihan saat berdagang. Ukuran Rizki itu terletak pada keberkahannya, bukan pada jumlahnya.
Allah berfirman dalam surat An Nur 26:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”
Sumber : Kitab al-Mujaalasah wa Jawaahirul ‘Ilm (5/252) karya Abu Bakr Ahmad bin Marwan
Alhamdulillah
Dua tahun setelah itu saat pergi berhaji, aku bertemu lagi dengan pedagang yang sama. Tapi, aku tak lagi mendengarnya memuji-muji dagangannya serta bersumpah. Lantas aku tanyakan kepadanya, ”Bukankah engkau orang yang dulu pernah berjumpa denganku beberapa tahun lalu?” Ia menjawab, “Iya benar.”
Aku bertanya lagi, ”Apa yang membuatmu berubah seperti sekarang? Aku tidak lagi melihatmu memuji-muji dagangan dan bersumpah!”
Pedagang kain itu pun bercerita, ”Dulu aku punya istri yang jika aku datang kepadanya dengan sedikit rizki, ia meremehkannya dan jika aku datang dengan rizki yang banyak ia menganggapnya sedikit. Lalu Allah mewafatkan istriku tersebut, dan akupun menikah lagi dengan seorang wanita. Jika aku hendak pergi ke pasar, ia memegang bajuku lalu berkata:’Wahai suamiku, bertaqwalah kepada Allah, jangan engkau beri makan aku kecuali dengan yang thayyib (halal). Jika engkau datang dengan sedikit rezeki, aku akan menganggapnya banyak, dan jika kau tidak mendapat apa-apa aku akan membantumu memintal (kain).”
Demikianlah perubahan sikap si pedagang karena berubahnya tabiat istrinya di rumah. Istrinya yang qana’ah atau suka menerima dan jiwanya selalu merasa cukup tak membuat suaminya menjadi orang yang berlebih-lebihan saat berdagang. Ukuran Rizki itu terletak pada keberkahannya, bukan pada jumlahnya.
Allah berfirman dalam surat An Nur 26:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”
Sumber : Kitab al-Mujaalasah wa Jawaahirul ‘Ilm (5/252) karya Abu Bakr Ahmad bin Marwan
Alhamdulillah
Teman yang Abadi
Sayidina Ali bin Abi Thalib ra pernah meriwayatkan bahwa begitu seseorang meninggal dunia, ketika jenazahnya masih terbujur, diadakanlah “upacara perpisahan” di alam ruh. Pertama-tama ruh mayat akan dihadapkan kepada seluruh kekayaannya yang dia miliki. Kemudian terjadi dialog antara keduanya.
Mayat itu berkata kepada seluruh kekayaannya, “Dahulu aku bekerja keras untuk mengumpulkan kamu, sehingga aku lalai dan lupa untuk mengabdi kepada Allah, bahkan sampai aku tidak mau tahu mana yang benar dan mana yang salah. Sekarang apa yang akan kamu berikan sebagai bekal dalam perjalananku ini.” Lalu harta kekayaan itu berkata, “Ambillah dariku hanya untuk kain kafanmu.” Jadi hanya kain kafanlah harta yang dapat dibawa untuk bekal perjalanan selanjutnya.
Sesudah itu mayat dihadapkan kepada seluruh keluarganya (anak-anaknya, suami atau istrinya), lalu mayat berkata, “Dahulu aku mencintai kalian, menjaga dan merawat kalian dengan sepenuh hatiku. Begitu susah payah aku mengurus kalian sampai lupa mengurus diri sendiri. Sekarang apa yang kalian mau bekalkan kepadaku pada perjalanan menuju Allah ini?” Kemudian keluarganya mengatakan, “Kami antarkan kamu sampai ke kuburan.”
Setelah itu, mayat akan dijemput oleh makhluk yang menjelma dari amalnya. Kalau selama hidup ia banyak beramal saleh, maka dia akan dijemput oleh makhluk yang berwajah ceria dengan memancarkan cahaya dan aroma semerbak, yang jika dipandang akan menimbulkan kenikmatan yang tiada taranya. Sebaliknya, bila waktu hidup sering membangkang pada perintah Allah dan RasulNya, maka si mayat akan dijemput oleh makhluk yang menakutkan, dengan bau yang teramat busuk.
Makhluk jelmaan itu lalu mengajak si mayat pergi. Bertanyalah si mayat, “Siapakah Anda ini sebenarnya? Saya tidak kenal dengan Anda.” Makhluk itu kemudian menjawab, “Akulah jelmaan amalmu sewaktu hidup dan aku akan selalu menerimamu dalam menempuh perjalanan panjang menuju ilahi.”
Perjalanan panjang yang mau tidak mau harus kita jalani kelak, akan ditemani oleh seorang “teman yang abadi” yang sebenarnya kita pilih sendiri. Alangkah bahagianya bila teman ini menyenangkan dan alangkah malangnya bila perjalanan jauh yang seolah-olah tak berujung ditemani sesuatu yang menyengsarakan.
Sesungguhnya kubur adalah permulaan dari tempat-tempat akhirat. Kalau pemiliknya selamat darinya, maka apa yang ada sesudah itu lebih mudah baginya. Kalau pemiliknya tidak selamat darinya, maka apa yang ada sesudahnya adalah lebih berat. Rasulullah SAW menasehatkan, kebinasaan umat Islam ada dalam dua hal, yaitu meninggalkan ilmu dan mengumpulkan harta.
“Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakanmu!” QS Lukman 33
Kalender Lunar Bagi Umat Muslim
Mengapa Umat Muslim Menggunakan Kalender Lunar bukan Kalender Solar?
Kalender Solar
Kalender solar menggunakan musim dan Revolusi Bumi mengitari Matahari. Kalender Solar dipakai oleh bangsa Romawi dan sistem perhitungannya digunakan dalam Kalender Julian. (Wikipedia)
Pada kalender solar, setiap tahun bulannya jatuh pada musim yang sama sesuai lokasi suatu tempat di permukaan bumi. Misalnya di derah sub tropis, bulan Maret, April dan Mei sesuai kalender solar merupakan musim semi. Bulan Juli, Agustus, September musim panas, Oktober, November musim gugur, dan Desember, Januari, sampai Februari musim dingin.
Kalender Lunar
Kalender Lunar adalah kalender yang berpedoman pada revolusi Bulan terhadap Bumi. Satu putaran kalender lunar sama dengan 12 putaran revolusi Bulan. Revolusi Bulan berlangsung selama 29 hari 12 jam 44 menit 9 detik. Sehingga 1 tahunlunar sama dengan 354 hari 10 jam 49 menit 48 detik atau 354,45125 hari (lebih singkat 10 hari 17 jam 4 menit 37 detik atau 10,711539351 hari daripada kalender solar). (Wikipedia)
Kalender lunar berarti memiliki 11 hari lebih sedikit dari kalender solar. Oleh karena itu, setiap tahun, bulan pada kalender lunar akan jatuh lebih cepat dari kalender solar. Maka setelah 33 tahun, pada satu tahun itu, musim akan jatuh pada bulan yang berbeda. Ini sangatlah penting, karena setiap aktivitas muslim tergantung pada perputaran bulan terhadap bumi. Penentuan ini menjadi penting terutama untuk melaksanakan ibadah shaum Ramadan dan haji.
Pada saat Ramadan, muslim harus berpuasa mulai matahari terbit sampai tenggelam. Jika kalender muslim berdasarkan kalender solar dimana jatuhnya bulan pada musim yang sudah pasti, bisa jadi muslim di satu daerah berpuasa hanya pada musim panas saja, dan di daerah lain hanya pada musim dingin saja. Muslim satu tempat berpuasa dengan jam lebih lama seharinya, dan di tempat lain di jam yang lebih pendek seharinya. Berulang terus setiap tahun.
Jika jatuhnya bulan tidak berubah pada musim yang lain, maka orang-orang di bagian bumi tertentu akan hidup di tempat yang kurang menguntungkan secara perhitungan waktu, terus menerus tanpa perubahan selama hidup mereka.
Dengan memakai kalender lunar, setiap muslim akan merasakan shaum di musim yang berbeda, atau di jangka waktu lama puasa yang berlainan yang akan berubah setiap 33 tahun. (sumber:http://irf.net/faq/faq5_68.html)
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." QS At Taubah 36
Alhamdulillah
Kalender Solar
Kalender solar menggunakan musim dan Revolusi Bumi mengitari Matahari. Kalender Solar dipakai oleh bangsa Romawi dan sistem perhitungannya digunakan dalam Kalender Julian. (Wikipedia)
Pada kalender solar, setiap tahun bulannya jatuh pada musim yang sama sesuai lokasi suatu tempat di permukaan bumi. Misalnya di derah sub tropis, bulan Maret, April dan Mei sesuai kalender solar merupakan musim semi. Bulan Juli, Agustus, September musim panas, Oktober, November musim gugur, dan Desember, Januari, sampai Februari musim dingin.
Kalender Lunar
Kalender Lunar adalah kalender yang berpedoman pada revolusi Bulan terhadap Bumi. Satu putaran kalender lunar sama dengan 12 putaran revolusi Bulan. Revolusi Bulan berlangsung selama 29 hari 12 jam 44 menit 9 detik. Sehingga 1 tahunlunar sama dengan 354 hari 10 jam 49 menit 48 detik atau 354,45125 hari (lebih singkat 10 hari 17 jam 4 menit 37 detik atau 10,711539351 hari daripada kalender solar). (Wikipedia)
Kalender lunar berarti memiliki 11 hari lebih sedikit dari kalender solar. Oleh karena itu, setiap tahun, bulan pada kalender lunar akan jatuh lebih cepat dari kalender solar. Maka setelah 33 tahun, pada satu tahun itu, musim akan jatuh pada bulan yang berbeda. Ini sangatlah penting, karena setiap aktivitas muslim tergantung pada perputaran bulan terhadap bumi. Penentuan ini menjadi penting terutama untuk melaksanakan ibadah shaum Ramadan dan haji.
Pada saat Ramadan, muslim harus berpuasa mulai matahari terbit sampai tenggelam. Jika kalender muslim berdasarkan kalender solar dimana jatuhnya bulan pada musim yang sudah pasti, bisa jadi muslim di satu daerah berpuasa hanya pada musim panas saja, dan di daerah lain hanya pada musim dingin saja. Muslim satu tempat berpuasa dengan jam lebih lama seharinya, dan di tempat lain di jam yang lebih pendek seharinya. Berulang terus setiap tahun.
Jika jatuhnya bulan tidak berubah pada musim yang lain, maka orang-orang di bagian bumi tertentu akan hidup di tempat yang kurang menguntungkan secara perhitungan waktu, terus menerus tanpa perubahan selama hidup mereka.
Dengan memakai kalender lunar, setiap muslim akan merasakan shaum di musim yang berbeda, atau di jangka waktu lama puasa yang berlainan yang akan berubah setiap 33 tahun. (sumber:http://irf.net/faq/faq5_68.html)
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." QS At Taubah 36
Alhamdulillah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 5: Thalhah bin Ubaidillah
Thalhah bin Ubaidillah dijuluki si syahid yang hidup. Thalhah pada masa perang Uhud telah berani mengorbankan nyawanya demi melindungi Rasulullah SAW yang kala itu telah terluka. Lebih dari 70 tikaman tombak dan tebasan pedang melukai Thalhah demi melindungi Rasul. Namun, Thalhah yang terluka parah tetap hidup.
Al Quran menjelaskan orang-orang seperti Thalhah: “Di antara orang-orang mukmin itu terdapat sejumlah laki-laki
yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka ada yang
memberikannya nyawanya, sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak
pernah mereka merubah pendiriannya sedikit pun jua.” QS 33 Al Ahzab 23
Setelah membaca ayat itu Rasulullah menunjuk kepada
Thalhah Bin Ubaidillah sambil berkata:
“Siapa yang suka melihat seorang laki-laki yang masih
berjalan di muka bumi, padahal ia telah memberikan nyawanya, maka hendaklah ia
memandang Thalhah.”
Masuk Islam Dibantu Abu Bakar ra.
Dalam perjalanannya berniaga ke kota Bushra, Thalhah bertemu
dengan seorang pendeta yang amat baik. Di waktu itu sang pendeta memberi tahu
padanya, bahwa Nabi yang akan muncul di tanah Haram, sebagaimana telah
diramalkan akan segera datang. Maka tibalah Thalhah di Mekah setelah beberapa
bulan menetap di Bushra, ia mendengar bisik-bisik mengenai Muhammad Al Amin.
Thalhah bertanya kepada Abu Bakar yang baru saja pulang
dengan kafilah dan barang perniagaannya.
Setelah berbincang sejenak, Abu Bakar mengantarkan Thalhah kepada
Rasulullah SAW. Thalhah hendak berjanji
setia kepadanya sehingga menjadikannya diantara orang-orang yang pertama masuk
Islam.
Setelah masuk Islam, Thalhah yang termasuk terpandang
sebagai hartawan besar dengan perniagaan pun tak luput dari penganiayaan kaum
Quraisy. Ia dilindungi oleh Naufal bin Khuwailid, paman dari istri Rasul
Khadijah. Sampai akhirnya Thalhah pun ikut hijrah ke Madinah.
Saat perang Badar, Thalhah tak bisa turut berperang. Ia
diutus ke luar kota oleh Rasulullah SAW bersama Said bi Zaid. Sekembalinya dari
sana, mereka yang berperang juga baru tiba dari perang Badar. Meskipun tak ikut
berperang, Thalhah mendapatkan rampasan perang seperti yang lainnya.
Pelindung Rasulullah SAW di Perang Uhud
Kisah pahit peperangan Uhud terjadi ketika pasukan panah
turun meninggalkan kedudukan mereka tak menghiraukan perintah Rasulullah SAW
hanya untuk memperebutkan harta rampasan. Tiba-tiba pasukan Quraisy menyerang
dari belakang dengan mendadak. Pasukan muslim kucar-kacir. Nabi menjadi sasaran
utama dan sempat terluka.
Thalhah yang melihat bahaya menimpa Rasulullah bergerak
cepat. Ia menebas jalan, menghalau tombak, menikam pedang, demi melindungi
Nabi. Ia lompat dari kudanya, menepis pedang-pedang yang mengarah kepada
Rasulullah yang saat itu telah terluka di bagian wajahnya.
Demikianlah Thalhah sang pelindung Nabi. Berkat
ketangkasannya, ia memapah Rasulullah SAW dengan tangan kirinya, dan menebas
pedang dengan tangan kanannya. Ia
menyerang semua musyrik yang berkeliling di sekitar Rasulullah SAW yang jumlahnya
banyak.
Aisyah ra menceritakan apa yang digambarkan ayahnya Abu Bakar
Shidiq ra mengenai Thalhah:
“Itu semuanya adalah hari Thalhah! Aku adalah orang yang
mula-mula mendapatkan Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, “Tolonglah saudaramu itu…Thalhah!”
Kami lalu menengoknya, dan ternyata pada sekujur tubuhnya terdapat lebih dari
tujuh puluh luka berupa tusukan tombak, sobekan pedang dan tancapan panah, dan
ternyata pula anak jarinya putus, maka kami segera merawatnya dengan baik.”
Thalhah Si Baik Hati
Pada semua medan tempur, Thalhah selalu berada di barisan
terdepan mencari keridhaan Allah dan membela bendera Rasul. Usai berperang di
medan laga, ia akan kembali ke pekerjaannya sebagai pedagang. Perniagaannya
selalu berkembang pesat, dan ia banyak menyumbangkan hartanya. Rasulullah
menyebutnya, “Thalhah si baik hati”.
Istri Thalhah, Su’da bin Auf bercerita mengenai suaminya.
Suatu hari ditemukannya Thalhah sedang sedih. “Ada apa?” kataku. Maka ia
menjawab, “Soal harta yang ada padaku ini, semakin banyak juga, hingga
menyusahkanku dan menyempitkanku.” Aku berkata, “Tidak jadi soal, bagi-bagikan
saja.” Lalu ia berdiri memanggil orang banyak kemudian membagi-bagikannya
sehingga tak ada yang tinggal sedirham.
Suatu kali pernah ia menjual sebidang tanah dengan harga
yang tinggi. Setelah itu, dilihatnya tumpukan uangnya dan ia menangis. “Sungguh
jika seseorang dibebani memiliki harta yang segini banyaknya dan tidak tahu apa
yang akan terjadi, pasti akan mengganggu ketentraman ibadah kepada Allah.” Thalhah kemudian berkeliling membawa hartanya
bersama sahabat dan membagi-bagikannya sampai siang sehingga tak tersisa.
Jabir bin Abdullah menggambarkan pula kepemurahan Thalhah
dengan berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih dermawan dengan
memberikan hartanya yang banyak tanpa diminta terlebih dahulu daripada Thalhah
bin Ubaidillah.”
Thalhah adalah seorang yang banyak berbuat baik kepada
keluarga dan kerabat. Ia menanggung nafkah mereka. Ia menanggung kebutuhan,
mencukupi belanja, menikahkan anak yatim, dan melunasi hutang orang yang
berhutang.
As Saib bin Zaid menceritakan, “Aku telah menemui Thalhah
baik dalam perjalanan maupun waktu menetap, maka tak pernah kujumpai seseorang
yang lebih merata kepemurahannya baik mengenai uang, kain atau makanan daripada
Thalhah.”
Thalhah mendapat julukan, Asy Syahidul Hayy (syahid yang hidup), Al Khair (yang
baik), Al Jauh (yang pemurah), Al
Fayyadh (yang dermawan).
Tetangga Rasulullah dalam Surga
Setelah khalifah Ustman bin Affan terbunuh, bermunculanlah
perpecahan kaum muslimin kala itu. Thalhah sempat berada dalam perpecahan dan
menjadi mereka yang membela kaum yang menuntut Khalifah Ali bin Abi Thalib atas
kematian Ustman. Namun khalifah Ali
mengingatkan Thalhah yang kala itu bersama Zubair, akan pesan Rasulullah SAW.
Ali berkata kepada Zubair yang juga didengar Thalhah. “Hai
Zubair aku minta kau jawab karena Allah. Tidakkah engkau ingatm du suatu hari
Rasulullah lewat di depanmu dan berkata kepadamu, “Wahai Zubair tidakkah engkau
cinta kepada Ali?” Maka jawabmu, “Masak aku tidak cinta kepada saudara
sepupuku, anak bibi dan anak pamanku, serta orang satu agama denganku?” Beliau
Rasulullah SAW menjawab, “Hai Zubair, demi Allah bila engkau memeranginya jelas
engkau berlaku zalim kepadanya.” Berkatalah Zubair, “Yah aku ingat, hampir aku
melupakannya. Demi Allah aku tak akan memerangimu.” Demikian kata Zubair kepada
Ali. Zubair dan Thalhah mundur dari perpecahan dan tak lagi memusuhi Ali.
Mundurnya Thalhah ini justru menjadi ancaman bagi keduanya. Mundurnya
Thalhah dan Zubair dari perpecahan yang menentang khalifah Ali harus ditebus
dengan nyawanya. Zibair dibunuh seorang yang mengikutinya bernama Amru bin
Jarmuz sedangkan Thalhah dibunuh dengan panah oleh Marwan bin Hakam.
Sewaktu Ali meninjau orang-orang yang gugur sebagai syuhada
di medan perang, semua mereka disholatkan. Tatkala ia berada di makam Thalhah
dan Zubair, ia berdiri melepas keduanya dengan kata-kata indah. “Sesungguhnya aku
amat mengharapkan agar aku bersama Thalhah dan Zubair dan Ustman, termasuk di
antara orang-orang yang difirmankan Allah:
“Dan Kami cabut apa yang bersarang dalam dada mereka dari
kebencian sebagai layaknya orang bersaudara, dan di atas pelaminan mereka
bercengkerama berhadap-hadapan…” QS Al Hijr 47
Kemudian Ali berkata, “Kedua telingaku ini telah mendengar
sendiri sabda Rasulullah SAW. Thalhah dan Zubair tetanggaku dalam surga…”
Salam untukmu Thalhah Bin Ubaidillah. Salam untukmu para syuhada.
Alhamdulillah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW yang lain:
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 12: Zaid bin Haritsah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 13: Khubaib bin Adi
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 14: Abbas bin Abdul Muttalib
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 15: Abdullah bin Umar
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 16: Jafar bin Abi Thalib
Kisah Sahabat Rasulullah SAW yang lain:
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 9: Hudzaifah ibnul Yaman
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 10: Miqdad Bin Amr
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 11: Bilal bin RabahKisah Sahabat Rasulullah SAW 10: Miqdad Bin Amr
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 12: Zaid bin Haritsah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 13: Khubaib bin Adi
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 14: Abbas bin Abdul Muttalib
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 15: Abdullah bin Umar
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 16: Jafar bin Abi Thalib
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 18: Ammar bin Yasir
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 19: Abu Hurairah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 20: Utbah bin Ghazwan
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 21: Saad bin Abi Waqqash
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 22: Khalid bin Said bin Ash
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 24: Abdullah bin Amr bin Haram
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 19: Abu Hurairah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 20: Utbah bin Ghazwan
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 21: Saad bin Abi Waqqash
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 22: Khalid bin Said bin Ash
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 24: Abdullah bin Amr bin Haram
Angin Adalah RahmatNya
Saat hari yang panas dan terik. Betapa nikmatnya sekedar istirahat di tangga masjid atau di keteduhan sebuah pohon rindang, meluruskan kaki ditemani angin sepoi-sepoi. Bagi yang berduit bisa memasang AC di rumah. Sebagian yang bekerja tetap tinggal di ruangan kantor yang sejuk. Bagi yang lain lagi, walau ekonomi pas-pasan, rela mengocek selembar ratusan ribu untuk membeli sebuah kipas angin sederhana. Semuanya demi angin dan kesejukan.
Bismillahi Rahmaani Rahiim. “Demi angin yang menerbangkan debu-debu dengan sekuat-kuatnya.” QS Adz Dzaariyaat 1. Angin adalah rahmat Allah SWT. Apa jadinya tanpa angin itu?
...Bersama angin kita merindukan hujan…
“Allah, Dilah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya dan menjadikannya bergumpak-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya yang dikehendakiNya tiba-tiba mereka menjadi gembira.” QS Ar Ruum 43
Bismillahi Rahmaani Rahiim. “Demi angin yang menerbangkan debu-debu dengan sekuat-kuatnya.” QS Adz Dzaariyaat 1. Angin adalah rahmat Allah SWT. Apa jadinya tanpa angin itu?
...Bersama angin kita merindukan hujan…
“Allah, Dilah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya dan menjadikannya bergumpak-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya yang dikehendakiNya tiba-tiba mereka menjadi gembira.” QS Ar Ruum 43
...Bersama angin kita menjemput karuniaNya…
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmatNya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintahNya dan supaya kamu dapat mencari karuniaNya, mudah-mudahan kamu bersyukur.” QS Ar Ruum 46
...Bersama angin kita mengharapkan penghidupan…
“Dan Kami telah mewahyukan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” Qs Al Hijr 22
...Bersama angin menjalankan aturan-aturanNya…
“Dan Kami menjadikan angin itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya.” Qs Al Anbiyaa 32
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmatNya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintahNya dan supaya kamu dapat mencari karuniaNya, mudah-mudahan kamu bersyukur.” QS Ar Ruum 46
...Bersama angin kita mengharapkan penghidupan…
“Dan Kami telah mewahyukan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” Qs Al Hijr 22
...Bersama angin menjalankan aturan-aturanNya…
“Dan Kami menjadikan angin itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya.” Qs Al Anbiyaa 32
...Bersama angin kita dilimpahkan pertolonganNya…
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.” QS Al Ahzab 9
...Bersama angin kita memohon perlindunganNya…
“Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan.” QS Fushshilat 16
Angin ada di sekitar kita. Tak pernah terlihat, begitu mudah terlupakan. Padahal ia meliputi kita sebagai bagian dari rahmatNya.
“Dan pada pergantian malam dan siang, dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkannya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya, dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” Qs Al Jaatsiyah 5
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.” QS Al Ahzab 9
...Bersama angin kita memohon perlindunganNya…
“Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan.” QS Fushshilat 16
Angin ada di sekitar kita. Tak pernah terlihat, begitu mudah terlupakan. Padahal ia meliputi kita sebagai bagian dari rahmatNya.
“Dan pada pergantian malam dan siang, dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkannya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya, dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” Qs Al Jaatsiyah 5
Saat cuaca panas dan diliputi kekeringan, masih ada angin lembut yang mengusap kulit kita. Sesungguhnya Sang Pencipta tak pernah menghapuskan segala karunia dan kasih sayangNya. Bersama angin kita mensucikan dan mengagungkan namaNya. Subhanallahi Wabihamdih Subhanallahilaziim. Allahu Akbar.
Alhamdulillah
Sedikit Tertawa dan Banyak Menangis
Tertawa janganlah melampaui batas. Bismillahi Rahmaani Rahiim. "…dan bahwasanya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” Qs An Najm 43
Hanya persoalan tertawa pun bisa menjadi perbuatan yang melampaui batas. Cara seseorang tertawa mencerminkan bagaimana dirinya. Apakah berlebihan atau biasa saja. Sekadar menyenangkan orang lain yang mengajak bicara, atau dalam rangka meledek.
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” QS At Taubah 82
“Janganlah banyak tertawa, banyak tertawa mengeraskan hati,” Sabda Rasulullah SAW seperti diriwayatkan Abu Hurairah ra dalam Sunan Ibnu Majah.
"Kalaulah kalian tahu yang kutahu, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis." Sabda Rasulullah SAW seperti diceritakan Anas radliallahu 'anhu. Sahih al-Bukhari 6486
Rasulullah SAW adalah orang yang sedikit tertawa tetapi banyak senyum. "Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tertawa terbahak-bahak hingga terlihat langit-langit dalam mulutnya, beliau hanya biasa tersenyum." Dari Aisyah radliallahu 'anha. Sahih al-Bukhari 6092
"Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman." QS Al Mutaffifin 29
Orang-orang yang merasa diri dan perbuatannya paling benar, pastinya suka menertawakan orang lain yang dinilainya lebih bodoh atau salah dibanding dirinya sendiri. Seperti kaumnya nabi Nuh yang menertawakan dan mengolok-ngoloknya saat membangun sebuah kapal.
“Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami).” QS Hud 38
Biarlah mereka menertawakan…di akhirat kelak mereka akan ditertawakan. Wallahu'alam.
"Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir." QS Al Mutaffifin 34
Alhamdulillah
Hanya persoalan tertawa pun bisa menjadi perbuatan yang melampaui batas. Cara seseorang tertawa mencerminkan bagaimana dirinya. Apakah berlebihan atau biasa saja. Sekadar menyenangkan orang lain yang mengajak bicara, atau dalam rangka meledek.
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.” QS At Taubah 82
“Janganlah banyak tertawa, banyak tertawa mengeraskan hati,” Sabda Rasulullah SAW seperti diriwayatkan Abu Hurairah ra dalam Sunan Ibnu Majah.
"Kalaulah kalian tahu yang kutahu, niscaya kalian sedikit tertawa dan banyak menangis." Sabda Rasulullah SAW seperti diceritakan Anas radliallahu 'anhu. Sahih al-Bukhari 6486
Rasulullah SAW adalah orang yang sedikit tertawa tetapi banyak senyum. "Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tertawa terbahak-bahak hingga terlihat langit-langit dalam mulutnya, beliau hanya biasa tersenyum." Dari Aisyah radliallahu 'anha. Sahih al-Bukhari 6092
Menertawakan dan Ditertawakan
"Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman." QS Al Mutaffifin 29
Orang-orang yang merasa diri dan perbuatannya paling benar, pastinya suka menertawakan orang lain yang dinilainya lebih bodoh atau salah dibanding dirinya sendiri. Seperti kaumnya nabi Nuh yang menertawakan dan mengolok-ngoloknya saat membangun sebuah kapal.
“Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami).” QS Hud 38
Biarlah mereka menertawakan…di akhirat kelak mereka akan ditertawakan. Wallahu'alam.
"Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir." QS Al Mutaffifin 34
Alhamdulillah