Kabut dan Azab

QS Ad Dhukhaan 10-16

Bismillahi Rahmaani Rahiim

Maka ingatlah hari ketika langit membawa kabut yang nyata (10)
yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. (11)
(Mereka berdoa), "Ya Rabbi, lenyapkanlah dari kami azab itu. Sesungguhnya kami akan beriman." (12)
Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal telah datang kepada mereka seorang rasul yang memberi penjelasan, (13)
kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata, "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila.(*)" (14)
Sesungguhnya (kalau) Kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar). (15)
Ingatlah hari (ketika) Kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras.(**) Sesungguhnya Kami adalah pemberi balasan. (16)
Shodaqollahul'azim

Keterangan ayat:
(*) Nabi Muhammad SAW dituduh menerima pelajaran dari seorang yang bukan bangsa Arab bernama Abbas yang beragama kristen.
(**) Hantaman yang keras itu terjadi di peperangan Badar dimana orang-orang musyrik dipukul dengan sehebat-hebatnya sehingga menderita kekalahan dan banyak di antara pemimpin-pemimpin mereka yang tewas.

Pada suatu riwayat, ketika kaum Quraisy mendurhakai Nabi SAW, beliau berdoa supaya mereka mendapatkan kelaparan layaknya kelaparan semasa zaman nabi Yusuf. Mereka pun mengalami musim paceklik sehingga menderita kekurangan makanan. Setelah berlalu keadaan seperti itu orang melihat ke langit dengan harapan melihat tanda-tanda akan turun hujan. Maka Allah menurunkan ayat  Ad Dhukhaan 10.

Mereka pun menghadap Nabi SAW meminta bantuannya dengan berkata, "Ya Rasulullah, mohonkanlah hujan bagi kami (kaum Mudlar), karena sudah sangat menderita. Rasulullah SAW pun berdoa agar diturunkan hujan dan hujan pun turunlah. Maka turunlah ayat selanjutnya Ad Dhukhaan 15 yang menegaskan bahwa mereka akan kembali sesat.

Setelah mereka memperoleh kemewahan, mereka pun kembali kepada keadaan sedia kala atau durhaka. Maka turunlah ayat selanjutnya Ad Dhukhaan 16 yang menegaskan mereka akan mendapat siksaan Allah yang keras. Mereka mengalami kekalahan telak pada perang Badr.

Alhamdulillah

Surat Malcolm X

If white Americans could accept the religion of Islam, if they could accept the Oneness of God (Allah) they too could then sincerely accept the Oneness of Men, and cease to measure others always in terms of their ‘difference in color’. And with racism now plaguing in America like an incurable cancer all thinking Americans should be more respective to Islam as an already proven solution to the race problem. - Malcolm X

Demikian salah satu bagian dari surat yang ditulis tangan oleh Malcolm X. Baru-baru ini ditemukan dan berhasil dilelang di Los Angeles senilai 1,25 juta dolar AS. Surat ini berisi penuturan Malcolm saat pergi haji ke Mekah pada 1964. Malcolm sendiri dibunuh pada 1965.

Surat yang terdiri dari enam halaman itu berkisah mengenai perjalanannya pergi berhaji. Ia bercerita bagaimana semua orang sama kedudukannya di tanah suci, tidak membedakan warna kulit. Jauh berbeda dengan apa yang sedang terjadi di negaranya Amerika Serikat kala itu,

Malcom juga bercerita bagaimana ia sangat hormat diperlakukan sebagai tamu Allah di tanah suci oleh kerajaan Saudi Arabia. Malcolm percaya Islam merupakan solusi untuk menghilangkan rasisme terutama yang terjadi di Amerika Serikat kala itu. Surat yang ditulis tangan dengan tinta biru itu kini bisa dibaca oleh kita setelah 50 tahun berlalu. 

Semoga Allah merahmati Malcom X.
Berikut isi surat selengkapnya:

Mecca, Saudi Arabia – April 26th, 1964

I have just completed my pilgrimage (Hajj) here to the Holy City of Mecca, the hollyiest City on earth, which is absolutely forbidden for non-Muslims to even rest their eyes upon. This pilgrimage is the most important event in the life of all Muslims, and there are over 226,000 who are here right now from outside of Arabia. From Turkey came the largest contagion, around 50,000 in over 600 buses. This refutes Westerner propaganda that Turkey is turning away from Islam.

I know of only 2 others who have made the actual Hajj to Mecca from America, and both of them are West Indians who also converts to Islam. Mr. Elijah Muhammad, 2 of his sons, and a couple of his followers visited Mecca outside the Hajj season, and their visit is known as the “Omra”, or Lesser Pilgrimage. It is con-

(Page 2) -sidered a blessing in the Muslim World even to make the “Omra”. I very much doubt that 10 American citizens have ever visited Mecca, and I do believe that I might be the first American born Negro to make the actual Hajj itself. I’m not saying this to boast but only to point out what a wonderful accomplishment and blessing it is, and also to enable you to be in a better position intellectually to evaluate it in its proper light, and then your own intelligence can place it in its proper place.

This pilgrimage to the Holliest of Cities as been a unique experience for me, but one which as made me the recipient of numerous unexpected blessings beyond my wildest dreams.

Shortly after my arrival in Jeddah, I was met by Prince Muhammed Faisal who informed me that his illustrious father, his Excellency Crowned Prince Faisal had decret that I be that I The ruler of Arabia be his Guest. What has happened since then would take several books to described, but through the *** of his Excellency I have since stayed in *** hotels in Jeddah, Mecca, Mina – with a private car, a driver, a religious guide, and many servants at my disposal.

(Page 3)Never have I been so highly honored and never had such honor and respect made me feel more humble and unworthy. Who would believe that such blessing could be heaped upon an American Negro!!! (But) in the Muslim World, when one accepts Islam and ceases to be white or Negro, Islam recognizes all men as Men because the people here in Arabia believe that God is One, they believe that all people are also One, and that all our brothers and sisters is One Human Family.

I have never before witnessed such sincere hospitality and the practice of true brotherhood as I have seen it here in Arabia. In fact all I have seen and experienced on this pilgrimage as forced me to “re-arrange” much of thoughts pattern and to toss aside some

(Page 4)
of my previous conclusions. This “adjustment to reality” wasn’t to difficult for me to undergo, because despite my firm conviction in whatever I believe, I have always tried to keep an open mind, which is absolutely necessary to reflect the flexibility that must go hand in hand with anyone with intelligent quest for truth never comes to an end.

here are Muslims here of all colors and from every part of this earth. During the past days here in Mecca (Jeddah, Mina, and Mustaliph) while understanding the rituals of the Hajj, I have eaten. From the same plate, drank from the same glass and slept on the same bed or rug – with Kings, potentates and other forms of rulers –***** with fellow Muslims whose skin was the whitest of white, whose eyes was the bluest of blue, and whose hair was the blondest of blond – I could look into their blue eyes and see that they regarded me as the same (Brothers), because their faith in One God (Allah) had actually removed “white” from their mind, which automatically changed their attitude and their behavior (towards) people of other colors. Their beliefs in the Oneness as made them so different from American whites that their colors played no part in my mind in my dealing with them. Their sincere

(Page 5)
To One God and their acceptance of all people as equals makes them (so called “Whites”) also accepted as equals into the brotherhood of Islam along with the non-whites.

If white Americans could accept the religion of Islam, if they could accept the Oneness of God (Allah) they too could then sincerely accept the Oneness of Men, and cease to measure others always in terms of their “difference in color”. And with racism now plaguing in America like an incurable cancer all thinking Americans should be more respective to Islam as an already proven solution to the race problem.

The American Negro could never be blamed for his racial “animosities” because his are only reaction or defense mechanism which is subconscious intelligence has forced him to react

(Page 6)
against the conscious racism practiced (initiated against Negroes in America) by American Whites. But as America’s insane obsession with racism leads her up the suicidal path, nearer to the precipice that leads to the bottomless pits below, I do believe that Whites of the younger generation, in the colleges and universities, through their own young, less hampered intellects will see the “Handwriting on the Wall” and turn for spiritual salvation to the religion of Islam, and force the older generation to turn with them

This is the only way white America can worn off the inevitable disaster that racism always leads to, and Hitler’s Nazi Germany was best proof of this.

Now that have visited Mecca and gotten my own personal spiritual path adjusted to where I can better understand the depth of my religion (Islam), I shall be living in a couple days to continue my journey into our African Fatherland. Allah willing, by May 20th before my return to New York, I shall have visited Sudan, Kenya, Tanguanyika, Zanzibar, Nigeria, Ghana, and Algeria.
You may use this letter in anyway you desire,

El-Hajj Malik El-Shabbazz
(Malcolm X)

Alhamdulillah

Sumpah Palsu dengan Harga yang Murah


Bismillahi Rahmaani Rahiim


Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. 




Shodaqollahul'azim


QS Ali Imron 77

Pada suatu riwayat dikemukakan bahwa al-Asyats mengadu kepada Rasulullah SAW karena tanah miliknya dicabut oleh seorang Yahudi. Nabi bersabda kepada al-Asyats, "Apakah kau mempunyai bukti?" Jawab al-Asyats, "Tidak."

Bersabdalah Nabi SAW, "Bersumpahlah kau!" al-Asyats berkata, "Kalau begitu, dia berani bersumpah dan hilanglah hartaku." Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas sebagai peringatan kepada orang yang bersumpah palsu.

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa bersumpah untuk merebut harta seorang muslim, maka ia akan bertemu dengan Allah, sedang Dia dalam keadaan murka.”

Al-Asy’ats berkata, “Demi Allah hal itu terjadi pada diriku. Antara diriku dan seorang Yahudi pernah terjadi sengketa tanah. Lalu orang Yahudi itu mengingkari tanah milikku itu. Kemudian aku pun mengadu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu punya bukti?’ ‘Tidak,’ jawabku. Orang Yahudi itu berkata, ‘Aku berani bersumpah.’ Lalu kukatakan, ‘Ya Rasulullah, jika ia bersumpah, maka hilanglah hartaku.’ 

Kemudian Allah menurunkan ayat: innal ladziina yasytaruuna bi-‘aHdillaaHi wa aimaaniHim tsamanan qaliilan (“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan Allah) dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…”)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Sahl bin Anas, dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah mempunyai beberapa hamba yang Allah tidak mau berbicara kepada mereka pada hari Kiamat kelak, tidak mensucikan mereka, dan tidak pula melihat kepada mereka.” 
Ditanyakan, “Siapakah mereka itu, ya Rasulallah?” 
Beliau menjawab, “Orang yang melepaskan diri dari kedua orang tuanya dan membenci keduanya, orang yang melepaskan diri dari tanggung jawab kepada anaknya dan orang yang diberikan kenikmatan oleh suatu kaum, lalu mengingkari nikmat tersebut serta melepaskan diri dari mereka.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW. bersabda: 

“Ada tiga golongan yang pada hari Kiamat Allah tidak mengajak mereka berbicara, tidak melihat mereka, serta tidak pula mensucikan mereka, dan mereka akan memperoleh adzab yang pedih. Yaitu, orang yang melarang Ibnu Sabil mendapatkan sisa air yang dimilikinya, orang yang bersumpah atas suatu barang setelah `Ashar, yakni sumpah palsu, dan orang yang membai’at seorang imam, jika diberikan sesuatu kepadanya, ia akan mendukungnya, akan tetapi jika tidak memberinya, maka ia tidak memberikan dukungan kepadanya.” (Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari hadits Waki’. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.)

Dalam riwayat lain, ada seorang berdagang di pasar. Ia menjual barang dagangannya kemudian bersumpah atas nama Allah bahwa barangnya telah diserahkan padahal ia belum memberikannya. Perbuatan ini dilakukan kepada orang-orang Islam. Maka turunlah ayat di atas.

Menurut Ibnu Hajar dalam sirah Bukhari kedua peristiwa yaitu tentang sumpah palsu orang Yahudi terhadap al-Asyats dan sumpah pedagang atas dagangannya tadi tidak bertentangan, bahkan bisa jadi turunnya ayat berkenaan dengan kedua peristiwa tersebut.

Ada juga riwayat yang menyebutkan ayat di atas turun berkenaan dengan kaum Yahudi yang bersama Hay bin Akhtab dan Ka'b bin al-Asyraf dan lain-lain yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah dalam Taurat lalu menggantinya. Mereka kemudian bersumpah palsu bahwa apa yang dikemukakan dalam Taurat itu adalah dari Allah. Allahu'alam.



Alhamdulillah

Si Lepra, Si Gundul dan Si Buta

Dari Abu Hurairah ra, ia mendengar Rasulullullah SAW bersabda:

Ada tiga orang dari Bani Israil yang masing-masingnya berpenyakit lepra, gundul dan buta. Tuhan hendak menguji, lalu mengutus malaikat menemui mereka.

Malaikat datang lebih dahulu kepada yang berpenyakit lepra. Kata malaikat itu, ”Apakah sesuatu yang paling engkau sukai?” Jawabnya, ”Warna yang bagus dan kulit yang bagus. Orang banyak telah jijik melihatku. Malaikat itu mengusapnya lalu hilanglah penyakitnya. Kemudian diberi warna yag bagus dan kulit yang bagus.

Kata malaikat, ”Apakah harta yang yang paling engkau sukai?” Jawabnya, ”Unta.” Lalu ia diberi unta yang bunting sepuluh bulan. Kata malaikat, ”Engkau akan diberi keberkatan.”

Kemudian malaikat itu datang kepada orang yang gundul seraya berkata, ”Apakah sesuatu yang paling engkau sukai?” Katanya, ”Rambut yang bagus dan gundul ini hilang dari aku karena orang banyak telah jijik melihatku.” Malaikat itu lalu mengusapnya, mala hilanglah gundulnya dan ia diberi rambut yang bagus.

Kata malaikat, ”Apakah harta yang paling engkau sukai?” Katanya, ”Lembu.” Malaikat itu lalu memberinya seekor lembu yang bunting seraya berkata, ”Engkau akan diberi keberkatan.”

Kemudian malaikat itu datang pula kepada orang yang buta seraya berkata, ”Apakah sesuatu yang paling engkau sukai?” Jawabnya, ”Mudah-mudahan Tuhan mengembalikan pengelihatanku supaya dapat melihat manusia.” Malaikat itu pun mengusapnya. Tuhan mengembalikan pengelihatannya.

Kata malaikat, ”Apakah harta yang paling engkau sukai?” Jawabnya, ”Kambing.” Malaikat lalu memberinya kambing yang bunting.

Sesudah itu beranaklah unta, lembu dan kambing. Maka orang-orang itu mempunyai lembah yang dipenuhi unta, lembah yang dipenuhi lembu dan lembah yang dipenuhi kambing.

Kemudian datanglah malaikat yang dahulu kepada orang yang tadinya berpenyakit lepra dalam rupa dan keadaan yang menyedihkan seraya berkata, ”Saya ini seorang laki-laki miskin yang telah melintasi bukit dalam perjalanan. Maka pada hari ini tiadalah yang menyampaikan melalui Tuhan. Kemudian saya datang kepada engkau untuk meminta dengan nama Tuhan yang telah memberi engkau dengan warna yang bagus dan harta berupa unta agar engkau sudi menghidupkan belanja dalam perjalananku.” Kata orang itu, ”Kewajiban-kewajiban yang lain masih banyak.”

Kata malaikat itu padanya, ”Seakan-akan saya tidak mengenal engkau. Bukankah engkau dahulunya berpenyakit lepra dan orang yang banyak jijik melihat engkau lagi miskin tetapi kemudian Tuhan memberi kebaikan dan kekayaan kepada engkau?” Kata orang itu, ”Harta ini saya warisi dan bapak dan nenek saya.”  Kata malaikat, ”Kalau engkau dusta Tuhan akan menjadikan engkau sebagaimana keadaan engkau dahulu.

Kemudian malaikat itu datang kepada orang yang dahulunya gundul dengan rupa dan keadaan yang menyedihkan lalu dikatakannya pula sebagai perkataan kepada orang tadi. Orang itu pun menjawab sebagai jawaban orang itu pula sebagaimana jawaban orang itu pula. Malaikat lalu berkata, ”Kalau engkau dusta, Tuhan akan menjadikan engkau sebagaimana keadaan engkau dahulunya.”

Kemudian dia datang kepada orang yang dahulunya buta dengan rupa yang menyedihkan, seraya berkata, ”Saya ini seorang laki-laki miskin dan telah melintasi bukit dalam perjalananku. Maka hari ini tiada yang akan menyampaikan melainkan Tuhan. Saya datang  kepada engkau untuk meminta dengan nama Tuhan yang telah memberi pengelihatan dan kambing kepada engkau untuk mencukupkan perbekalanku dalam perjalananku.

Kata orang itu, ”Saya dahulunya buta. Tuhan lalu mengembalikan pengelihatan saya. Dahulunya saya miskin dan Tuhan telah mengayakan saya. Sebab itu ambillah sesukamu. Demi Allah Hari ini saya tiada akan mencegah engkau mengambilnya karena Allah, berapa saja.” Kata malaikat itu, ”Peganglah harta engkau. Sesungguhnya kamu diuji. Tuhan telah rela kepada engkau dan marah kepada dua orang kawan engkau.”
HR Bukhari

Alhamdulillah

Jangan Mengambil Orang Kafir Menjadi Wali

QS Ali Imron 28
Bismillahi Rahmaani Rahiim

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).
Shodaqollahul’azim

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa al Hajjaj bin Amir yang mewakili ka’b bin Al Asyraf dan Ibnu Abil Haqiq serta Qais bin Zaid (tokoh Yahudi) telah memikat segolongan kaum Anshar untuk memalingkan mereka dari agamanya.
Raba’ah bin al Mundzir, Abdullah bin Jubair dan Sa’ad bin Hatsamah memperingatkan orang-orang Anshar tersebut dengan berkata, ”Hati-hatilah kalian dari pikatan mereka, dan janganlah terpalingkan dari agama kalian. Mereka menolak peringatan itu.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas sebagai peringatan untuk tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung mukminin.

Alhamdulillah

Kisah Sahabat Rasulullah SAW 8: Abu Dzar Al Ghifari



Abu Dzar Al Ghifari adalah sahabat Rasulullah SAW yang paling zuhud. Tak ada yang bisa menyamainya dalam hal kesederhaannya menempuh kehidupan. Ia adalah orang yang dicintai Rasulullah SAW, seorang penggerak kehidupan sederhana dan bersahaja, selalu menganjurkan untuk tidak mencintai dunia dan harta benda.


Masuk Islam Sendirian Sampai Mengajak Kaumnya


Setelah menempuh perjalanan jauh melewati padang pasir, akhirnya tibalah juga Abu Dzar Al Ghifari di Mekah. Ia berpura-pura menjadi musafir yang ingin thawaf di sekeliling Kabah mengelilingi berkala-berkala besar agar maksud kedatangannya tidak diketahui. Abu Dzar memasang telinga lebar-lebar seandainya ada kabar berita dimana ia bisa menjumpai orang yang paling ingin ditemuinya, Muhammad SAW.

Sampai suatu hari, Abu Dzar bisa mendapati Rasulullah SAW yang kala itu sedang duduk sendiri. Ia menyapanya, “Selamat pagi wahai kawan sebangsa!”

“Alaikas salam, wahai sahabat,” jawab beliau SAW.


Kata Abu Dzar, “Bacakanlah kepadaku gubahan anda.”


Rasulullah SAW menjawab, “Ia bukan syair hingga d
apat digubah, tetapi adalah Quran yang mulia.”

“Bacakanlah untukku kalau demikian,” kata Abu Dzar.

Maka dibacakannya oleh Rasulullah SAW sedang Abu Dzar mendengarkan dengan penuh perhatian hingga tidak berselang lama ia pun berseru, “Asyahadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh.” Demikianlah Abu Dzar mengucapkan syahadat.

“Anda dari mana, saudara sebangsa?” Tanya Rasulullah SAW. “Dari Ghifar,” jawab Abu Dzar. 


Maka terbukalah senyum lebar di kedua bibir Rasulullah SAW sementara wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar tersenyum pula, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik rasa kagum Rasulullah SAW demi mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu seorang laki-laki dari Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka adalah kabilah yang suka melakukan perjalanan. Maka tatkala ada seorang dari suku Ghifar datang menemui Nabi SAW, beliau berkata,”Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang disukaiNya.”

Abu Dzar adalah satu dari mereka yang memeluk Islam, urutan kelima atau keenam. Kala itu dakwah Islam masih disampaikan secara sembunyi. Meskipun telah menyatakan keislamannya kepada Rasulullah SAW, Abu Dzar masih menyembunyikannya lalu setelah itu meninggalkan kota Mekah untuk kembali kepada kaumnya.

Namun, Abu Dzar bukanlah orang yang bisa tenang-tenang saja melihat kesyirikan. Batu-batu dibelah dan dibuat patung. Ia merasa jengah sampai akhirnya ia bertanya kepada Rasulullah SAW,” Wahai Rasulullah, apa yang harus saya kerjakan menurut anda?”
“Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!” demikian dikatakan Rasulullah SAW.

Abu Dzar berkata, “Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, saya takkan pulang kembali sebelum meneriakkan Islam dalam masjid.”

Benarlah, pergilah Abu Dzar ke Masjidil Haram. Disana, ia meneriakkan syahadat di hadapan orang Quraisy Mekah atau para perantau asing yang sedang thawaf dengan suara lantang. “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.” Mereka yang mendengar Abu Dzar berteriak langsung memukulinya.


Kejadian pemukulan ini terdengar di telinga paman Nabi SAW, Abbas. Ia berupaya mencegah orang memukulinya. Menggunakan cara halus Abbas berkata, “Wahai kaum Quraisy, Anda semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan lewat di kampung Bani Ghifar. Dan orang ini salah seorang warganya, bila ia bertindak akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok kafilah-kafilahmu nanti!” Mereka akhirnya meninggalkan Abu Dzar.

Pada hari berikutnya, Abu Dzar melihat dua orang wanita sedang thawaf berkeliling berkala-berkala Usaf dan Nailah sambil memohon padanya. Ia menghadang wanita itu dan menghina para berkala. Kedua wanita itu memekik dan orang-orang berdatangan. Lagi-lagi Abu Dzar dipukuli. Saat Abu Dzar siuman, ia belum kapok dan berseru, ”Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!”

Demikianlah watak dan tabiat Abu Dzar. Baginya kebenaran itu dinyatakan secara terbuka dan terus terang. Namun, lantaran waktunya belum pas, Rasulullah SAW akhirnya menyuruh Abu Dzar untuk pulang dahulu kepada keluarganya. Abu Dzar mendapatkan kembali keluarganya dan menceritakan pertemuannya dengan Nabi SAW. Seorang demi seorang kaumnya masuk Islam. Abu Dzar juga mendakwahi suku Aslam.

Hari-hari berlalu sampai saatnya Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Rasulullah SAW telah menetap di Madinah bersama kaum Muhajirin dan Anshar. Sampai suatu hari datanglah sebuah rombongan kafilah memasuki Madinah. Ternyata itu adalah rombongan Abu Dzar bersama kaumnya yang telah memeluk Islam. Melihat rombongan yang berbondong-bondong itu, naka sekali lagi Rasulullah SAW bersabda, ”Sungguh Allah memberi hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya.” Tidak hanya suku Ghifar yang masuk Islam, suku Aslan pun mengikuti. Padahal suku ini dulunya adalah para perampok.

Sambil memandang rombongan suku Ghifar Rasulullah SAW berkata, ”Suku Ghifar telah di ghafar (diampuni) oleh Allah. Lalu beliau melihat suku Aslam dan berujar, ”Suku Aslam telah disalam (diterima dengan damai) oleh Allah.”

Mengenai Abu Dzar, Rasulullah SAW bersabda, ”Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar.”



Upeti

Pada suatu hari Rasulullah SAW mengemukakan kepadanya pertanyaan berikut, ”Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?”

Jawab Abu Dzar, ”Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!”
Sabda Rasulullah SAW, ”Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu? Ialah bersabar sampai kamu menemuiku.”

Waktu berlalu, Rasulullah SAW pergi mendahului, diikuti sahabatnya, Abu Bakar Asshidiq. Abu Dzar masih diliputi ketenangan ketika kekhalifan dipimpin oleh Umar bin Khattab, al Faruqul adhim, demikianlah gelar yang diberikan Rasulullah SAW kepada Umar sebagai pemisah antara yang haq dan yang bathil.

Akan tetapi, setelah kekhalifan Umar berlalu, jiwanya mulai terusik. Mulailah ia melihat apa yang diwasiatkan Rasulullah SAW, mengenai orang-orang yang senang mengumpulkan harta. Kekayaan mulai melimpah, harta rampasan, jabatan dan daerah kekuasaan. Rasanya ia akan segera keluar dan menghunus pedangnya kepada orang-orang yang mulai tidak menjalani syariat Islam. Namun, teringatlah ia akan pesan Rasulullah SAW, bersabar sampai ia menemui beliau.

Maka, disarungkannya kembali pedang itu. Ia teringat Firman Allah SWT:

Dan tidaklah ada haq bagi seorang mu’min untuk membunuh mu’min lainnya kecuali karena keliru (tidak sengaja)” QS Annisa 92

Baginya, membangun masyarakat beragama bukanlah membangun kerajaan. Menjadi rahmat karunia bukan azab kesengsaraan, mengajarkan kerendahan hati bukan kesombongan, persamaan bukan pengkastaan, kesahajaan bukan keserakahan, kesederhanaan bukan  keborosan, kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan. Maka dihadapinyalah keadaan itu bukan dengan pedangnya, namun melalui lisannya.

Semboyan hidup Abu Dzar yang ia ungkapkan:

Beritakanlah kepada para penumpuk harta yang menumpuk emas dan perak.
Mereka akan disetrika dengan setrika api, neraka akan menyetrika kening dan pinggang mereka di hari kiamat.


Setiap kali ia pergi kemanapun dan bertemu dengan pembesar yang serakah, kepada mereka, diulangilah semboyan hidupnya itu. Abu Dzar terutama melancarkan usaha lisannya di gudang kekayaan yaitu Syria. Disana ada Muawiyah bin Abi Sufyan yang memerintah di wilayah paling subur. Muawiyah adalah seorang pemimpin dermawan yang membagi-bagikan harta tanpa perhitungan untuk mengambil hati orang-orang terpandang di sana. Maka pergilah Abu Dzar ke Syria.


Berita mengenai kehadiran Abu Dzar yang memimpin gerakan hidup sederhana ini tentulah disambut gembira rakyat jelata di sana. ”Bicaralah wahai Abu Dzar, bicaralah wahai sahabat Rasulullah!” demikian pinta mereka.

Ia memandang kepada masyarakat jelata yang banyak berada di antara bangunan mewah.”Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, kenapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya?” Tapi, cepat-cepat diingatnya pesan Rasulullah SAW.

Maka, dinasehatilah rakyat jelata itu. Ia menjelaskan bahwa mereka sama tak ubah seperti sisir yang setiap bagiannya berserikat dalam rezeki. Tak ada kelebihan seseorang dari lainnya kecuali dengan taqwa. Seorang pemimpin serta pembesar dari suatu golongan haruslah yang pertama kali menderita kelaparan sebelum anak buahnya, sebaliknya yang paling belakang menikmati kekenyangan setelah mereka.

Bukan melalui peperangan. Abu Dzar membentuk dalam sebuah komunitas masyarakat sebuah usaha untuk membuat pendapat umum dan menyampaikannya kepada para pemimpin atau pembesar.

Bertemu Muawiyah

Pada suatu kali, ia bertemu dengan Muawiyah dan para pembesar serta mengatakan, ”Apakah tuan-tuan yang sewaktu Al Quran diturunkan kepada Rasulullah SAW, apakah beliau ada di lingkungan tuan-tuan? Benar, Al Quran itu diturunkan kepada tuan-tuan, dan tuan-tuanlah yang mengalami sendiri berbagai peperangan.”

Abu Dzar melanjutkan, ”Tidakkah tuan-tuan jumpai dalam Al Quran sebuah ayat?” Lalu ia membacakan surat At Taubah 34-36.

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan di jalan Allah, bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Yaitu, ketika emas dan perak dipanaskan dalam api neraka, lalu disetrikakan ke kening, ke pinggang dan ke punggung mereka, sambil dikatakan, nah inilah yang kalian simpan untuk diri kalian itu, maka rasailah akibatnya.”

Saat itu Muiwiyah berkata, ”Ayat ini diturunkan kepada ahlul kitab.”
Abu Dzar berteriak, ”Tidak!” Serunya, ”Bahkan ia diturunkan kepada kita dan kepada mereka.”

Abu Dzar memintanya untuk melepaskan gedung, tanah serta harta kekayaan itu dan tidak menyimpannya untuk diri masing-masing kecuali sekedar keperluan sehari-hari.

Berita mengenai pembicaraan Abu Dzar bersama Muawiyah ini menyebar dari mulut ke mulut. Semboyan Abu Dzar untuk menasehati orang-orang mulai tersebar, yaitu, ”Sampaikan kepada para penumpuk harta akan setrika api di neraka!”

Kala itu Muawiyah dilanda kekhawatiran. Ucapan Abu Dzar dikhwatirkan akan mempengaruhi orang-orang untuk memberontak. Maka ditulisnyalah surat kepada khalifah Ustman ra, ”Abu Dzar telah merusak orang-orang Syria.”

Ustman ra akhirnya meminta kembali Abu Dzar balik ke Madinah. Khalayak ramai melepas kepergiaannya kembali ke Madinah. Suatu pemandangan yang belum pernah disaksikannnya.

Tidak Berniat Memerangi Khalifah

Kembali ke Madinah, Ustman meminta Abu Dzar untuk tetap tinggal di sana. Ustman ra juga merupakan khalifah yang bijaksana yang dengan pemikirannya ia berusaha memimpin umat Islam kala itu dengan seadil-adilnya.

”Tinggallah di sini disampingku. Disediakan bagimu unta yang gemuk yang akan mengantarkan susu pagi dan sore,” kata Ustman ra. Jawaban Abu Dzar adalah, ”Aku tak perlu akan dunia tuan-tuan.”

Orang banyak menganggap pandangan Abu Dzar akan kesederhanaan bertentangan dengan kepemimpinan para khalifah. Maka terkejutnya ia kala sebagian orang menyebar fitnah. Saat itu datanglah seorang perutusan dari Kufah memintanya untuk mengibarkan bendera pemberontakan terhadap khalifah.

”Demi Allah, seandainya Ustman hendak menyalibku di tiang kayu yang tertinggi atau di atas bukit sekalipun, tentulah saya dengar titahnya dan saya taati, saya bersabar dan sadarkan diri, dan saya meraka bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku.

Dan seandainya ia menyuruhku berkelana dari ujung dunia, tentulah akan sayadengar dan taati, saya bersabar dan sadarkan diri dan saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baik bagiku.

Begitupun jika ia menyuruhku pulang ke rumahku, tentulah saya akan dengar dan taati, saya bersabar dan sadarkan diri dan saya merasa bahwa demikian adalah sebaik-baiknya bagiku.”

Satu nasehat Rasulullah SAW yang pernah didengar Abu Dzar:

”...ia merupakan amanat dan dihari kiamat menyebabkan kehinaan dan penyesalan... kecuali orang yang mengambilnya secara benar, dan menunaikan kewajiban yang dipikulkan kepadanya.”

Mengajarkan Kesederhanaan

Pada suatu hari, Abu Dzar ditemui oleh Abu Musa al Asy’ari. ”Selamat wahai Abu Dzar, selamat wahai saudaraku.” Tetapi Abu Dzar menolak, katanya, ”Aku bukan saudaramu lagi. Kita bersaudara dulu sebelum kamu menjadi pejabat dan gubernur.” Bahkan kepada Abu Hurairah ra yang pekerjaan sehari-hari menjaga masjid ia enggan menemuinya karena dianggapnya sebagai pejabat yang mencari kemewahan. Tentu saja hal tersebut disanggah oleh Abu Hurairah ra.

Bukanlah Abu Dzar jika ia tidak menolak segala tawaran jabatan dan kemewahan. Ia pernah ditawari jabatan amir di Irak. ”Demi Allah, tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan dunia tuan-tuan itu untuk selama-lamanya.”

Suatu kali orang berkata kepadanya perihal bajunya yang usang, ”Bukankah anda punya baju yang lain? Beberapa hari yang lewat saya lihat anda punya dua helai baju baru.”

Jawab Abu Dzar, ”Wahai putra saudaraku, kedua baju itu telah kuberikan kepada orang yang lebih membutuhkannya daripadaku.”
Kata kawan itu, ”Demi Allah, anda jua membutuhkannya.” Kata Abu Dzar, ”Ampunilah ya Allah. Kamu terlalu membesarkan dunia. Tidakkah kamu lihat burdah yang saya pakai ini? Dan saya punya satu lagi untuk sholat jumat. Saya punya seekor kambing diperah susunya, dan seekor keledai untuk ditunggangi. Nikmat apa lagi yang lebih besar dari yang kita miliki ini?”

Pada suatu hari Abu Dzar menyampaikan sebuah hadist wasiat Rasulullah SAW:

Aku diberi wasiat oleh junjunganku dengan tujuh perkara. Disuruhnya aku agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri kepada mereka. Disuruhnya aku melihat kepada orang yang dibawahku dan bukan kepada orang yang diatasku. Disuruhnya aku agar tidak meminta sesuatu kepada orang lain, disuruhnya aku agar menghubungkan tali silaturahim, disuruhnya aku mengatakan yang haq  walaupun pahit. Disuruhnya aku agar dalam menjalankan agama Allah tidak takut dengan celaan orang. Dan disuruhnya agar memperbanyak menyebut, la haula walaa quata illaa billah.”

Imam Ali bin Abi Thalib berkata mengenai Abu Dzar, ”Tak seorang pun tinggal sekarang ini yang tidak mempedulikan celaan orang dalam menegakkan agama Allah, kecuali Abu Dzar.”

Abu Dzar pernah dilarang memberikan fatwa. Kata Abu Dzar:
”Demi Tuhan yang nyawaku berada di tanganNya! Seandainya tuan-tuan menaruh pedang di atas pundakku, sedang menurut rasa hatiku masih ada kesempatan untuk menyampaikan ucapan Rasulullah SAW yang kudengar dari padanya, pastilah akan kusampaikan juga sebelum tuan-tuan menebas batang leherku.”

Meninggal di Rabadzah

Seorang perempuan kurus yang berkulit kemerah-merahan dan duduk dekat Abu Dzar menangis. Ia adalah istrinya yang menatapi sang suami menghadapi sakaratul maut. Abu Dzar bertanya padanya, ”Apa yang kamu tangiskan padahal maut itu pasti datang?” Jawab istrinya, ”Karena anda akan meninggal, padahal pada kita tak ada kain kafan untukmu.”

Abu Dzar tersenyum, ia berkata, ”Janganlah menangis. Pada suatu hari, ketika saya berada di sisi Rasulullah SAW bersama beberapa orang sahabatnya, saya dengar beliau bersabda, ”Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh serombongan orang-orang beriman.” Semua yang ada di majelis itu telah meninggal di kampung dan di hadapan jamaah kaum muslimin, tak ada lagi yang masih hidup di antara mereka kecuali daku. Nah, inilah daku sekarang, menghadapi maut di padang pasir, maka perhatikanlah olehmu jalan...siapa tahu kalau-kalau ada rombongan orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, saya tidak bohong, dan tidak pula dibohongi.”

Benarlah, rombongan yang dipimpin oleh Abdullah bin Masud datang. Namun, didapatinya Abu Dzar telah berpulang ke Rahmatullah. Ia mendapati jenazahnya ada bersama istri dan seorang anak. Melihat bahwa Abu Dzar telah tiada, Ibnu Masud langsung menangis.

”Benarlah ucapan Rasulullah...
Anda berjalan sebatang kara...
Mati sebatang kara...
Dan dibangkitkan nanti sebatang kara...


Ibnu Masud terduduk. Teringat olehnya pada masa perang Tabuk pada sembilan hijriah. Rasulullah SAW menitahkan untuk maju menapak dan menghadang pasukan Romawi. Kala itu musim paceklik udara begitu panas. Banyak yang merasa enggan menghadapi musuh yang begitu kuat.

Berjalanlah Rasulullah SAW bersama beberapa orang muslimin. Saat perjalanan beberapa tertinggal. Dilaporkan kepada beliau mengenai orang yang tertinggal itu. ”Biarkanlah andainya ia berguna tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Dan andainya tidak, maka Allah telah membebaskan kalian daripadanya.”

Demikianlah Abu Dzar. Keledainya mulai kelelahan dan  berjalan gontai. Maka Abu Dzar turun dari keledainya dengan mengangkut perbekalannya untuk menyusul Rasulullah SAW berjalan kaki. Pasir kala itu terasa begitu panas.

Esok paginya, kala pasukan muslimin beristirahat dan menurunkan barang bawaannya, terlihatlah dari jauh seorang yang berjalan kaki. ”Wahai Rasulullah, itu ada seorang laki-laki berjalan seorang diri.” Ujar Rasulullah SAW, ”Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar.” Ya, Abu dzar berhasil menyusul mereka berjalan kaki.

”Wahai Rasulullah, demi Allah itu Abu Dzar,” kata seorang rombongan. Rasulullah SAW tersenyum, ”Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada Abu Dzar. Ia berjalan sebatang kara, meninggal sebatang kara, dan dibangkitkan nanti sebatang kara.”

Demikianlah Ibnu Masud mengingat perkataan Rasulullah SAW mengenai Abu Dzar. Ia datang kepada Rasulullah SAW untuk masuk Islam sebatang kara. Meninggal sebatang kara, dan kelak akan dibangkitkan di akhirat sebatang kara karena hanya dia satu-satunya sahabat Rasulullah SAW yang paling zuhud kehidupannya. Tak ada orang lain yang bisa menyamainya.

Rahmat, kekayaan dan kasih sayang Allah SWT semoga dicurahkan kepadamu Abu Dzar Al Ghifari.

Alhamdulillah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 6: Salman Al Farisi
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 7: Zubair bin Awwam
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 9: Hudzaifah ibnul Yaman
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 10: Miqdad Bin Amr
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 11: Bilal bin Rabah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 12: Zaid bin Haritsah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 13: Khubaib bin Adi
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 14: Abbas bin Abdul Muttalib
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 15: Abdullah bin Umar
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 16: Jafar bin Abi Thalib

Penciptaan Isa Sama Dengan Penciptaan Adam

QS Ali Imron 59-62
Bismillahi Rahmaani Rahiim

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, ”Jadilah!”, maka jadilah dia. (59)
Apa yang Kami ceritakan ini, itulah yang benar, yang datang dari Rabbmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. (60)
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kau), maka katakanlah (kepadanya), ”Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (61)
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar dan tak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Allah, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (62)
Shodaqollahul’azim

Asbabun Nuzul.
Ada dua orang rahib (pastor) dari Najran menghadap kepada Rasulullah SAW dan berkata, ”Siapa bapak Isa?” Rasulullah SAW tidak cepat-cepat menjawab sebelum mendapat petunjuk Allah. Maka turunlah ayat kepadanya (Surat Ali Imron 59-60) yang menjelaskan tentang siapa Isa.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa segolongan kaum nashara Najran yang dipimpin langsung oleh kepala dan wakilnya menghadap Rasulullah SAW dan berkata, ”Mengapa tuan menyebut sahabat kami?” Nabi SAW menjawab, ”Siapakah dia?” Mereka berkata,”Isa yang tuan anggap sebagai hamba Allah.”
Maka, jawab Nabi SAW, ”Benar.” Mereka berkata, ”Apakah tuan tahu yang seperti Isa, atau diberi tahu tentang dia?” Kemudian mereka keluar dari Rasulullah SAW dan tiada lama kemudian datanglah Jibril menyampaikan ayat tersebut di atas (surat Ali Imron 59-60).

Pada riwayat lain dikemukakan bahwa sebelum turun ayat 31 surat Al Qashash, Rasulullah SAW menulis surat kepada orang Najran seperti berikut, ”Dengan nama Tuhan Ibrahim dan Ishaq dan Yaqub, dari Muhammad Nabi Allah” sampai akhir hadist.
Kaum Najran mengutus Syarabbil bin Wada’ah al Hamdani dan Abdullah bin Syarahbil al Ashbahi dan Jabbar al Haritsi untuk menghadap kepada Rasulullah SAW, dan terjadilah dialog, akan tetapi masih tertunda satu masalah, yaitu pertanyaan mereka, ”Barangsiapa pendapat tuan tentang Isa”.
Nabi SAW menjawab, ”Belum ada isyarat agar aku dapat terangkan itu. Keesokan harinya turunlah ayat tersebut (surat Ali Imron 59-62) yang menegaskan siapa Isa.

Riwayat lain menyebutkan, ketika uskup Najran dan wakilnya menghadap kepada Nabi SAW, beliau menjelaskan kepada keduanya tentang Islam. Mereka berkata, ”Kami telah lebih dahulu masuk Islam sebelum tuan.”
Sabda Nabi SAW, ”Kalian telah berdusta karena ada tiga hal yang menghalangi kalian masuk Islam yaitu, (1) Kalian mengatakan bahwa Tuhan mempunyai anak. (2) Kalian makan daging babi, dan (3) kalian bersujud kepada patung.”
Kedua orang itu bertanya, ”Kalau begitu siapakah bapak Isa?” Pada waktu itu Rasulullah SAW belum bisa menjawabnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai tuntutan kepada Rasulullah SAW untuk menjawabnya. Kemudian Rasulullah SAW mengajak mengadakan mula’anah, akan tetapi mereka menoleh dan memilih membayar jizyah (upeti). Maka pulanglah mereka.

Alhamdulillah


Kisah Sahabat Rasulullah SAW 7: Zubair bin Awwam


Zubair bin Awwam adalah ksatria muslim yang gagah berani. Ia penunggang kuda handal yang ditakuti. Kegarangannya menerjang masuk ke pasukan musuh membuat mereka gentar. Pedangnya berkibas dan luka yang mengiris tubuhnya tak dirasakannya.

Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah adalah dua ksatria yang merupakan tetangga Rasulullah SAW di surga, demikianlah yang dinyatakan Rasulullah SAW. Setiap menyebut nama Zubair pasti disebut Thalhah begitu pula sebaliknya.

Keduanya memiliki beberapa kesamaan yaitu sama-sama tumbuh remaja, termasuk mereka yang dulunya dari keluarga berada, memiliki keteguhan beragama, gagah berani, angkatan pertama masuk Islam, sepuluh orang yang diberi kabar gembira masuk surga, dan sahabat Rasulullah SAW yang enam, ahli musyawarah yang diserahi oleh Umar bin Khatthab memilih kalifah sepeninggalnya.

Zubair merupakan tujuh orang yang pertama-tama masuk Islam, semenjak Islam masih disebarkan secara sembunyi di rumah Arkam dan kala itu usianya baru lima belas. Seorang penunggang kuda yang berani.

Suatu kali saat sedang berada di rumah Arkam, terdengar kabar angin bahwa Rasulullah SAW terbunuh. Zubair segera mengambil pedangnya, menunggang kuda dan menyisir kota Mekah mencari kebenaran berita itu. Sampai akhirnya bertemu dengan Rasulullah SAW di suatu tempat yang tinggi di Mekah. Rasulullah SAW menanyakan apa yang diperbuatnya. Rasulullah SAW pun memohonkan bahagia dan mendoakan kebaikan Zubair.

Zubair berasal dari keluarga terpandang suku Quraisy. Saat memeluk Islam, tak kurang dari derita yang dialaminya, terutama dari pamannya sendiri. Pernah ia disekap, dikurung, diberi asap sampai sesak nafas. Padahal kala itu ia masih anak muda yang baru tumbuh.


Menghalau Musuh


Zubair melakukan hijrah ke Habsyi (Ethiopia) dua kali. Ia kembali lagi ke Arab untuk mengejar ketinggalan dalam berperang bersama Rasulullah SAW. Ia menderita banyak tusukan dan meninggalkan bekas yang memperlihatkan keperkasaannya.

Saat perang Uhud usai dan pasukan Quraisy kembali ke Mekah, Zubair diutus Rasulullah SAW bersama  Abu Bakar untuk mengikuti gerakan tentara Quraisy dan menghalau mereka sehingga kaum kafir akan berpikir bahwa muslimin pastinya masih punya kekuatan.

Abu Bakar dan Zubair memimpin 70 orang muslimin. Kaum Quraisy berpikir bahwa pasukan itu adalah pendahulu balatentara yang akan lebih banyak lagi dibelakangnya. Melihat itu, kaum Quraisy segera bergegas kembali ke Mekah.

Selain perang Yarmuk, Zubair merupakan prajurit yang memimpin langsung pasukan.  Saat pasukannya gentar melihat tentara Romawi, Zubair berteriak, ”Allahu Akbar!” Ia maju dan membelah pasukan musuh sambil mengayunkan pedang.

Zubair merindukan syahid. Ia bahkan menamakan anak-anaknya dengan nama para syuhada. Ia tak pernah memerintah satu daerah, mengumpul pajak, atau jabatan lain. Ia semata-mata menjalankan tugasnya untuk berperang di jalan Islam.

Sewaktu pengepungan atas Bani Quraidha sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah SAW mengirimnya bersama Ali binAbi Thalib. Ia berdiri di muka benteng musuh yang kuat sambil mengulang ucapannya, ”Demi Allah biar kami rasakan sendiri apa yang dirasakan Hamzah atau kalau tidak, akan kami tundukkan benteng mereka!”

Ia kemudian terjun ke dalam benteng hanya berdua saja dengan Ali,dan dengan kekuatan syarafnya mereka berhasil menyebarkan rasa takut pada musuh-musuh yang bertahan dalam benteng, lalu membukakan pintu-pintu benteng tersebut bagi kawan mereka di luar.

Saat perang Hunain, Zubair melihat pemimpin suku Hawazin yang juga menjadi panglima pasukan musyrik dalam perang tersebut namanya Malik bin Auf. Terlihat olehnya sesudah pasukan Hawazin bersama panglimanya lari tunggang langgang dari medan perang Hunain. Ia sedang berada di tengah-tengah gerombolan besar sahabatnya bersama sisa pasukan yang kalah, maka secara tiba-tiba diserbunya rombongan itu seorang diri sehingga mereka kucar-kacir. Ia menghalaunya dari tempat persembunyian mereka.


Pembela Rasulullah SAW


Kecintaan dan penghargaan Rasulullah SAW terhadap Zubair luar biasa dan beliau sangat membanggakannya. ”Setiap Nabi mempunya pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam,” demikianlah pernyataan Rasulullah SAW tentang Zubair. Zubair yang suami dari Asma binti Abu Bakar, merupakan seorang yang pemurah dan suka mengorbakan hartanya demi Allah SWT.

Hasan bin Tsabit telah melukiskan sifat-sifat Zubair ini dengan indah:

”Ia berdiri teguh menepati janjinya kepada Nabi dan mengikuti petunjuknya. Menjadi pembelanya, sementara perbuatan sesuai dengan perkataannya. Ditempuhnya jalan yang telah digunakannya, tak hendak menyimpang daripadanya. Bertindak sebagai pembela kebenaran, karena kebenaran itu jalan sebaik-baiknya.
Ia adalah seorang berkuda yang termasyur dan pahlawan yang gagah perkasa. Merajalela di medan perang dan ditakuti di setiap arena. Dengan Rasulullah SAW mempunyai pertalian darah dan masih berhubungan keluarga. Dan dalam membela Islam mempunyai jasa-jasa yang tidak terkira.
Betapa banyaknya marabahaya yang mengancam Rasulullah SAW Nabi al Musthafa. Disingkirkan Zubair dengan ujung pedangnya, maka semoga Allah membalas jasa-jasanya.”

Zubair orang yang berbudi tinggi dan bersifat mulia. Keberanian dan kepemurahannya seimbang laksana dua kuda satu tarikan, ia telah berhasil mengurus perniagaannya dengan gemilang, kekayaannya melimpah, tetapi semua itu dibelanjakannya untuk membela Islam, sehingga ia sendiri mati dalam berhutang.

Tawakalnya kepada Allah merupakan dasar kepemurahannya, sumber keberanian dan pengorbanannya hingga ia rela menyerahkan nyawanya dan diwasiatkannya kepada anaknya Abdullah untuk melunasi hutang-hutangnya. ”Bila aku tak mampu membayar utang, minta tolonglah kepada Maulana induk semang kita.”
Anaknya Abdullah bertanya padanya, ”Maulana yang mana Bapak maksudkan?”
Jawab Zubair, ”Yaitu Allah, induk semang dan penolong kita yang paling utama.”
Kata Abdullah kemudian, ”Maka demi Allah, setiap aku terjatuh ke dalam kesukaran karena utangnya, tetap aku memohon, Wahai Induk Semang Zubair, lunasilah hutangnya, maka Allah mengabulkan permohonanku itu dan Alhamdulillah hutang pun dapat dilunasi.”


Gugur Tanpa Menyelisihi Ali bin Abi Thalib


Dalam perang Jamal, Zubair menemui akhir hayatnya sesudah ia menyadari kebenaran dan berlepas tangan dari peperangan. Ia berlepas diri untuk memerangi Ali bin Abi Thalib di suasana muslim yang kala itu mulai terpecah belah sesudah meninggalnya kalifah Usman bin Affan.

Sesudah menyadari kebenaran dan berlepas tangan dari peperangan, ia terus diintai oleh golongan yang menghendaki berkobarnya api fitnah, lalu ia pun ditusuk oleh seorang pembunuh yang curang waktu sedang lengah yakni saat sedang duduk sholat menghadap Allah SWT.

Si pembunuh pergi kepada imam Ali, dengan maksud melaporkan tindakannya terhadap Zubair. Ia mengira Ali akan senang mendengar beritanya itu. Tetapi Ali berteriak mengetahui hal tersebut. ”Sampaikan berita kepada pembunuh putra ibu Shafiah itu bahwa untuknya telah disediakan api neraka!”

Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali oleh beberapa orang sahabat, ia mencium dan lama sekali ia menangis kemudian katanya, ”Demi Allah, pedang ini banyak berjasa, digunakan oleh pemiliknya untuk melindungi Rasulullah SAW dari marabahaya.
Selamat dan bahagia bagi Zubair dalam kematian sesudah mencapai kejayaan hidupnya! Selamat kemudian selamat kita ucapkan kepada pembela Rasulullah!”

Salam untukmu Zubair bin Awwam. Salam untukmu para Syuhada.

Alhamdulillah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 6: Salman Al Farisi

Kisah Taubatnya Sang Pencuri Kain Kafan