Kisah Sahabat Rasulullah SAW 12: Zaid bin Haritsah




Siapakah Zaid bin Haritsah yang digelari “Pecinta Rasulullah” itu? Seorang pemimpin pasukan yang dipercaya Nabi SAW menuju perang Muktah melawan Romawi.  Siapakah seseorang yang berperawakan biasa saja tapi memiliki sejarah hidup yang hebat dan besar itu?

Inilah kisahnya.  Bermula dari seorang perempuan bernama Suda, ia istri dari Haritsah. Suda ingin sekali berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Maan.  Haritsah sang suami pun mempersiapkan kendaraan dan perbekalan bagi istri dan anaknya Zaid  yang akan pergi bersama kafilah ke kampung Bani Maan. Haritsah tidak bisa ikut dan merasa berat melepaskan kepergian orang yang dikasihinya,  kalau bukan karena ada tugas yang harus dikerjakannya.

Haritsah akhirnya melepas kepergian keluarganya itu, dan rombongan kafilah segera berlalu dari pandangan matanya. Sampai suatu hari ketika Suda dan anaknya Zaid masih di kampung Bani Maan terjadi perampokan.  Zaid terpisah dari ibunya dan dibawa perampok sebagai budak. Suda dengan perasaan duka kembali kepada suaminya yang begitu kaget sehingga tak sadarkan diri.

Haritsah berjalan dari kampung ke kampung mencari buah hatinya. Padang pasir dijelajahinya.  Banyak orang yang ditemui ditanyainya. Namun, hasilnya sia-sia. Haritsah melantunkan nestapanya…

“Ku tunggu Zaid, ku tak tahu apa yang terjadi…
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati?
Demi Allah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya.
Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa?
Di kala matahari terbit ku terkenang padanya.
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma.
Tiupan angina yang membangkitkan kerinduan pula
Wahai alangkah lamanya duka nestapa, diriku jadi merana…”

Menjadi  Anak Angkat Rasulullah SAW


Syahdan di kala kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan rampokannya, mereka pergi menjualkan barang-barang dan tawanan hasil rampokannya ke pasar Ukadz yang sedang berlangsung kala itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam dan kemudian hari diberikan kepada saudaranya Siti Khadijah. Saat itu Khadijah ra telah menjadi istri Rasulullah SAW sebelum diangkat menjadi rasul.  Zaid kemudian menjadi pelayan Rasulullah SAW.

Zaid dimerdekakan, dididik dan dibesarkan sebagaimana anak sendiri oleh Rasulullah SAW.  Sampai suatu hari kabilah dari desa Haristah tiba berhaji di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah Zaid kepadanya.  Zaid lalu meminta kabilah menyampaikan pesannya bahwa ia telah tinggal bersama orang yang paling mulia.

Mengetahui dimana keberadaan anaknya, Haritsah menyusul Zaid ke Mekah. Ia bertemu dengan Nabi SAW yang kala itu belum menjadi seorang rasul tapi telah digelari Muhammad Al Amin, yang terpercaya.  Ia berkata, “Wahai Ibnu Abdul Mutthalib, wahai putra dari pemimpin kaumnya, Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan. Kami datang ini kepada Anda hendak meminta anak kami, sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya.”

Berkata Nabi SAW kepada Haritsah, “Panggilah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih Anda, maka akan saya kembalikan kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku.”

“Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan Anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu,” kata Haritsah.

Zaid kemudian dipanggil dan ditanya pilihannya. “Tahukah engkau siapa orang-orang  ini?” Tanya Rasulullah kepada Zaid. “Ya saya tahu, yang ini ayahku dan satunya lagi pamanku,” jawab Zaid. Lalu Zaid ditanya kepada siapa ia hendak tinggal. Tanpa berpikir panjang Zaid menjawab, “Tak ada orang pilihanku kecuali Anda. Anda adalah ayah dan Andalah pamanku,” ungkap Zaid kepada Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW begitu terharu. Demikian pula ayahnya Haritsah. Ia merelakan anaknya karena tahu Zaid berada di tangan yang benar.  Zaid dibawa keluar oleh Rasulullah SAW yang saat itu berkata kepada orang-orang Quraisy yang sedang berkumpul, “Saksikan oleh kalian semua, bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku yang menjadi ahli warisku dan aku menjadi ahli warisnya.”
Haritah kemudian kembali ke kampungnya. Walaupun tak lagi membawa anaknya pulang, kali ini hatinya telah tentram.

Ayat Tentang Anak Angkat


Demikianlah Zaid tumbuh di bawah pengawasan Rasulullah SAW, yang kemudian menjadi salah seorang paling awal masuk Islam. Ia kemudian menikah dengan Zainab namun kehidupan rumah tangga mereka tak bertahan lama. Zainab kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW lalu mencarikan Zaid istri yang lain. Zaid menikah dengan Ummu Kaltsum binti Ugbah.

Lantaran peristiwa tersebut, maka beredarlah berita-berita tak sedap di kalangan muslim kota Madinah. Mereka melihat Rasulullah SAW telah menikahi mantan istri anak angkatnya sendiri.  Perdebatan itu diakhiri langsung oleh Allah SWT dengan menurunkan ayat yang memperbolehkan menikahi mantan istri seorang anak angkat yang secara biologis tak ada hubungannya dengan ayah angkatnya.

“Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki yang ada bersama kalian, tetapi ia adalah Rasul Allah dan Nabi penutup.” QS Al Ahzab 33:40

Selain itu, nama Zaid pun kembali menggunakan nama ayah kandungnya menjadi Zaid bin Haritsah.

Komandan Perang yang Gugur


Ummil Mukminin, Aisyah ra mengatakan tentang Zaid, “Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, pasti ia (Zaid) yang diangkat menjadi pemimpinnya.”

Zaid memang menjadi komandan perang yang handal di perang Al Jumuh, pertempuran At Tharaf, al-Ish, al-Hismi dan lainnya. Sampai akhirnya tiba pada perang Muktah yang terkenal dimana pasukan muslimin harus menghadapi ratusan ribu tentara Romawi.

Gerak-gerik orang-orang  Romawi dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan Islam dapat tercium oleh Nabi SAW. Sebagai seorang ahli strategi, Nabi SAW memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak daripada diserang di daerah sendiri serta menyadarkan mereka akan keampuhan perlawanan Islam.

Pada Jumadil Ula tahun ke delapan Hijriah, tentara Islam maju bergerak ke Balqa di wilayah Syam. Pasukan Romawi dipimpin oleh Heraklius.  Mereka mengambil tempat di sebuah daerah bernama Masyarif dibantu oleh kabilah-kabilah dan suku badui di perbatasan.

Rasulullah SAW memilih tiga orang penting untuk memimpin perang ini. Pertama, Zaid bin Haritsah, kedua Jafar bin Abi Thalib dan ketiga Abdullah bin Rawahah.  Semoga ridha Allah atas mereka. “Kalian harus tunduk kepada Zaid bi Haritsah sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang ileh Jafar bin Abi Thalib, dan seandainya Jafar gugur pula maka tempatnya diisi oleh Abdullah bin Rawahah.” Demikian pesan Rasulullah SAW kepada pasukan muslimin sebelum perang.

Kala itu pasukan Romawi berjumlah 200 ribu orang. Jumlah sebegitu besar tidaklah menggetarkan hati muslimin yang telah teguh hatinya itu. Gugur di jalan Allah adalah semata tujuannya.

“Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang Mukmin dengan surga sebagai imbalannya.” QS At Taubah 111

Pada perang Muktah lah Zaid telah menghunuskan pedangnya yang terakhir. Ia menghalau musuh dengan keberanian, menegakkan panji-panji Islam dengan genggaman yang kuat.  Si kecil yang pernah terpisah dari ayah kandungnya telah menemui takdirnya sebagai seorang syuhada. Demikianlah Allah SWT telah merencakan semuanya bagi Zaid bin Haritsah. Ia telah gugur di jalan Allah sebelum perang Muktah usai.

Salam untukmu Zaid bin Haritsah, salam untukmu para syuhada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Taubatnya Sang Pencuri Kain Kafan