Inilah perjalanan seorang periwayat hadist yang terkenal
itu. Seorang yang mendengar dan merekam kehidupan Rasulullah Shallalahu Alaihi
Wassalam waktu demi waktunya, sehingga sampai saat ini kita seolah bisa
mendengar sabda Beliau SAW, seperti mendengar rekamannya untuk mengikuti
tuntunannya.
“Aku dibesarkan dalam keadaan yatim, dan pergi hijrah dalam
keadaan miskin. Aku menerima upah sebagai pembantu pada Busrah binti Ghazwan
demi untuk mengisi perutku. Akulah yang melayani keluarga itu bila mereka
sedang menetap dan menuntun binatang tunggangannya bila sedang bepergian.
Sekarang inilah aku, Allah telah menikahkanku dengan putri Busrah, maka segala
puji bagi Allah yang telah menjadikan agama ini tiang penegak dan menjadikan
Abu Hurairah ikutan umat.” Demikianlah Abu Hurairah menggambarkan dirinya.
Abu Hurairah berhijrah pada tahun tujuh Hijriah di Khaibar.
Ia memeluk Islam karena kecintaannya pada Rasulullah SAW dan Islam. Sejak masuk
Islam, ia tak pernah berpisah lagi sampai Nabi SAW menghadap Ilahi.
Abu Hurairah bukanlah termasuk mereka yang mampu menulis. Namun, ia memiliki kemampuan untuk
menghafal dengan kuat. Ingatannya adalah salah satu yang terdepan di antara
para sahabat kala itu. Ia menyadari
bahwa dirinya bukanlah termasuk yang awal masuk Islam sebagaimana sahabat yang
lain, namun ia mengejar segala ketertinggalannya.
Kala Rasulullah Shallalahu Alaihi Wassalam telah meninggal
dunia, Abu Hurairah banyak sekali menyampaikan hadist sehingga orang mulai
merasa curiga dan ragu-ragu. Ia berkata kepada para sahabat,
“Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan hadist dari Nabi SAW. Dan Tuan-Tuan katakan pula, orang-orang Muhajirin yang lebih dahulu daripadanya masuk Islam tak ada yang menceritakan hadist-hadist itu. Ketahuilah bahwa sahabat-sahabatku orang-orang Muhajirin itu sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedangkan sahabat-sahabatku orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka. Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majelis Rasulullah SAW, maka aku hadir sewaktu yang lain tidak hadir, dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukan.”
“Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan hadist dari Nabi SAW. Dan Tuan-Tuan katakan pula, orang-orang Muhajirin yang lebih dahulu daripadanya masuk Islam tak ada yang menceritakan hadist-hadist itu. Ketahuilah bahwa sahabat-sahabatku orang-orang Muhajirin itu sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedangkan sahabat-sahabatku orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka. Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majelis Rasulullah SAW, maka aku hadir sewaktu yang lain tidak hadir, dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukan.”
Abu Hurairah melanjutkan, “Dan Nabi SAW pernah berbicara
kepada kami di suatu hari, kata Beliau:
‘Siapa yang membentangkan sorbannya sehingga selesai
pembicaraanku, kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan
suatu pun dari apa yang telah didengarnya daripadaku.’
Maka aku hamparkan kainku, beliau pun berbicara kepadaku,
kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada suatu pun yang
terlupa bagiku, dan apa yang telah kudengar daripadanya. Demi Allah, kalau
tidaklah karena adanya ayat di dalam Kitabullah niscaya tidak akan kukabarkan
kepada kalian sedikit jua pun. Ayat itu ialah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah kami
turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, sesudah Kami nyatakan
kepada manusia di dalam kitab mereka itulah yang dikutuk oleh Allah dan dikutuk
oleh para pengutuk (malaikat-malaikat)” QS Al Baqarah 159
Demikianlah Abu Hurairah menjelaskan mengapa dia bisa
mengingat begitu banyak hadist.
Suatu hari Amirul Mukminin, Umar bin Khattab berkata
padanya, “Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah. Bila
tidak, maka akan ku kembalikan kau ke Daus (daerah asalnya).” Perkataan Umar
bukanlah tanpa alasan, karena ia tak ingin orang melupakan Al Quran sebagai panduan
utama umat muslim.
Tahun-tahun awal semenjak kepergian Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam merupakan tahun emas pengumpulan Al Quran. Al Quran yang
kebanyakan tersimpan dalam ingatan kaum muslim itu belum dituliskan.
Lembaran-lembarannya pun masih terserak. Khalifah Umar Bin Khattab tak ingin
terjadi campur baur antara Al Quran dan hadist.
“Sibukkanlah dirimu dengan Al Quran, karena dia adalah kalam
Allah,” pesan khalifah Umar. “Kurangilah olehmu meriwayatkan perihal Rasulullah
SAW kecuali yang mengenai amal perbuatannya.”
Abu Hurairah berusaha mematuhi pesan tersebut. Meskipun
terkadang ia tak dapat menahan rasa di dadanya. Setiap kali ada kesempatan,
maka ia akan menyampaikan hadistnya. Abu
Hurairah meyakini bahwa menyembunyikan hadist padahal dia mengetahuinya adalah
dosa dan kejahatan.
Hafalan yang Kuat
Pada suatu hari Marwan bin Hakam ingin menguji kemampan menghafal Abu Hurairah. Ia meminta Abu Hurairah menyampaikan hadist dan seorang penulis diminta untuk menuliskan kata-katanya dari balik dinding. Setelah setahun, dipanggilnya kembali Abu Hurairah dan dimintanya untuk menyampaikan apa yang telah diucapkannya dahulu. Ternyata tak ada satu kata pun yang berubah, persis sama seperti yang pernah dicatat oleh sang penulis di balik dinding.
“Tak ada seorang pun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih
banyak menghafal hadist daripadaku, kecuali Abdullah bin Amr bin Ash karena ia
pandai menuliskannya sedangkan aku tidak,”demikian pernyataan Abu Hurairah.
Imam Syafii berpendapat tentang Abu Hurairah, “Ia seorang yang paling banyak
hafal di antara seluruh perawi hadist semasanya.” Sementara Imam Bukhari menyatakan pula, “Ada
kira-kira delapan ratus atau lebih dari sahabat tabi’in dan ahli ilmu yang
meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah.”
Sang Ibu yang Mendapat Hidayah
Setiap malam di rumah Abu Hurairah tak pernah sepi dari
ibadah. Pada sepertiga malam yang pertama, Abu Hurairah akan melaksanakan
sholat malam, sepertiga malam kedua dilanjutkan istrinya, dan sepertiga malam
terakhir oleh putrinya. Pernah suatu kali
saking laparnya, ia mengikat batu di perutnya dan pergi ke masjid. Sampai di
sana, ia terjatuh sambil menggeliat kesakitan dan para sahabat menyangka ia sedang sakit ayan.
Hanya ada satu yang membuatnya sedih yaitu sikap ibunya.
Setelah masuk Islam, ibunya tak pernah berhenti menjelek-jelekkan Rasulullah
SAW. Suatu kali Abu Hurairah datang ke masjid bertemu Rasulullah SAW sambil
menangis. Ia bercerita, “Ya Rasulullah, aku telah meminta ibuku masuk Islam,
ajakanku ditolaknya. Hari ini aku pun baru saja memintanya masuk Islam, sebagai
jawaban ia malah mengeluarkan kata-kata yang tak kusukai terhadap diri Anda.
Karenanya mohon Anda doakan kepada Allah kiranya ibuku itu ditunjukiNya kepada
Islam.”
Maka Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, tunjukilah ibu Abu
Hurairah.”
Aku pun berlari mendapatkan ibuku untuk menyampaikan kabar
gembira tentang doa Rasulullah itu. Sewaktu sampai di muka pintu,kudapati pintu
itu terkunci. Dari luar kedengaran bunyi gemericik air dan suara ibu
memanggilku, “Hai Abu Hurairah, tunggulah di tempatmu itu!”
Ibuku lalu keluar
memakai baju kurungnya dan membalutkan selendangnya sambil mengucapkan
syahadat.. Aku pun berlari menemui Rasulullah SAW sambil menangis karena
gembira, sebagaimana dahulu aku menangis karena berduka dan kataku padanya,
“Kusampaikan kabar suka ya Rasulullah, bahwa Allah telah mengabulkan doa Anda.
Allah telah menunjuki ibuku ke dalam Islam.” Kemudian kataku pula, “Ya
Rasulullah, mohon anda doakan kepada Allah, agar aku dan ibuku dikasihi oleh
orang-orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan.” Maka Rasul berdoa, “Ya
Allah, mohon engkau jadikan hambaMu ini beserta ibunya dikasihi oleh sekalian
orang-orang mukmin laki-laki maupun perempuan.”
Menolak Jabatan
Abu Hurairah hidup sebagai ahli ibadah dan mujahid. Ia tak
pernah ketinggalan dalam pertempuran. Semasa kepemimpinan Umar bin Khattab, Abu
Hurairah diangkat sebagai amir di Bahrain. Khalifah Umar adalah orang yang
tegas soal kepemilikan harta para pejabat. Siapa yang mempunyai harta
sebelum menjabat, maka sewaktu ia telah turun dari jabatannya, jumlah hartanya
haruslah tetap sama.
Suatu hari Khalifah Umar bertanya kepada Abu Hurairah
mengenai harta yang dimiliki oleh Abu Hurairah sebelum menjabat. “Hai musuh
Allah dan musuh kitabNya, apa engkau telah mencuri harta Allah?” Tanya Umar bin Khattab pada Abu
Hurairah.
Abu Hurairah menjawab, “Aku bukan musuh Allah dan tidak pula
musuh kitabNya. Hanya aku menjadi musuh orang yang memusuhi keduanya dan aku
bukanlah orang yang mencuri harta Allah!”
“Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu?” Tanya Umar.
“Kuda kepunyaanku beranak pinak dan pemberian orang
berdatangan,” jawab Abu Hurairah.
“Kembalikan harta itu ke perbendaharaan baitul mal,”
demikian tegas khalifah Umar.
Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Umar, kemudian
ia mengangkat tangan kea rah langit sambil berdoa, “Ya Allah, ampunilah Amirul
Mukminin.”
Tak selang berapa lama, Umar memanggil Abu Hurairah dan
menawarkan jabatan kepadanya di wilayah baru. Namun, Abu Hurairah menolaknya
dan meminta maaf karena tak menerimanya.
Umar bertanya, “Kenapa, apa sebabnya?” Abu Hurairah menjawab, “Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, punggungku tidak dipukuli.” Abu Hurairah diam sejenak kemudian melanjutkan, “Dan, aku takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa belas kasih.” Demikianlah jawaban sang penyampai hadist.
Saat berusia 78 tahun, Abu Hurairah sakit dan banyak orang mengunjunginya serta mendoakannya. Abu Hurairah berkata, “Ya Allah sesungguhnya aku telah sangat rindu hendak bertemu denganMu. Semoga Engkau pun demikian.” Tak lama ia wafat di tahun 59 Hijriah dan dimakamkan di Baqi.
Umar bertanya, “Kenapa, apa sebabnya?” Abu Hurairah menjawab, “Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, punggungku tidak dipukuli.” Abu Hurairah diam sejenak kemudian melanjutkan, “Dan, aku takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa belas kasih.” Demikianlah jawaban sang penyampai hadist.
Saat berusia 78 tahun, Abu Hurairah sakit dan banyak orang mengunjunginya serta mendoakannya. Abu Hurairah berkata, “Ya Allah sesungguhnya aku telah sangat rindu hendak bertemu denganMu. Semoga Engkau pun demikian.” Tak lama ia wafat di tahun 59 Hijriah dan dimakamkan di Baqi.
Para pelayat yang pulang dari pemakamannya mengulang-ulang
hadist yang pernah disebutkan Abu Hurairah. Seorang yang baru memeluk Islam
bertanya kepada kawannya mengapa orang yang baru dikuburkan itu diberi nama Abu
Hurairah. Kawannya menjawab, karena ia ibarat bapaknya kucing. Sebelumnya ia
bernama Abdu Syamsi dan saat memeluk Islam berganti nama menjadi Abdurrahman.
Namun, karena sangat menyayangi kucing, akhirnya ia diberi nama Abu Hurairah.
Salam untukmu Abu Hurairah, semoga Allah meridhoimu.
Alhamdulillah
Kisah sahabat lainnya...
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 8: Abu Dzar Al Ghifari
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 9: Hudzaifah ibnul Yaman
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 10: Miqdad Bin Amr
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 11: Bilal bin Rabah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 12: Zaid bin Haritsah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 13: Khubaib bin Adi
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 14: Abbas bin Abdul Muttalib
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 15: Abdullah bin Umar
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 16: Jafar bin Abi Thalib
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 17: Khalid bin Walid
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 18: Ammar bin Yasir
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 20: Utbah bin Ghazwan
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 22: Khalid bin Said bin Ash
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 23: Ubadah bin Shamit
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 24: Abdullah bin Amr bin Haram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar