Kisah Sahabat Rasulullah SAW 19: Abu Hurairah



Inilah perjalanan seorang periwayat hadist yang terkenal itu. Seorang yang mendengar dan merekam kehidupan Rasulullah Shallalahu Alaihi Wassalam waktu demi waktunya, sehingga sampai saat ini kita seolah bisa mendengar sabda Beliau SAW, seperti mendengar rekamannya untuk mengikuti tuntunannya.

“Aku dibesarkan dalam keadaan yatim, dan pergi hijrah dalam keadaan miskin. Aku menerima upah sebagai pembantu pada Busrah binti Ghazwan demi untuk mengisi perutku. Akulah yang melayani keluarga itu bila mereka sedang menetap dan menuntun binatang tunggangannya bila sedang bepergian. Sekarang inilah aku, Allah telah menikahkanku dengan putri Busrah, maka segala puji bagi Allah yang telah menjadikan agama ini tiang penegak dan menjadikan Abu Hurairah ikutan umat.” Demikianlah Abu Hurairah menggambarkan dirinya.

Abu Hurairah berhijrah pada tahun tujuh Hijriah di Khaibar. Ia memeluk Islam karena kecintaannya pada Rasulullah SAW dan Islam. Sejak masuk Islam, ia tak pernah berpisah lagi sampai Nabi SAW menghadap Ilahi.

Abu Hurairah bukanlah termasuk mereka yang mampu  menulis. Namun, ia memiliki kemampuan untuk menghafal dengan kuat. Ingatannya adalah salah satu yang terdepan di antara para sahabat kala itu.  Ia menyadari bahwa dirinya bukanlah termasuk yang awal masuk Islam sebagaimana sahabat yang lain, namun ia mengejar segala ketertinggalannya.

Kala Rasulullah Shallalahu Alaihi Wassalam telah meninggal dunia, Abu Hurairah banyak sekali menyampaikan hadist sehingga orang mulai merasa curiga dan ragu-ragu. Ia berkata kepada para sahabat, 

“Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan hadist dari Nabi SAW. Dan Tuan-Tuan katakan pula,  orang-orang Muhajirin yang lebih dahulu daripadanya masuk Islam tak  ada yang menceritakan hadist-hadist itu. Ketahuilah bahwa sahabat-sahabatku orang-orang Muhajirin itu sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedangkan sahabat-sahabatku orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka. Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majelis Rasulullah SAW, maka aku hadir sewaktu yang lain tidak hadir, dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukan.”

Abu Hurairah melanjutkan, “Dan Nabi SAW pernah berbicara kepada kami di suatu hari, kata Beliau:

‘Siapa yang membentangkan sorbannya sehingga selesai pembicaraanku, kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan suatu pun dari apa yang telah didengarnya daripadaku.’

Maka aku hamparkan kainku, beliau pun berbicara kepadaku, kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada suatu pun yang terlupa bagiku, dan apa yang telah kudengar daripadanya. Demi Allah, kalau tidaklah karena adanya ayat di dalam Kitabullah niscaya tidak akan kukabarkan kepada kalian sedikit jua pun. Ayat itu ialah: ‘Sesungguhnya orang-orang  yang menyembunyikan apa-apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, sesudah Kami nyatakan kepada manusia di dalam kitab mereka itulah yang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh para pengutuk (malaikat-malaikat)” QS Al Baqarah 159

Demikianlah Abu Hurairah menjelaskan mengapa dia bisa mengingat begitu banyak hadist.
Suatu hari Amirul Mukminin, Umar bin Khattab berkata padanya, “Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah. Bila tidak, maka akan ku kembalikan kau ke Daus (daerah asalnya).” Perkataan Umar bukanlah tanpa alasan, karena ia tak ingin orang melupakan Al Quran sebagai panduan utama umat muslim.

Tahun-tahun awal semenjak kepergian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam merupakan tahun emas pengumpulan Al Quran. Al Quran yang kebanyakan tersimpan dalam ingatan kaum muslim itu belum dituliskan. Lembaran-lembarannya pun masih terserak. Khalifah Umar Bin Khattab tak ingin terjadi campur baur antara Al Quran dan hadist.

“Sibukkanlah dirimu dengan Al Quran, karena dia adalah kalam Allah,” pesan khalifah Umar. “Kurangilah olehmu meriwayatkan perihal Rasulullah SAW kecuali yang mengenai amal perbuatannya.”

Abu Hurairah berusaha mematuhi pesan tersebut. Meskipun terkadang ia tak dapat menahan rasa di dadanya. Setiap kali ada kesempatan, maka ia akan menyampaikan hadistnya.  Abu Hurairah meyakini bahwa menyembunyikan hadist padahal dia mengetahuinya adalah dosa dan kejahatan.

Hafalan yang Kuat

Pada suatu hari Marwan bin Hakam ingin menguji kemampan menghafal Abu Hurairah. Ia meminta Abu Hurairah menyampaikan hadist dan seorang penulis diminta untuk menuliskan kata-katanya dari balik dinding. Setelah setahun, dipanggilnya kembali Abu Hurairah dan dimintanya untuk menyampaikan apa yang telah diucapkannya dahulu. Ternyata tak ada satu kata pun yang berubah, persis sama seperti yang pernah dicatat oleh sang penulis di balik dinding.

“Tak ada seorang pun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih banyak menghafal hadist daripadaku, kecuali Abdullah bin Amr bin Ash karena ia pandai menuliskannya sedangkan aku tidak,”demikian pernyataan Abu Hurairah. Imam Syafii berpendapat tentang Abu Hurairah, “Ia seorang yang paling banyak hafal di antara seluruh perawi hadist semasanya.”  Sementara Imam Bukhari menyatakan pula, “Ada kira-kira delapan ratus atau lebih dari sahabat tabi’in dan ahli ilmu yang meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah.”

Sang Ibu yang Mendapat Hidayah

Setiap malam di rumah Abu Hurairah tak pernah sepi dari ibadah. Pada sepertiga malam yang pertama, Abu Hurairah akan melaksanakan sholat malam, sepertiga malam kedua dilanjutkan istrinya, dan sepertiga malam terakhir oleh putrinya.  Pernah suatu kali saking laparnya, ia mengikat batu di perutnya dan pergi ke masjid. Sampai di sana, ia terjatuh sambil menggeliat kesakitan dan para sahabat menyangka ia sedang sakit ayan.

Hanya ada satu yang membuatnya sedih yaitu sikap ibunya. Setelah masuk Islam, ibunya tak pernah berhenti menjelek-jelekkan Rasulullah SAW. Suatu kali Abu Hurairah datang ke masjid bertemu Rasulullah SAW sambil menangis. Ia bercerita, “Ya Rasulullah, aku telah meminta ibuku masuk Islam, ajakanku ditolaknya. Hari ini aku pun baru saja memintanya masuk Islam, sebagai jawaban ia malah mengeluarkan kata-kata yang tak kusukai terhadap diri Anda. Karenanya mohon Anda doakan kepada Allah kiranya ibuku itu ditunjukiNya kepada Islam.”

Maka Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, tunjukilah ibu Abu Hurairah.”

Aku pun berlari mendapatkan ibuku untuk menyampaikan kabar gembira tentang doa Rasulullah itu. Sewaktu sampai di muka pintu,kudapati pintu itu terkunci. Dari luar kedengaran bunyi gemericik air dan suara ibu memanggilku, “Hai Abu Hurairah, tunggulah di tempatmu itu!”

Ibuku  lalu keluar memakai baju kurungnya dan membalutkan selendangnya sambil mengucapkan syahadat.. Aku pun berlari menemui Rasulullah SAW sambil menangis karena gembira, sebagaimana dahulu aku menangis karena berduka dan kataku padanya, “Kusampaikan kabar suka ya Rasulullah, bahwa Allah telah mengabulkan doa Anda. Allah telah menunjuki ibuku ke dalam Islam.” Kemudian kataku pula, “Ya Rasulullah, mohon anda doakan kepada Allah, agar aku dan ibuku dikasihi oleh orang-orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan.” Maka Rasul berdoa, “Ya Allah, mohon engkau jadikan hambaMu ini beserta ibunya dikasihi oleh sekalian orang-orang mukmin laki-laki maupun perempuan.”

Menolak Jabatan

Abu Hurairah hidup sebagai ahli ibadah dan mujahid. Ia tak pernah ketinggalan dalam pertempuran. Semasa kepemimpinan Umar bin Khattab, Abu Hurairah diangkat sebagai amir di Bahrain. Khalifah Umar adalah orang yang tegas soal  kepemilikan harta para pejabat. Siapa yang mempunyai harta sebelum menjabat, maka sewaktu ia telah turun dari jabatannya, jumlah hartanya haruslah tetap sama.

Suatu hari Khalifah Umar bertanya kepada Abu Hurairah mengenai harta yang dimiliki oleh Abu Hurairah sebelum menjabat. “Hai musuh Allah dan musuh kitabNya, apa engkau telah mencuri  harta Allah?” Tanya Umar bin Khattab pada Abu Hurairah.

Abu Hurairah menjawab, “Aku bukan musuh Allah dan tidak pula musuh kitabNya. Hanya aku menjadi musuh orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah!”

“Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu?” Tanya Umar.

“Kuda kepunyaanku beranak pinak dan pemberian orang berdatangan,” jawab Abu Hurairah.

“Kembalikan harta itu ke perbendaharaan baitul mal,” demikian tegas khalifah Umar.

Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Umar, kemudian ia mengangkat tangan kea rah langit sambil berdoa, “Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin.”

Tak selang berapa lama, Umar memanggil Abu Hurairah dan menawarkan jabatan kepadanya di wilayah baru. Namun, Abu Hurairah menolaknya dan meminta maaf karena tak menerimanya. 

Umar bertanya, “Kenapa, apa sebabnya?” Abu Hurairah menjawab, “Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, punggungku tidak dipukuli.” Abu Hurairah diam sejenak kemudian melanjutkan, “Dan, aku takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa belas kasih.” Demikianlah jawaban sang penyampai hadist.

Saat berusia 78 tahun, Abu Hurairah sakit dan banyak orang mengunjunginya serta mendoakannya. Abu Hurairah berkata, “Ya Allah sesungguhnya aku telah sangat rindu hendak bertemu denganMu. Semoga Engkau pun demikian.” Tak lama ia wafat di tahun 59 Hijriah dan dimakamkan di Baqi.

Para pelayat yang pulang dari pemakamannya mengulang-ulang hadist yang pernah disebutkan Abu Hurairah. Seorang yang baru memeluk Islam bertanya kepada kawannya mengapa orang yang baru dikuburkan itu diberi nama Abu Hurairah. Kawannya menjawab, karena ia ibarat bapaknya kucing. Sebelumnya ia bernama Abdu Syamsi dan saat memeluk Islam berganti nama menjadi Abdurrahman. Namun, karena sangat menyayangi kucing, akhirnya ia diberi nama Abu Hurairah.

Salam untukmu Abu Hurairah, semoga Allah meridhoimu.

Alhamdulillah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 21: Saad bin Abi Waqqash
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 22: Khalid bin Said bin Ash
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 23: Ubadah bin Shamit
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 24: Abdullah bin Amr bin Haram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar