Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Nabi SAW bersabda:
“Allah Ta’ala berfirman, 'Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR bukhari dan Muslim)
Salah satu ibadah hati adalah berprasangka baik kepada Allah. Berprasangka baik tidaklah cukup hanya di hati namun juga dilaksanakan dalam amalan ibadah yang baik dan benar.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Telah jelas perbedaan antara husnuzhan dan ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik mendorong lahirnya amal, menganjurkan, membantu dan menuntun untuk melakukannya. Inilah sikap yang benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang dalam kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik itu adalah pengharapan (raja), barangsiapa pengharapannya membawa kepada kataatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar. Dan barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap berharapnya berarti enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya.‘ (Al-Jawab Al-Kafi, hal. 24)
Syekh ShAleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Prasangka yang baik kepada Allah seharusnya disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak,maka itu termasuk sikap merasa aman dari azab Allah. Jadi, prasangka baik kepada Allah harus disertai dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan kejelekan, itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu adalah pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar Allah." (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2/269)
Kapan kita berprasangka baik kepada Allah?
Pertama, saat menunaikan ketaatan kepada Allah.
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Sesungguhnya seorang mukmin ketika berbaik sangka kepada Tuhannya, maka dia akan memperbaiki amalnya. Sementara orang buruk, dia berprasangka buruk kepada Tuhannya, sehingga dia melakukan amal keburukan." (HR. Ahmad, hal. 402).
Ibnu Qayim rahimahullah berkata: “Siapa yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan, akan mengetahui bahwa khusnuzhan kepada Allah adalah memperbaiki amal itu sendiri. Karena yang menjadikan amal seorang hamba itu baik, adalah karena dia memperkirakan Tuhannya akan memberi balasan dan pahala dari amalannya serta menerimanya. Sehingga yang menjadikan dia beramal adalah prasangka baik itu. Setiap kali baik dalam prasangkanya, maka semakin baik pula amalnya."
Abul Abbas Al-Qurtubi rahimahullah berkata: “Pendapat lain mengatakan, maknanya adalah: Mengira akan dikabulkan apabila berdoa, mengira diterima ketika bertaubat, mengira diampuni ketika memohon ampunan, mengira diterima amalnya ketika melaksanakannya dengan memenuhi persyaratan, serta berpegang teguh terhadap kejujuran janji-Nya dan lapangnya KeutamaanNya.
Sabda Nabi SAW, ‘Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan (doanya).’ (HR. Tirmizi shahih)
Kedua, saat mengalami musibah dan saat menjelang kematian.
Dari Jabir radhiallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi SAW tiga hari sebelum wafat bersabda: “Janganlah salah satu di antara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim, 2877)
Al-Khatab berkata, "Dianjurkan bagi yang akan meninggal dunia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Berprasangka baik kepada Allah meskipun sangat dianjurkan ketika mau meninggal dunia dan dalam kondisi sakit, akan tetapi sepantasnya seseorang senantiasa berprasangka baik kepada Allah. " Wallahu'alam.
“Allah Ta’ala berfirman, 'Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku. Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian, maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR bukhari dan Muslim)
Salah satu ibadah hati adalah berprasangka baik kepada Allah. Berprasangka baik tidaklah cukup hanya di hati namun juga dilaksanakan dalam amalan ibadah yang baik dan benar.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Telah jelas perbedaan antara husnuzhan dan ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik mendorong lahirnya amal, menganjurkan, membantu dan menuntun untuk melakukannya. Inilah sikap yang benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang dalam kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri). Berprasangka baik itu adalah pengharapan (raja), barangsiapa pengharapannya membawa kepada kataatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar. Dan barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap berharapnya berarti enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya.‘ (Al-Jawab Al-Kafi, hal. 24)
Syekh ShAleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Prasangka yang baik kepada Allah seharusnya disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak,maka itu termasuk sikap merasa aman dari azab Allah. Jadi, prasangka baik kepada Allah harus disertai dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan kejelekan, itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu adalah pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar Allah." (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2/269)
Kapan kita berprasangka baik kepada Allah?
Pertama, saat menunaikan ketaatan kepada Allah.
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Sesungguhnya seorang mukmin ketika berbaik sangka kepada Tuhannya, maka dia akan memperbaiki amalnya. Sementara orang buruk, dia berprasangka buruk kepada Tuhannya, sehingga dia melakukan amal keburukan." (HR. Ahmad, hal. 402).
Ibnu Qayim rahimahullah berkata: “Siapa yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan, akan mengetahui bahwa khusnuzhan kepada Allah adalah memperbaiki amal itu sendiri. Karena yang menjadikan amal seorang hamba itu baik, adalah karena dia memperkirakan Tuhannya akan memberi balasan dan pahala dari amalannya serta menerimanya. Sehingga yang menjadikan dia beramal adalah prasangka baik itu. Setiap kali baik dalam prasangkanya, maka semakin baik pula amalnya."
Abul Abbas Al-Qurtubi rahimahullah berkata: “Pendapat lain mengatakan, maknanya adalah: Mengira akan dikabulkan apabila berdoa, mengira diterima ketika bertaubat, mengira diampuni ketika memohon ampunan, mengira diterima amalnya ketika melaksanakannya dengan memenuhi persyaratan, serta berpegang teguh terhadap kejujuran janji-Nya dan lapangnya KeutamaanNya.
Sabda Nabi SAW, ‘Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan (doanya).’ (HR. Tirmizi shahih)
Kedua, saat mengalami musibah dan saat menjelang kematian.
Dari Jabir radhiallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi SAW tiga hari sebelum wafat bersabda: “Janganlah salah satu di antara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim, 2877)
Al-Khatab berkata, "Dianjurkan bagi yang akan meninggal dunia berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Berprasangka baik kepada Allah meskipun sangat dianjurkan ketika mau meninggal dunia dan dalam kondisi sakit, akan tetapi sepantasnya seseorang senantiasa berprasangka baik kepada Allah. " Wallahu'alam.
Alhamdulillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar