Kisah Sahabat Rasulullah SAW 34: Zaid bin Tsabit


Pada suatu hari di Madinah, seorang bocah berumur 11 tahun merengek kepada Rasulullah ﷺ ingin diajak turut serta ke medan perang Badar. Namun, karena masih terlalu kecil, tentu saja ia tak diijinkan oleh Rasulullah ﷺ.

Menjelang perang Uhud, kembali sang bocah meminta diajak turut bertempur. Kala itu menghadap pula beberapa anak lelaki yang lain. Umurnya lebih besar sekitar 15 tahun.

Salah seorang diantaranya Rafi bin Khudaij. Ia membawa tombaknya lalu memperagakan kemahirannya. Maka ia diijinkan turut berperang.

Ada lagi Samurah bin Jundub. Ia memperlihatkan kekuatan lengannya. Keluarganya mengatakan, "Samurah mampu merebahkan badan orang yang lebih tinggi sekalipun." Maka Rasulullah ﷺ pun memperkenankannya.

Lagi-lagi si bocah kecil tadi belum diijinkan untuk berperang. Bocah itu adalah Zaid bin Tsabit. Ada enam orang anak kala itu yang tertinggal, dua diantaranya yaitu Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar.

Demikianlah seterusnya Zaid bin Tsabit, setiap kali ada peperangan ia akan meminta turut serta. Sampai akhirnya ia diijinkan berperang kala usianya beranjak 19 tahun pada tahun kelima hijriah yaitu di perang Khandaq.

Kemampuan Zaid bin Tsabit sebenarnya bukan hanya di medan perang. Ada kelebihan lain yang dimilikinya yaitu menghafal Al Quran dengan baik. Ia juga sangat baik dalam menulis dan menerjemahkan surat-surat yang akan dikirim kepada Raja atau kaisar negeri lain.

Zaid sangat disegani karena kemampuannya menghafal dan kepandaiannya berbahasa itu. Suatu kali Sya'bi bercerita:
"Pada suatu kali Zaid ingin pergi berkendaraan, Ibnu Abbas kemudian memegang tali kudanya. Zaid berkata kepada Ibnu Abbas, "Tak usah wahai putera paman Rasulullah."
Ibnu Abbas hanya menjawab, "Tidak, memang beginilah seharusnya kami memperlakukan ulama kami."

Qabishah berkata:
"Zaid di Madinah mengepalai peradilan urusan fatwa, qiraat dan soal pembagian pusaka."

Tsabit bun Ubeid berkata:
"Jarang aku melihat seorang yang jenaka di rumahnya tetapi paling disegani di majelisnya seperti Zaid."

Ibnu Abbas juga berkata:
"Tokoh-tokoh terkemuka dari sahabat-sahabat Muhammad ﷺ tahu betul bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang dalam ilmunya."

Zaid yang keturunan Anshar tersebut pernah didoakan oleh Rasulullah ﷺ keberkahan. Zaid merupakan pemuda pilihan Rasulullah ﷺ untuk menuliskan Al Quran pada lembaran-lembaran. Ia di kemudian hari akan mendapatkan tugas berat yaitu mengumpulkan dan menuliskan Al Quran menjadi satu bagian yang utuh.

Lebih Berat dari Memindahkan Gunung

Kitab mulia Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur selama 21 tahun. Selama itu pula semenjak diturunkan ayat pertama, beberapa orang telah diberikan taufik dari Allah Subhanahu wa Taala untuk menghafalkannya, serta menuliskannya.

Demikianlah kehendak Ilahi, menurunkan isi kitab sedikit demi sedikit sebagai pegangan hidup dan membangun akidah serta keyakinan yang kokoh. Al Quran datang secara berkala dan terbagi-bagi sesuai dengan keperluan yang terjadi dalam perjalanannya yang terus berkembang dan situasi yang selalu berubah. Sehingga isi kitab itu pun tersebarlah mengikuti para penghafalnya.

Beberapa orang merupakan ahlinya dalam menguasai Al Quran, antara lain Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas dan tentu saja Zaid bin Tsabit. Semoga Allah meridhoi mereka semua.

Sesudah sempurna turunnya wahyu, Rasulullah ﷺ mengulang-ulang membacakannya kepada kaum muslimin dengan menertibkan susunan surat-surat dan ayat-ayatnya.

Sesudah Rasulullah ﷺ wafat, kaum muslim kala itu disibukkan dengan peperangan menghadapi orang-orang yang murtad. Termasuk peperangan Yamamah. Banyak korban dari kalangan muslimin menjadi syuhada yaitu sekitar 450 orang yang adalah para penghafal Al Quran.

Keadaan demikian membuat Umar bin Khattab ra khawatir. Maka menghadaplah ia kepada Khalifah Abu Bakr Shiddiq ra dan berunding untuk memulai upaya penghimpunan Al Quran.

Setelah melakukan sholat istikharah, Khalifah Abu Bakr ra memanggil Zaid bin Tsabit untuk memulai upaya pengumpulan Al Quran. "Kamu adalah seorang anak muda yang cerdas, kami tidak meragukan kamu, " demikian ucap Abu Bakr kepada Zaid.

Zaid pun menyanggupinya dan melakukan amal bakti sepenuh hati. Tiada kata istirahat baginya, mengumpulkannya dari kalangan muslimin, menuliskannya, membandingkannya, meneliti dengan seksama sehingga bisa dihimpun sebuah kitab yang tersusun dan teratur rapi.

Amal karyanya ini dinilai bersih oleh kata sepakat para sahabat. Semoga berkah Allah Subhanahu wa Taala dilimpahkan kepada mereka yang menghafalkan Al Quran pada awal turunnya, di masa kerasulan Muhammad ﷺ, para penulisnya dan terlebih lagi penyusunnya.

Apa yang dilakukan Zaid bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Sungguh kitab yang mulia tak bisa disusun jika ada sedikit saja kekeliruan. Tugas itu begitu suci, begitu mulia.

Zaid suatu kali menggambarkan kesulitan yang dihadapinya saat menghimpun dan menyusun Al Quran. "Demi Allah, seandainya mereka memintaku untuk memindahkan gunung dari tempatnya akan lebih mudah kurasa dari perintah mereka menghimpun Al Quran."

Tak ada kecemasan yang lebih besar menimpa hati nurani Zaid serta agamanya melebihi kekhawatiran akan terjadinya sebuah kesalahan, bagaimanapun kecilnya, bahkan bila tanpa disengaja.

Namun, Allah Subhanahu wa Taala bersama orang-orang yang dikehendaki-Nya beroleh petunjuk, dan Allah Subhanahu wa Taala telah menurunkan janjinya.

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰـفِظُوْنَ
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya."
(QS. Al-Hijr 15: Ayat 9)

Penyatuan Mushaf

Apa yang dilakukan Zaid bin Tsabit semenjak kekhalifahan Abu Bakr Asshiddiq ra adalah tahap pertama upaya penghimpunan Al Quran. Penghimpunan yang pertama ini masih tertulis dalam banyak mushaf, dimana terdapat perbedaan tanda harakat. Para sahabat meyakini untuk mengumpulkannya dalam satu mushaf saja.

Pada masa kekhalifahan Ustman ra, saat peperangan masih terus berlangsung bahkan ke pelosok yang jauh, banyak juga mereka yang memeluk Islam. Perbedaan mushaf dikhawatirkan menimbulkan perbedaan bacaan terhadap Al Quran.

Sebagian sahabat, semoga Allah Subhanahu wa Taala meridhoi mereka, yang dipimpin oleh Hudzaifah ibnul Yaman bertemu dengan Utsman. Mereka mengusulkan upaya penyatuan mushaf secepatnya.

Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu pun meminta Zaid bin Tsabit untuk kembali membantu melakukan pekerjaan mulia tersebut. Zaid kemudian meminta bantuan kepada beberapa orang sahabat untuk memulai pekerjaan mereka.

Zaid kemudian pergi ke rumah Hafshah, Putri Umar bin Khattab ra. Selama ini mushaf-mushaf Al Quran tersimpan dan terpelihara dengan baik disana. Para penghafal dan penulis Al Quran yang membantu Zaid kemudian menyatukan mushaf-mushaf tersebut yang sebenarnya terdiri dari sedikit saja peebedaan.

Demikianlah Zaid bin Tsabit. Saat kita membaca Al Quran atau mendengarkan lantunan kalam-Nya dari seseorang, bisa jadi kita tak pernah membayangkan betapa kesulitan yang dihadapi para penyusunnya di kali yang pertama.

Apa yang dilakukan Zaid bin Tsabit bersama para sahabat kala itu untuk menyusun Al Quran tak ada bedanya dengan ladang jihad di jalan Allah Subhanahu wa Taala dengan pahala yang tak pernah putus. Atas kuasa-Nya, telah dikukuhkan mereka yang menyiarkan agama yang benar di bumi ini, melenyapkan kegelapan menjadi cahaya yang terang benderang.

Kala Zaid bin Tsabit meninggal dunia, Ibnu Abbas mengatakan, "Wahai manusia, siapa yang ingin mengetahui seperti apakah saat ilmu meninggalkan kita, seperti inilah rasanya. Aku bersaksi kepada Allah bahwa ilmu itu telah meninggalkan kita hari ini."

Salam untukmu Zaid bin Tsabit. Semoga Allah meridhoimu dan memuliakanmu sebagaimana engkau memuliakan Al Quran.

Alhamdulillah


Kisah lainnya:
Kisah Sahabat Rasulullah SAW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Taubatnya Sang Pencuri Kain Kafan