Berkata Baik dan Memberi Maaf

Pernahkah kita memberi sedekah lantas menyebut-nyebut sedekah itu sehingga tanpa sadar menyakitkan orang yang kita beri? Allah melarang keras perkataan yang menyakitkan perasaan orang lain.

QS Al Baqarah 263-264
Bismillahi Rahmani Rahiim
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (263)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (264)
Shodaqollahul’azim

Salah satu sumber dosa kita adalah lidah. Adakalanya kita berkata-kata tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Kita memberi tapi menyebut-nyebutnya, padahal kalaupun kita hanya berkata-kata baik pada seseorang dan memaafkan tanpa harus memberi orang itu sesuatu, itu adalah lebih baik. Demikianlah gambaran salah satu dosa lidah yang dilakukan manusia dalam ayat 263

Dalam riwayat Muslim, dari Abu Zar mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
Ada tiga macam orang yang Allah tidak mau berbicara kepada mereka di hari kiamat dan tidak mau memandang mereka serta tidak mau menyucikan mereka (dari dosa-dosa) dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, orang yang suka memanjankan kainnya, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah dusta.

Allah mempertegas larangan akan berbuat dosa karena lidah ini pada ayat berikutnya, 264. Pahala sedekah akan terhapus manakala kita menyebut-nyebutnya  dengan maksud riya, apalagi sampai menyakiti perasaan orang yang menerima. Allah mengibaratkan sedekah orang yang berbuat riya itu seperti tanah yang menempel di batu dan terhapus air hujan. Seperti itulah sedekah yang dipamer-pamerkan, pahalanya akan terhapus.

Alhamdulillah

Kisah Penyembelihan Sapi Betina


Surat kedua dalam Al Quran dinamakan surat Al Baqarah karena di dalamnya terdapat kisah tentang penyembelihan sapi betina yang dilakukan pada zaman nabi Musa, yaitu pada ayat 67-74. Allah SWT  menggambarkan bagaimana kaum nabi Musa adalah kaum yang banyak menentang, menyembah sapi, dan memiliki hati yang keras seperti batu.

Perintah penyembelihan sapi dimaksudkan sebagai pertanda bahwa manusia janganlah menyekutukan Allah SWT seperti menyembah sapi. 

QS Al Baqarah 67-74
Bismillahi Rahmaani Rahiim

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". (67)

Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".(68)

Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya".(69)

Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)". (70)

Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya". Mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (71)

Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan.(72)

Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti. (73)

Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (74)

Shodaqollahul’adzim

Seperti diuraikan dalam tafsir Ibnu Katsir, perintah penyembelihan sapi betina dilatar belakangi peristiwa pembunuhan yang terjadi pada zaman nabi Musa. Kala itu ada seseorang yang terbunuh. Kaum nabi Musa saling tuduh menuduh mengenai siapa pembunuhnya. Mereka membawa persoalan tersebut kepada nabi Musa.

Sampai akhirnya Allah SWT menurunkan perintah menyembelih sapi betina. Daging sapi betina tersebut (pada ayat 73) dipukulkan kepada mayat dan ia bisa hidup kembali untuk menerangkan siapa yang telah membunuhnya. 

Namun, perintah penyembelihan sapi betina tersebut tak langsung diterima kaum nabi Musa. Mereka menganggap perintah itu sebagai ejekan (ayat 67). Mereka berdebat dan bertanya-tanya perihal seperti apa sapi yang harus disembelih sehingga memberatkan diri mereka sendiri dan hampir saja tak jadi melaksanakannya. 

Perintah penyembelihan sapi selain karena latar belakang pembunuhan adalah juga perintah agar manusia hilang rasa hormatnya pada sapi yang mereka anggap sebagai tuhan.

Namun, setelah sapi berhasil disembelih dan siapa yang melakukan pembunuhan berhasil diungkap, seiring waktu, mereka menjadi lupa dan kembali melakukan kemusyrikan. Allah SWT menggambarkan kembalinya hati kaum nabi Musa itu kepada kemusyrikan sebagai hati yang keras seperti batu (ayat 74).
Waallahu’alam

Alhamdulillah

Tujuh Tangkai 100 Biji

Salah seorang sahabat Rasulullah SAW, Utsman bin Affan yang kelak menjadi khalifah muslimin ketiga adalah seorang pedagang besar Madinah. Suatu ketika Madinah mengalami masa paceklik yang sangat parah akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Tubuh-tumbuhan dan hewan banyak yang mati. Masyarakat Madinah banyak yang mengalami kelaparan.

Pada saat gawat itu, datang rombongan kafilah dari negeri Syam membawa barang dagangan yang sebagian besar berupa makanan. Rupanya barang dagangan itu kepunyaan Utsman bin Affan. Para pedagang Madinah berebutan ingin membelinya dengan maksud akan dijual kembali pada masyarakat yang memang sangat membutuhkan dengan harga berlipat-lipat. Mereka menawar barang dagangan itu dengan harga tiga kali lipat dari harga pembeliannya. Tetapi, tawaran yang menggiurkan itu ditolak oleh Utsman bin Affan.

”Maafkan saya, barang dagangan ini telah terjual dengan harga lebih besar dari itu!” Tentu saja para pedagang ini keheranan, siapa orang yang berani membeli dengan harga tinggi itu. Mereka pun bertanya, ”Wahai sahabat, siapakah orang yang telah membeli barang daganganmu dengan harga sangat tinggi itu?”

Utsman pun menjawab singkat, ”Allah!”

”Bagaimana caranya Allah memberikan keuntungan itu kepadamu?” Jawab Utsman, ”Allah menjanjikan kepadaku keuntungan tidak kurang dari 700 kali lipat, tidakkah kalian ingat janji Allah itu dalam Al Quran?” Lalu Utsman membacakan firman Allah SWT:

”Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, tak ubahnya sebutir biji yang tumbuh menjadi tujuh tangkai. Pada masing-masing tangkai terdapat 100 butir biji.” QS Al Baqarah 261

Dengan rasa takjub para pedagang itu bertanya, ”Apakah engkau akan sedekahkan dagangan yang sangat banyak ini?” Utsman pun menjawab, ”Benar, seluruhnya aku sedekahkan kepada masyarakat yang menderita karena paceklik yang parah ini!”

Allah SWT berfirman:
”Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (manafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNyalah kamu dikembalikan.” QS Al Baqarah 245

Alhamdulillah

Tempat Wuquf adalah Arafah

Wukuf sebagai puncak ibadah haji dilakukan hanya di satu-satunya tempat di bumi yaitu di Arafah. Sebelum Allah menjelaskan mengenai Arafah ini, sebagian suku Qurasiy berwukuf di Mudzalifah.

Qs Al Baqarah 199
Bismillahi Rahmaani Rahiim
Kemudian, bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sebelum ayat 199 ini turun, orang-orang Arab zaman dulu wuquf di Arafah saat ibadah haji, kecuali suku Quraisy. Orang Quraisy wukuf di Mudzalifah, maka turunlah ayat di atas yang mengharuskan wukuf di Arafah. Pada suatu riwayat diterangkan, orang-orang Qurasiy wukuf di dataran rendah Mudzalifah dan selain orang Quraisy wukuf di dataran tinggi Arafah kecuali Syaibah bin Rabiah. Maka Allah menurunkan ayat tersebut. 

Pada riwayat Muslim disebutkan:
Dari Hisyam ra dari bapaknya, katanya, “Orang-orang Arab zaman dahulu thawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang bulat, kecuali Al Hums. Al Hums ialah orang-orang Quraisy dan turunannya. Orang-orang Arab itu Thaqaf dalam keadaan telanjang, kecuali apabila mereka diberi pakaian oleh orang Quraisy, yang laki-laki memberi pakaian kepada laki-laki dan perempuan kepada perempuan. Orang Quraisy tidak berangkat dari Mudzalifah tetapi orang banyak semuanya pergi ke Arafah. Kata Hisyam, dari bapaknya dari Aisyah ra:
“Orang-orang Quraisy (Al Hums) inilah yang telah menyebabkan Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat pada mereka…”Kemudian berangkatlah kamu dari tempat berangkatnya orang banyak…” (QS Al Baqarah 199).” 
kata Aisyah, “Orang banyak berangkat dari Arafah sedangkan mereka (Al Hums) berangkat dari Mudzalifah.” 
Kata mereka, “Kami tidak berangkat melainkan melalui tanah haram.”
Maka ketika ayat di atas turun, mereka sama-sama pergi ke Arafah.

Alhamdulillah

Masalah Kutu Rambut

Bagi kaum muslim yang telah berihram dan melaksanakan ibadah haji ada beberapa hal yang dilarang dikerjakan baik laki-laki ataupun perempuan yaitu mencukur rambut atau bulu di badan serta memotong kuku. Namun, larangan ini bagi sebagian orang sulit untuk dilaksanakan karena sesuatu alasan dan Allah SWT memberikan jalan keluarnya.

QS Al Baqarah 196
Bismillahi Rahmaani Rahiim
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah kurban) yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah merasa aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), wajiblah ia menyebelih  kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajiblah ia berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila telah pulang kembali. Itulah 10 hari yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kora Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaanNya.

Asbabun Nuzul

Bagian ayat:
…faman kana minkum maridhan aw bihi adzan miraashihi fafidyatun min shiyamin aw shadaqatin aw nusuk...
…Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban…

Pada riwayat Muslim diterangkan:
Dari Kaab bin Ujrah ra, katanya: “Pada suatu waktu ketika dia sedang ihram, Rasulullah SAW berdiri di dekatnya, sedangkan kutu berjatuhan dari kepalanya. Rasulullah SAW bertanya: “Apakah kutumu itu tidak mengganggumu?” Jawabku, “Benar ya Rasulullah.” Sabda beliau, “Cukurlah rambutmu!” Kata Kaab, “Ketika itu turunlah ayat: Jika  ada di antara kamu yang sakit, atau mendapat gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah ia membayar denda, yaitu puasa atau bersedekah atau berkurban…” (Qs Al Baqarah 196). Maka bersabda Rasulullah SAW kepadaku, “Puasalah kamu tiga hari, atau bersedekah satu faraq (tiga sha atau kurang lebih 10 liter), atau menyembelih hewan. Kerjakanlah mana yang mudah bagimu.”

Pada riwayat lain disebutkan, ketika Rasulullah SAW beserta sahabat berada di Hudaibiah sedang berihram, kaum musyrikin melarang mereka meneruskan umrahnya. Salah seorang sahabat yaitu Kaab bin Ujrah kepalanya penuh kutu sehingga bertebaran di mukanya. Ketika itu, Rasulullah SAW lalu didepannya dan melihat Kaab kepayahan. Maha turunlah bagian ayat tadi.

Kisah lain dari turunnya ayat ini, pada bagian awal ayat disebutkan:
…Wa atimmulhaja wal umrata lillah…
… Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah...

Seorang laki-laki berjubah yang semerbak dengan wangi-wangian zafaran menghadap kepada Nabi SAW dan berkata, ”Ya Rasulullah, apa yang harus saya lakukan dalam menunaikan ibadah umrah?” Maka turunlah: Wa atimmulhaja wal umrata lillah…. Rasulullah SAW bersabda, “Mana orang yang tadi bertanya tentang umrah itu?” Orang itu menjawab, ”Saya ya Rasulullah.” Selanjutnya Rasulullah bersabda, ”Tanggalkanlah bajumu, bersihkan hidung dan mandilah dengan sempurna, kemudian kerjakan apa yang biasa kau kerjakan pada waktu haji.”

Alhamdulillah

Kebajikan adalah…


Kebaikan adalah menghadapkan wajah kepada Allah semata. Hanya kepada Allah dan diwujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari. Allah Subhanahu wa Taala mengajarkan kita berbuat kebaikan itu.

QS Al Baqarah 177
Bismillahi Rahmaani Rahiim
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah 
- beriman kepada Allah,  
- hari kemudian, 
- malaikat-malaikat, 
- kitab-kitab, 
- nabi-nabi 
- dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, 
- anak-anak yatim, 
-  orang-orang miskin, 
- musafir (yang memerlukan pertolongan) 
- dan orang-orang yang meminta-minta; 
- dan (memerdekakan) hamba sahaya, 
- mendirikan shalat, 
- dan menunaikan zakat; 
- dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, 
- dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. 
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."

Asbabun nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Qatadah menerangkan tentang kaum yahudi yang menganggap bahwa yang baik itu sholat menghadap ke barat, sedangkan kaum nashara mengarah ke timur, sehingga ayat tersebut turun.

Pada riwayat lain bahwa turunnya ayat tersebut di atas sehubungan dengan pertanyaan seseorang laki-laki yang ditujukan kepada Rasulullah SAW tentang Al-Bir atau kebaikan. Setelah turun ayat tersebut, Rasulullah SAW memanggil orang tadi. Peristiwa terjadi sebelum diwajibkannya sholat fardhu.

Pada waktu itu, apabila seseorang telah mengucapkan syahadat dan meninggal dunia dan telap beriman, harapan besar ia mendapat kebaikan. Akan tetapi, kaum yahudi menganggap yang baik itu adalah apabila sholat menghadap ke barat, sedangkan kaum nashara mengarah ke timur.

Ayat ini menjelaskan, selain beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi, ditekankan betapa pentingnya memberikan harta yang kita cintai di jalan Allah. Harta yang kita cintai juga merupakan hak dari kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta, hamba sahaya, dan orang-orang lain yang sangat membutuhkan. 

Alhamdulillah

Orang yang Takut Petir

Allah SWT menggambarkan orang-orang munafik sebagai orang yang tuli, bisu dan buta. Mereka takut mendengar petir lantaran mereka takut mati.

QS Al Baqarah 18-20

Bismillahi Rahmaani Rahiim
Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), (18)
atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. (19)
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (20)

Asbabun nuzul

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa dua orang munafik Madinah lari dari Rasulullah SAW kepada kaum musyrikin. Saat di jalan mereka ditimpa hujan yang diiringi kilat dan petir yang dahsyat.
Setiap kali ada petir, mereka menutup telinganya dengan jari karena takut memekakkan telinganya dan mati karenanya. Apabila kilat bersinar mereka berjalan dan apabila tak ada kilat mereka tidak dapat melihat. Mereka kembali ke jalan semula untuk pulang dan menyesali perbuatan mereka dan keesokan harinya mereka menghadap kepada Rasulullah SAW menyerahkan diri masuk Islam dengan sebaik-baiknya.

Allah mengumpamakan kejadian dua orang munafiq ini sebagai kaum munafiq lainnya yang ada di Madinah. Kaum munafik di Madinah, apabila menghindari majelis Rasulullah SAW, mereka menutup telinga dengan jarinya karena takut terkena oleh sabda Rasulullah SAW tentang hal ihwal mereka sehingga terbongkarlah rahasianya, atau mereka jadi tunduk karena terpikat hatinya.

Perbandingan antara dua orang munafiq yang lari dari petir dengan kaum munafiq Madinah ialah:

Pertama, saat terjadi kilat dan petir. Dua orang munafiq menutup telinganya karena takut mendengar petir yang memekakkan bersama kilat saat mereka berjalan. Sedangkan kaum munafiq Madinah menutup telinga karena takut terkena sabda Rasul. Saat banyak harta, anak buat dan mendapat ghanimah atau rampasan perang atau kemenangan, mereka ikut serta dengan kaum muslimin dan berkata, “Nyatalah sekarang benarnya agama Muhammad itu,” dan mereka merasa tentram.

Kedua, saat tak ada kilat dan petir. Dua orang munafiq yang lari tadi jika tak ada kilat akan berhenti dan terdiam. Sedang kaum munafiqin Madinah apabila habis hartanya, anak buahnya dan terkena musibah mereka berkata, “Inilah akibat agama Muhammad.” Mereka kembali murtad dan kufur.

Nauzubillahi mindzalik, semoga kita bukan termasuk golongan yang demikian.

Alhamdulillah

Kisah sahabat Rasulullah SAW 6: Salman Al Farisi




Saat terjadinya perang Khandaq, pada tahun kelima hijriah, beberapa orang Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kafir agar bersekutu menghadapi Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan yang akan menumbangkan serta mencabut akar agama baru ini.

Siasat dan taktik perang diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidah (Yahudi) akan menyerang dari dalam, yaitu dari belakang barisan kaum muslimin, sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama.

Sampai suatu hari kaum muslim melihat pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah. Mereka membawa perlengkapan, persenjataan dan perbekalan yang banyak. Pada saat itu kaum muslimin sempat panik dan gentar seperti dilukiskan Allah dalam Al Quran:

“Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar seolah-olah hatimu telah naik sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah.” QS Al Ahzab 10

Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sfyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri Madinah untuk mengepung dan menaklukkannya serta menghabisi Muhammad SAW serta agama Islam. Pasukan ini tidak hanya orang Quraisy tapi juga kumpulan berbagai kabilah dan suku.

Rasulullah SAW mengajak sahabat untuk segera bermusyawarah.  Mereka bersepakat hanya akan bertahan. Namun, apa daya jika pertahanan tak kuat? Maka muncullah seorang yang bertubuh tinggi jangkung dan dihormati, Salman Al Farisi. Ia naik ke suatu tempat yang tinggi untuk mengamati. Salman yang berasal dari Parsi telah mempunyai pengalaman teknik berperang. Setelah mengamati, Salman memberikan usul yang tak pernah terpikirkan, membuat penggalian Khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka di sekeliling kota.

Benarlah, setelah adanya parit pasukan kafir tertahan sampai sebulan lamanya dalam peperangan karena tak sanggup menerobos masuk ke dalam kota Madinah. Sampai suatu malam Allah mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak porandakan tentara mereka.

Penggalian Khandaq dan Batu Besar

Sewaktu menggali lubang pertahanan perang Khandaq, Salman pun turut serta. Bersama Rasulullah SAW, kaum muslimin membawa tembilang dan membelah batu. Sampai ada sebuah batu besar yang tak bisa  dihancurkan. Salman mengusulkan kepada Rasulullah SAW untuk membelokkan arah galian. Namun, Nabi SAW datang. Beliau meminta orang yang berada di dekat batu untuk menjauh.

Rasulullah SAW mengangkat tangan dan berdoa lalu memegang erat tembilang dan memukul batu itu keras-keras. Sekali pukul batu itu terbelah.  Seketika dari belahannya keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi.

“Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah,” kata Salman. Sementara Rasulullah SAW mengucapkan takbir, “Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota Maharaja Persi dan bahwa umatku akan menguasai semua itu.”

Rasulullah SAW memukulkan batu itu dua kali. Setelah dipukul keluar lagi lambaian api. Apinya tinggi dan menerangi. Rasulullah SAW bersabda, “Allah Maha Besar! Aku telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa umatku akan menguasainya.”

Kemudian Rasulullah SAW memukulnya untuk ketiga kalinya sampai akhirnya batu itu pecah hancur. Sinar yang keluar dari pukulan itu amat terang dan menyala. Rasulullah SAW menguncapkan La ilaha illahllah diikuti kaum muslimin. Lalu diceritakan Rasulullah SAW bahwa beliau melihat mahligai istana di Suriah, Shana begitupun daerah lain yang suatu ketika nanti berada di bawah panji bendera Allah.

Berceramah di Depan Rumah


Apabila sedang duduk di bawah naungan pohon rindang di depan rumahnya  di Madain, Salman al Farisi suka menceritakan pengalaman dirinya, ilmu atau riwayat.

“Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama Ji. Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluk Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggungjawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.

Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada suatu hari, aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani.  Aku mendengar mereka sedang sembahyang. Maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati. “Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!”

Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah mliki bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.

Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang nashrani dari mana asal-usul agama mereka. “Dari Syria,” ujar mereka.

Ketika telah berada di hadapan bapakku, ku katakan kepadanya, “Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita.” Kami pun bertanya jawab  dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku.

Kepada orang-orang nashrani ku kirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai, lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria.

Sesampainya di sana ku tanyakan ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja. Maka datanglah aku kepadanya, kuceritakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku kepadanya, sebagai pelayan. Aku melaksanakan ajaran mereka dan belajar. Sayang, uskup ini seorang yang tidak baik beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi sampai uskup itu wafat.

Mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu daripadanya.

Tatkala ajalnya telah dekat aku bertanya kepadanya. “Sebagai anda maklumi, telah dekat saat berlakunya takdir Allah atas Anda. Maka apakah yang harus kuperbuat dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi?” “Anakku, tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul.” Lalu saat ia wafat, aku berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya. Kuceritakan kepadanya pesar dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.

Lalu orang itu pun hampir meninggal pula. Kutanyakan padanya siapa yang harus kuturuti. Aku disuruh tinggal bersama seorang pemimpin di Amuria, kota yang termasuk wilayah Romawi. Aku berangkat ke sana dan tinggal bersama orang itu dan sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor.

Ternyata orang di Amuria itu pun hendak wafat pula. Kutanyakan padanya siapa yang bisa aku percayai. Ia menjawab, “Anakku, tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu hitam. Seandaianya kamu dapat pergi ke sana, temuilah ia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas, ia tidak mau makan sedekah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kemabian yang bila engkat melihatnya, segeralah kau mengenalinya.”

Suatu hari lewatlah rombongan perjalanan dari Arab. Aku bertanya pada mereka, “Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya ku berikan kalian sapi-sapi dan kambing-kambiingku.” Sehingga sampailah aku di negeri bernama Wadil Qura.

Di sana aku dianiaya, dijual sebagai budak kepada yahudi.  Aku menjadi budaknya sampai datang yahudi Bani Quraidhah membeliku.
Saat sedang di pohon kurma, seorang saudara yahudi tuannya datang dan berkata, “Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai nabi.” Salman yang berada di atas pohon gemetar. Ia turun dan ikut bertanya sehingga dipukul majikannya.

Pada petang harinya, ia mengumpulkan seluruh barang-barangnya untuk menemui Rasulullah SAW di Quba. Aku berhasil sampai dan masuk kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu kutanya kepadanya, “Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makan yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya dan makanan itu ku bawa ke sini.” Lalu makanan itu ku taruh di hadapannya.

“Makanlah dengan nama Allah,” sabda Rasulullah kepada sahabatnya. Namun, beliau tak ikut memakannya. Aku berpikir itulah salah satu tanda kenabiannya bahwa beliau tak memakan sedekah.

Aku pulang kembali kepada majikanku,  tapi kembali mengunjungi Rasulullah SAW keesokan harinya. Ia membawa makanan dan mengatakan bahwa ingin menyerahkan makanan itu sebagai hadiah. “Makanlah dengan menyebut nama Allah,” sabda Rasulullah SAW. Kali ini Nabi memakannya. Salah satu tanda lagi bahwa Rasulullah SAW mau menerima hadiah.

Esoknya aku kembali lagi mencari Rasulullah SAW di Baqi. Di sana ia dapat melihat tanda kenabian di lehernya. Melihat itu, aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah SAW. Aku duduk di hadapannya lalu kuceritakan kisahku. Kemudian aku masuk Islam.”

Setelah memeluk Islam, Salman terhalang turut berjihad di perang Badar dan Uhud karena ia masih menjadi budak seorang Yahudi. Sampai suatu hari ia dibantu Rasulullah SAW dibebaskan.


Sholat dan Shaum Abu Darda


Salman pernah tinggal beberapa waktu bersama Abu Darda. Ia melihat bagaimana Abu Darda sholat di tengah malam dan shaum di siang hari, terus-menerus. Sampai Salman berkata kepada Abu Darda, “Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Disamping engkau shaum, berbukalah, dan disamping sholat, tidurlah.” Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Sungguh Salman telah dipenuhi ilmu.”

Saat perang Khandaq, kaum Anshar mengatakan bahwa Salman dari golongan mereka. Kaum muhajirin pun tak kalah mengatakan demikian. Namun, Rasulullah SAW mengatakan, “Salman adalah golongan kami, ahlul bait.”

Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah menggelari Salman dengan Luqmanul Hakim. Saat Ali ditanya tentang Salman yang telah wafat beliau menjawab,

“Ia adalah seorang yang datang dari kam dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula do antara kalian yang akan dapat menyamai Lukmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacana kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering.”

Salman adalah seorang yang bersahaja. Saat kehidupan Madinah mulai berkecukupan, Salman hanya tinggal di rumahnya menganyam daun kurma menjadi keranjang. Uang yang dimilikinya selain untuk nafkah keluarganya akan disedekahkan. Padahal Salman berasal dari Parsi yang penuh dengan kemewahan.

Hisyam bin Hasan dari Hasan mengatakan bahwa setelah Salman menerima tunjangan yang lima ribu setahun, ia akan membagi-bagikannya. Sedangkan untuk nafkah keluarganya, ia ambil dari usaha kedua tangannya membuat keranjang. Ia menolak pangkat dan kedudukan.

Pernah suatu kali Saad bin Abi Waqqash datang menjenguk Salman yang sedang menangis. “Apa yang kau tangiskan wahai Abu Abdillah?” tanya Saad. “Padahal Rasulullah SAW wafat dengan ridha kepadamu?”

Salman menjawab, “Demi Allah, aku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah SAW telah menyampaikan suatu pesan kepada kita yaitu sabdanya, hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara. Padahal, hartaku segini banyaknya.”
“Wahai Saad!” Salman melanjutkan. “Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita. Dan pada putusanmu jika engkau menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian.”

Inilah pemahaman Salman Al Farisi mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia adalah orang yang zuhud pada dunia, harta, pangkat. Ia tak ingin menjadi bagian dari kemewahan dunia itu kecuali sedikit yang diambilnya sekedar bekal seorang pengendara.

Amir yang bersahaja.


Saat ditugaskan sebagai Amir di kota Madain, Salman tak menerima gaji. Ia hanya menafkahi keluarganya dari usaha menganyam daun kurma. Suatu hari ada seorang Syria keberatan membawa buah tin dan kurma dalam keranjangnya. Ketika dilihatnya seorang dengan pakaian usang, maka dipanggillah Salman yang kala itu sudah menjadi Amir.

Ia meminta Salman membantunya mengangkut keranjang tin dan kurmanya sampai ke rumahnya. Sepanjang jalan ada saja yang menegur. “Assalamu’alaikum, dan juga kepada Amir kami ucapkan salam,” kata orang-orang yang berpapasan. Ada juga yang menawarkan diri untuk membantu membawakan namun Salman menolak. Sampai akhirnya orang Syria itu mengerti siapa Salman dan menyesal serta meminta maaf. Namun Salman menolak, “Tidak sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu!”

Saat ditanya mengapa ia tidak menyukai jabatannya sebagai Amir, Salman menjawab, “Karena manis waktu memegangnya, tapi  pahit waktu melepaskannya.”

Salman wafat di rumahnya yang sederhana. Terlalu rendah untuk berdiri dan terlalu sempit untuk berjalan. Ia tak meninggalkan apa-apa selain kesturi untuk wewangian dirinya kala wafat. Sebelum wafat ia meminta istrinya memercikkan wangian kesturi itu ke tubuhnya.

 “Sekarang telah hadir  di hadapanku makhluk Allah (malaikat) yang tiada dapat makan hanyalah gemar wangi-wangian.”  Tak berapa lama istirnya keluar menutup pintu dan kembali lagi, Salman telah dipanggil oleh Allah SWT.

Semoga ridha dan rahmat Allah atasmu Salman al Farisi.

Alhamdulillah