Kisah Sahabat Rasulullah SAW 16: Jafar bin Abi Thalib


Sewaktu Rasulullah Shalllallahu Alaihi Wassalam meminta beberapa sahabatnya hijrah ke Habsyi (Ethiopia), Jafar bin Abi Thalib mengajukan diri bersama istrinya,  Amma binti Umais. Maka berangkatlah sebagian kaum muslimin ke sana. Namun, hal ini tidak menyenangkan hati kaum Quraisy.

Pemimpin Quraisy mengirim dua orang utusan yang akan dikirim kepada kaisar Negus di Habsyi dengan membawa hadiah-hadiah berharga agar mau mengusir kaum muslimin. Dua orang utusan itu adalah Abdullah bin Abi Rabiah dan Amar bin Ash yang kala itu belum masuk Islam.

Sebelum bertemu kaisar, kedua utusan Quraisy terlebih dahulu bertemu Patrik dan Uskup gereja agar memberi dukungan kepada mereka. Kaisar Negus kala itu adalah penganut nasrani yang taat. Maka hadiah-hadiah yang banyak pun sampailah kepada pemuka-pemuka agama di sana, termasuk untuk kaisar Negus.

Kaisar kemudian mengundang dua utusan Qiuraisy  dan tak lupa pula mengundang kaum muhajirin. Mereka duduk satu ruangan bersama para pemuka agama dan petinggi istana. Maka dimulailah tuduhan dari kedua utusan Quraisy kepada kaum muslimin di hadapan kaisar.

“Baginda Raja yang mulia, telah menyasar ke negeri paduka orang-orang bodoh dan tolol. Mereka tinggalkan aagama nenek moyang mereka, tapi tidak pula hendak memasuki agama paduka. Bahkan mereka dating membawa agama baru yang mereka ada-adakan, yang tak pernah kami kenal, dan tidak pula oleh paduka.  Sungguh kami telah diutus oleh orang-orang mulia dan terpandang di antara bangsa dan bapak-bapak mereka, paman-paman mereka, keluarga-keluarga mereka, agar paduka sudi mengembalikan orang-orang ini kepada kaumnya kembali.”

Negus lalu bertanya kepada kaum muslimin, “Agama apakah itu yang menyebabkan kalian meninggalkan bangsa kalian, tapi tak memandang perlu pula kepada agama kami?”
Jafar pun bangkit. Ia yang dengan perawakan tampan dan banyak yang mengatakannya sangat mirip Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dalam hal ujud tubuh, sikap dan budi pekertinya, berkata kepada kaisar Negus.

“Wahai paduka yang mulia, dahulu kami memang orang-orang jahil dan bodoh. Pekerjaan-pekerjaan keji, memutuskan silaturahim, menyakiti tetangga dan orang yang berhampiran. Orang yang kuat memakan orang yang lemah, hingga datanglah masanya Allah mengirimkan RasulNya kepada kami dari kalangan kami. Kami kenal asal-usulnya, kejujuran, ketulusan dan kemuliaan jiwanya. Ia mengajak kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri padaNya dan agar membuang jauh-jauh apa yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu berupa batu-batu dan berhala. Beliau menyuruh kami bicara benar, menunaikan amanah, menghubungkan silaturahim, berbuat baik kepada tetangga dan menahan diri dari menumpahkan darah serta semua yang dilarang Allah.”

Jafar melanjutkan, “Dilarangnya kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh berbuat jahat terhadap wanita yang baik-baik. Lalu kami benarkan dia dan kami beriman kepadanya, dan kami ikuti dengan taat apa yang disampaikannya dari Tuhannya. Lalu kami beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak kami persekutukan sedikit pun juga, dan kami halalkan apa yang dihalalkanNya untuk kami. Karenanya, kaum kami sama memusuhi kami, dan menggoda kami dari agama kami agar kami kembali menyembah berhala lagi, dan kepada perbuatan-perbuatan jahat yang pernah kami lakukan dulu. Maka sewaktu mereka memaksa dan menganiaya kami dan menggencet hidup kami, dan menghalangi kami dari agama kami, kami keluar hijrah ke negeri paduka, dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka dan terhidar dari perbuatan-perbuatan aniaya mereka.”

Kaisar terkesima mendengar penjelasan Jafar lalu ia bertanya lagi, “Apakah anda membawa sesuatu (wahyu) yang diturunkan atas Rasulmu itu”

Jawab Jafar, “Ada.” Kaisar berkata, “Cobalah bacakan kepadaku.”

Jafar lalu membacakan bagian dari surat Maryam dengan khusyu dan merdu. Mendengar ayat-ayat tersebut kaisar Negus mencucurkan air mata. Begitu pula para pendeta dan pembesar-pembesar istana.  Jafar membenarkan wahyu yang telah dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam serta berkata kepada utusan Quraisy, “Sesungguhnya apa yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa as sama memancar dari satu pelita. Kemu keduanya dipersilahkan pergi. Demi Allah kami tak akan menyerahkan mereka kepada kamu.”

Maka bubarlah pertemuan itu dan kedua utusan Quraisy harus kembali. Namun, Amr bin Ash tak kekurangan akal licik. “Demi Allah besok aku akan kembali menemui Negus, akan kusampaikan kepada baginda keterangan-keterangan yang akan memukul kaum muslimin dan membasmi urat akar mereka.”

Sahabatnya mengatakan, “Jangan lakukan itu, bukankah kita masih ada hubungan keluarga dengan mereka, sekalipun mereka berselisih paham dengan kita.” Amr menjawab, “Demi Allah, akan kuberitakan kepada Negus, bahwa mereka mendakwakan Isa anak Maryam itu manusia biasa seperti manusia yang lain.”

Keesokan harinya, kembali kedua utusan Quraisy itu kembali menghadap kaisar Negus, “Wahai Sri Paduka, orang-orang Islam itu telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan kedudukan Isa.” Para pendeta dan kaum agama gempar serta menggoncangkan hati Negus. Mereka lalu memanggil orang Islam sekali lagi untuk mempertanyakan pandangan Islam mengenai Isa Al Masih.

“Bagaimana pandangan kalian terhadap Isa?” Jafar bangkit lagi dan mengatakan, “Kami akan mengatakan tentang Isa as sesuai dengan keterangan  yang dibawa Nabi kami Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.” Jafar lalu membacakan salah satu ayat Al Quran.

Ia adalah seorang hamba Allah dan RasulNya serta kalimahNya yang ditiupkanNya kepada Maryam dan ruh daripadaNya.” QS An Nissa 4:171

Negus mengatakan memang demikianlah yang dikatakan Al Masih mengenai dirinya. “Silakan anda sekalian tinggal bebas di negeriku. Dan siapa berani mencela dan menyakiti anda, maka orang itu akan mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya itu.”

Negus lalu berkata kepada pemuka agama dan pembesar–pembesar kerajaannya. “Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini. Aku tak membutuhkannya. Demi Allah, Alah tak pernah mengambil uang sogokan daripadaku, di kala ia mengaruniakan tahta ini kepadaku, karena itu aku pun tak akan menerimanya dalam hal ini.”

Demikianlah kisah para muslimin di Habsyi. Kedua utusan pun kembali ke Mekah dengan tangan hampa, sementara Jafar bersama kaum muslim yang baru memulai kehidupan baru di Ethiopia.

Kembali Dari Habsyi

Kala Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam sedang bersukaria  atas kemenangan jatuhnya Khaibar, tiba-tiba muncullah Jafar bin Abi Thalib kembali dari Ethiopia. Nabi SAW begitu bergembira atas kedatangannya. “Aku tak tahu, entah mana yang lebih menggembirakanku, apakah dibebaskannya Khaibar atau kembalinya Jafar.”

Jafar menjadi bersemangat karena ia melewatkan kisah perjalanan kaum muslim menghadapi kaum kafir yang telah ia lewatkan selama tinggal di Ethiopia. Ia melewatkan perang Badar, Uhud, Khandak dan lainnya. Hatinya pun menjadi rindu akan pergi berperang dan menjadi syuhada.

Maka saat perang Muktah, Jafar tampil mengajukan diri untuk turut berperang. Perang kali ini akan menjadi perang besar karena harus menghadapi puluhan ribu tentara Romawi. Jafar diangkat menjadi pemimpin kedua dari tiga serangkai kepemimpinan perang, yaitu bersama Zaid bin Haritsah, dan Abdullah Ibnu Rawahah.

Syahid di Perang Muktah

Pasukan Romawi  sebanyak 200 ribu telah berhadap-hadapan dengan tentara muslimin yang jumlahnya tak sebanding.  Sewaktu panji kepemimpinan terlepas dari Zaid Bin Haritsah, Jafar menggantikan komandan pasukan. Ia terus menyerbu ke tengah-tengah pasukan musuh.  Ia menebas dengan pedangnya, sampai akhirnya kudanya pun mati. Jafar turun dan terus berperang.

Wahai surga yang kudambakan mendiaminya.
Harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya.
Tentara Romawi telah menghampiri liang kuburnya.
Terhalang jauh dari sanak keluarganya.
Kewajibankulah menghantamnya jala menjumpainya.”

Panji bendera Islam dikepit di pangkal lengannya. Ia terus melawan musuh, sampai badannya tercabik-cabik. Bahkan sampai ia jatuh dan tak lagi berdaya, bendera itu masih dipegangnya.  Sampai segera bendera itu dipegang oleh komandan selanjutnya, Abdullah Ibnu Rawahah. Pria yang dijuluki Si Burung Surga ini akhirnya gugur sebagai syuhada, seperti harapannya.

Hasan bin Tsabit mengutarakan syair mengenai sepupu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam ini,

Maju prajurit memimpin sepasukan mumin
Menempuh maut menghadap ridho Rabul Alamin
Putra Bani Hasyim yang cemerlang bak cahaya purnama
Menyibak kegelapan tiran nan aniaya
Menyabet dan menebas setiap penyerang
Akhirnya jatuh syahid sebagai pahlawan
Disambut para syuhada yang pergi lebih dahulu
Di sura naim yang menjadi idaman setiap kalbu
Alangkah besarnya pengorbanan Jafar bagi Islam
Dalam menyebarluaskan ke seluruh alam
Selama ada pejuang seperti putra Bani Hasyim ini
Pasti Islam menjadi anutan penduduk bumi.”

Sesudah Hasan bin Tsabit bangkit pula Kaab bin Malik, yang mengucapkan syairnya yang bernilai:

Kemuliaan tertumpah atas pahlawan yang susul menyusul
Di perang Muktah, tak tergoyahkan bersusun bahu membahu
Curahan Rahmat kiranya membasuh tulang belulang mereka
Tabah dan sabar, demi Tuhan rela mempertaruhkan nyawa
Setapak pun tak hendak undur, menentang setiap bahaya
Panji perang di tangan Jafar sebagai pendahulu
Menambah semangat tempur bagi setipa penyerbu
Kedua teras pasukan berbenturan baku hantam
Jafar dikepung musuh sabet kiri terkam kanan
Tiba-tiba bulan purnama redup kehilangan jiwanya.
Sang surya pun gerhana ditinggalkan pahlawannya.”

Si pemurah itu telah pergi. Jafar, si Bapak orang miskin telah memenuhi  panggilan berjuang di jalan Allah. Abdullah Ibnu Umar berkata, “Aku sama-sama terjun di perang Muktah dengan Jafar. Waktu kami mencarinya, kami dapati ia beroleh luka bekas tusukan dan lembaran lebih dari 90 tempat.”

Rasullullah Shallallahu Alaihi Wassalam menyabdakan mengenai Jafar Si Bersayap Dua di surga ini, “Aku melihatnya di surga kedua bahunya yang penuh dengan bekas-bekas cucuran darah penuh dihiasi dengan tanda-tanda kehormatan.”

Salam untukmu Jafar bin Abi Thalib. Salam untukmu para syuhada.

Alhamdulillah
Kisah sahabat lainnya:


Mendekatkan Diri Kepada Allah



Ketaatan dan melakukan amal ibadah yang diridhoiNya merupakan salah satu jalan mendekatkan diri kepada Allah Subhana Wa Ta’ala. Mencari kecintaan dariNya dan meninggalkan maksiat adalah jalan yang paling utama.

QS Al Maidah 5:35

Bismillahi Rahmaani Rahiim

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan .

Shodaqollahuladzim

Wabtaghuu ilaihil wasiilah , dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya pada ayat di atas. Mencari wasilah atau mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, menurut Al Jalalain,  maknanya adalah mencari amal ketaatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah (Tafsir Al Jalalain). Demikian pula Ibnu Katsir menafsirkan ini dengan melakukan ketaatan dan amal yang Allah ridhoi.

Ibnul Jauzi mengartikannya dengan mencari kecintaan Allah (Kitab Zaadul Masir) dan  Al Baidhawi menafsirkannya sebagai mendekatkan diri pada pahala yang Allah berikan dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat (Tafsir Al Baidhawi, Anwarut Tanzil).

Mencari wasilah atau bertawasul harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Beberapa cara bertawasul yang benar seperti berdoa kepada Allah langsung dengan memujiNya dan menyebut namaNya yaitu asmaul husna. Membaca sholawat kepada nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wassalam. Banyak berdoa terutama pada saat setelah adzan, setelah sholat fardhu dan sholat malam, atau pada hari Jumat usai sholat Ashar.

Demikianlah mendekatkan diri atau mencari wasilah kepadaNya dalam beribadah kepadaNya. Kita juga bisa meminta orang sholeh yang masih hidup untuk mendoakan kita walaupun jangan menjadikannya sebagai kebiasaan. Mendekatkan diri kepada Allah yang lain dan penting adalah beramal sholeh di kehidupan sehari-hari. 

Mendekatkan diri kepada Allah janganlah memakai hal-hal yang dilarang dan syirik yaitu berdoa melalui perantaraan kuburan, orang yang telah mati, atau dengan melalui perantara kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam atau dengan kedudukan orang-orang sholeh. Misalnya berdoa dengan mengatakan, “Kami bertawasul dengan sang pemberi petunjuk Rasulullah dan setiap orang yang berjihad di jalan Allah.” Umat Islam juga dilarang melakukan kesyirikan dengan cara bertawasul dengan roh orang yang telah mati, orang sholeh, jin atau malaikat. Cara beribadah seperti ini tidaklah berbeda dengan kaum jahiliyah yang menganggap roh nenek moyang mereka adalah perantara agar doanya diperkenankan Allah sehingga roh yang mereka anggap sholeh  ini dapat memberi syafaat pada mereka kelak, bahkan sampai membuatkan berhalanya. Semoga kita terhindar dari hal sedemikian. Allahu’alam.

Sesungguhnya Allah Maha Mendengar segala doa kita dan Maha Melihat segala amal perbuatan kita. 

Alhamdulillah
#quran  

Berlaku Adil Dimulai Dari Keluarga



Berlaku adil di antara sesama manusia adalah perkara yang sulit dilakukan. Rasulullah Shalllallahu Alaihi Wassalam mencontohkan bagaimana berperilaku adil dimulai dari keluarga yaitu dimulai dari perlakuan terhadap anak-anak kita sendiri.

QS Al Maidah 5:8

Bismillahi Rahmaani Rahiim

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan ."

Shodaqollahul’adziim

Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain dari An Nu’man ibnu Basyir yang menceritakan bahwa ayahnya telah menghadiahkan kepadanya suatu pemberian yang berharga. Ibunya bernama Amrah bin Rawwahah berkata, “Aku tidak rela sebelum kamu mempersaksikan pemberian ini kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.”

Ayahnya datang menghadap Rasulullah SAW untuk meminta kesaksian atas pemberian tersebut. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasssalam bertanya, “Apakah semua anakmu diberi hadiah semisal?” Ayahku menjawab, “Tidak.”

Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda, “Bertakwalah kamu kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.” Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda pula, “Sesungguhnya aku tidak mau bersaksi atas kezaliman.” An Nu’man ibnu Basyir melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ayahnya pulang dan mencabut kembali pemberian tersebut darinya.

Rasullullah Shallallhu Alaihi Wassalam bersabda:

‏ اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ‏

Berlaku adillah di antara anakmu. Berlaku adillah di antara putramu. (HR Abu Dawud)

Alhamdulillah
#quran  

Dosa Syirik Tak Diampuni


Syirik adalah dosa terbesar yang tak diampuni Allah Subhana wa Taala. Bersamaan dosa ini bisa jadi  seseorang tak jarang menjadi mudah melakukan dosa-dosa besar lainnya.

QS An Nissa 116

Bismillahi Rahmaani Rahiim
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya ."

Sebuah kisah mengenai kemungkaran yang dilakukan seorang pencuri, pembohong dan pengumpat melatarbelakangi turunnya peringatan keras dari Allah perihal mempersekutukan diriNya. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa di antara keluarga serumah Bani Ubairiq, yaitu Basyr dan Mubasyir, terdapat seorang munafik yang bernama Busyair yang hidupnya melarat sejak jahiliyah. Ia pernah menggubah syair untuk mencaci maki para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassaalam, dan menuduh bahwa syair itu ciptaan orang lain.

Berikut syairnya: “Adapun makanan orang melarat ialah korma dan syair (kacang-kacangan) yang didatangkan dari Madinah.” Pada waktu itu, terigu dianggap makanan orang kaya.

Pada suatu ketika, Rifaah bin Zaid (paman Qatadah) membeli terigu beberapa karung yang kemudian disimpan di gudangnya tempat penyimpanan alat perang, baju besi dan pedang. Pada malam hari gudang itu dibongkar orang dan isinya dicuri. Pada pagi harinya, Rifa’ah berkata kepada Qatadah, “Wahai anak saudaraku, tadi gudang  kita dibongkar orang, makanan dan senjatanya dicuri.”

Kemudian mereka menyelidiki dan bertanya-tanya di sekitar kampung itu. Seseorang berkata kepada mereka bahwa pada malam tadi Bani Ubairiq menyalakan api untuk memasak terigu.  Namun, Bani Ubairiq malah menuduh orang lain dan mengatakan, “Kami telah bertanya-tanya di kampung ini, demi Allah kami yakin bahwa pencurinya adalah Labib bin Sahl.”

Labib bin Shal terkenal seorang muslim yang jujur. Ketika Labib mendengar ucapan Ubairiq, ia naik darah dan menarik pedangnya sambil berkata dengan marahnya. “Engkau menuduh aku mencuri? Demi Allah pedang ini akan ikut campur berbicara, sehingga terang dan jelas siapa si pencuri itu.” Bani Ubairiq berkata, “Jangan berkata kami yang menuduhmu, sebenarnya bukanlah kamu  pencurinya.”

Maka berangkatlah Qatadah dan Rifaah meneliti dan bertanya-tanya disekitar kampung itu sehingga yakin bahwa pencurinya adalah Bani Ubairiq. Maka berkatalah Rifaah, “Wahai anak saudaraku, bagaimana sekiranya engkau menghadap Rasulullah untuk menerangkan hal ini?”

Maka berangkatlah Qatadah menghadap Rasulullah SAW dan menerangkan adanya sebuah keluarga yang tidak baik di kampung itu, yaitu pencuri makanan dan senjata kepunyaan pamannya, Rifa’ah. Pamannya menghendaki agar senjatanya saja yang dikembalikan dan membiarkan makanan itu untuk mereka. Maka bersabdalah Rasulullah Shallalaahu Alaihi Wassalam, “Saya akan teliti hal ini.”

Ketika Bani Ubairiq perihal pengaduan Qatadah, mereka mendatangi salah seorang keluarganya bernama Asir bin Urwah untuk menceritakan peristiwa tersebut. Maka berkumpullah mereka kemudian menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam seraya berkata, “Wahal Rasulullah, sesungguhnya Qatadah bin Nu’man dan pamannya menuduh seorang yang baik di antara kami, orang yang jujur dan lurus mencuri tanpa bukti apapun.”

Kemudian, ketika Qatadah menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, ia pun ditegur, “Kau menuduh seorang muslim yang jujur dan lurus tanpa bukti?” Pulanglah Qatadah lalu menceritakan hal ini kepada pamannya. Berkatalah pamannya, Rifaah, “Allahul must’anu (Allah tempat kita berlindung).”

Tak lama berselang, Allah menurunkan surat An Nissa ayat 105. “ Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat .”

Ayat ini  turun berkenaan dengan pembelaan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam terhadap Bani Ubairiq. Surat An Nissa ayat 106 sampai 114 berkenaan dengan ucapan Nabi SAW terhadap Qatadah.

Setelah itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam membawa sendiri senjata yang hilang itu dan menyerahkan kepada Rifaah, sedangkan Busyair dari Bani Ubairiq menggabungkan diri dengan kaum musyrikin serta menumpang pada Sulafah binti Saad. Dikabarkan juga, setelah Allah menerangkan kebusukan Busyair (An Nissa 105) ia lari ke Mekah dan mencaci -maki orang muslim.

Maka Allah menurunkan ayat selanjutnya (An Nissa 115-116) sebagai teguran kepada orang yang menggabungkan diri dengan musuh setelah jelas kepadanya petunjuk Allah.

“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali .
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan sesuatu dengan Dia dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya .” QS An Nissa 115-116

Demikianlah peringatan keras Allah Subhana Wa Taala bagi orang yang berbuat syirik. Semoga kita terhindar dari dosa sedemikian. Aamiin

Alhamdulillah

Berhijrah dan Wafat di Jalan Allah



Allah Subhana Wa Taala telah menetapkan pahala di sisiNya kepada mereka yang berhijrah di jalanNya. Setiap niat yang hanya diperuntukkan kepadaNya tak akan pernah sia-sia sejak pertama kali diikrarkan dalam hati.

QS An Nissa 4:100

Bismillahi Rahmaani Rahiim

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ."

Shodaqollahuladziim

Dlamrah bin Jundab keluar dari rumahnya untuk berhijrah dan berkata kepada keluarganya, “Gotonglah saya dan hijrahkanlah saya dari tanah musyrikin ini ke tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.” Belum sampai pada tempat tujuannya ia telah wafat. Saat peristiwa hijrah kala itu ia sedang sakit di Mekah lalu berkata demikian kepada anaknya. “Bawalah aku keluar dari Mekah ini, aku bisa mati akibat situasi kekalutan di tempat ini.” Berkata anaknya, “Kemana kami bawa?” Ia lalu memberi petunjuk dengan tangannya ke arah Madinah. Namun, belum sempat sampai tujuan, atau baru sampai di kampung Bani Ghifarm Allah telah mengangkat nyawanya.

Sebuah riwayat lain disebutkan, Khalid bin Haram berhijrah ke Habsyah, diperjalanan ia digigit ular dan wafat.

Pada riwayat lain, ketika sampai berita tentang kerasulan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam kepada Aktsam bin Shaifi, ia bermaksud mengunjungi beliau akan tetapi dihalangi kaumnya. Ia lalu meminta seseorang untuk diutus menyampaikan maksudnya minta keterangan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Maka dipilihlah dua orang utusan lalu mereka berkata, “Kami utusan dari Aktsam bin Shaifi yang ingin tahu tentang siapa nama tuan, apakah kedudukan tuan, apakah yang tuan bawa?”

Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Saya Muhammad, anak Abdullah, hamba Allah dan RasulNya.” Lalu Nabi SAW membuka ayat Innalllaha ya muru bil abdil wal ihsan,, (QS An Nahl 90). Sesampainya kedua utusan  itu kepada Aktsam dan menyampaikan apa yang diterangkan Nabi SAW kepada mereka, Aktsam berkata, “Hai kaumku, ia menyuruh berbudi tinggi dan melarang berakhlak rendah, jadilah kalian pelopor untuk berbuat luhur, dan jangan menjadi pengekor.” Kemudian ia berangkat naik unta menuju Madinah, tetapi di perjalanan ia meninggal. Maka turunlah ayat ini berkenaan dengan beberapa peristiwa tersebut.

Sudah sampaikah pada sahabat kisah yang penuh inspirasi berikut? Kisah ini selalu diulang-ulang dan selalu dapat memotivasi. Pada riwayat Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:

“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu ia membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah dibunuhnya.

Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu(yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.”

Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab.

Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.”

Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut. Jika jaraknya dekat ke tempat yang dituju, maka ia (malaikat rahmat) yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut. Ternyata mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat ke tempat yang dituju. Akhirnya,ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.”

Berhijrah di jalan Allah dengan Bismillah dan Allah Subhana Wa Ta’ala tak akan pernah melanggar janjiNya.

Alhamdulillah
#quran

Kisah Sahabat Rasulullah SAW 15: Abdullah bin Umar



Abdullah bin Umar adalah anak dari Khalifah Umar bin Khattab ra, karenanya ia dipanggil Ibnu Umar. Sejak kecil Ibnu Umar telah mengenal Rasulullah Shallallahu AlaihinWassalam. Pada usia 13 tahun, ia meminta untuk bisa menyertai ayahandanya turut dalam perang Badar namun ditolak oleh Nabi SAW karena masih belum cukup umur.

Sejak kecil Ibnu Umar telah mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dalam setiap langkahnya.  “Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW di tempat-tempat pemberhentiannya, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Umar.” Demikian pujian Uminul Mukminin, Aisyah ra terhadapnya.

Ibnu Umar selalu memperhatikan apa yang diperbuat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Ia menirunya dengan cermat dan teliti. Suatu kali di suatu tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam berdiri sambil berdiri, maka ia berdoa dan berdiri di tempat itu. Jika berdoa sambil duduk, maka ditirunya pula berdoa sambil duduk di situ.

Pada tempat  berbeda, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam pernah turun dari ontanya dan melakukan sholat dua rakaat. Maka Ibnu Umar akan melakukannya juga. Jika dalam perjalanan ia kebetulan lewat di tempat itu, maka ia akan turun dan sholat dua rakaat di sana. Ibnu Umar tak lupa bagaimana onta milik Nabi SAW berkeliling dua kali di kota Mekah sebelum Beliau turun dan sholat dua rakaat. Padahal bisa jadi onta itu berkeliling sedemikian rupa mencari tempat yang cocok. Ibnu Umar akan berputar dua kali lalu sholat di tempat yang sama.

Lantaran kegemarannya mengikuti sunnah dan jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, Ibnu Umar amat hati-hati dalam penyampaian hadist dari Beliau. Ia tdak ingin mengurangi atau menambahkan apa yang didengar dan dilihatnya.  “Tak seorang pun yang di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi sehuruf  pun dalam menyampaikan hadist sebagaimana halnya Ibnu Umar.” Demikian kesaksian pada sahabat kala itu.

Ibnu Umar enggan berfatwa pada suatu hal yang tidak diketahuinya. Ia hanya akan mengatakan, “Saya tidak tahu tentang masalah yang anda tanyakan itu.” Demikianlah kehati-hatiannya enggan berijtihad pada sesuatu yang tidak ia pahami karena takut melakukan kesalahan. Termasuk menghindarkan diri dari jabatan kadli atau kehakiman sebagai jabatan tertinggi.

Suatu hari Khalifah Ustman ra memanggilnya dan meminta kesediaannya untuk memegang jabatan kehakimannya itu, tetapi ditolaknya bagaimanapun khalifah mendesaknya.  “Apakah anda tak hendak mentaati perintahku?” Tanya Ustman.

Ibnu Umar  menjawab, “Sama sekali tidak… hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam. Pertama, hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua, yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Dan, ketiga yang berijtihad sedang hasil hasil ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada Anda agar dibebaskan dari jabatan itu.”

Khalifah Ustman memahami dan menerima keberatan Ibnu Umar. Langkahnya bukanlah sesuatu hal yang negatif karena pada waktu itu dinilai masih ada sahabat lain yang bisa memegang jabatan tersebut. Kecuali sudah  tak ada lagi orang bertaqwa yang bisa diserahi tugas.  Selain itu, Khalifah Ustman ra memahami bahwa Ibnu Umar sebagai seorang tokoh yang bertaqwa memberikan contoh akan sikap zuhud dan kesholehan.

Mimpi Ibnu Umar


Suatu kali Ibnu Umar pernah bercerita mengenai mimpinya. Ia berkisah,

“Di masa Rasulullah Shalllallahu Alaihi Wassalam, saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang saya ingin di surga, maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana…
Lalu nampak pula dua orang yang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi seorang Malaikat menghadang mereka, katanya, “ Jangan ganggu!” Maka kedua orang itu pun melapangkan jalan bagiku.”

Oleh Hafshah, yaitu saudari Ibnu Umar, mimpi itu diceritakannya kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Maka sabda Rasulullah SAW:

“Akan menjadi laki-laki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering sholat malam dan banyak melakukannya.”

Maka semenjak itu, sampai ia berpulang ke Rahmatullah, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan sholat malam baik kala ia bermukim atau saat menjadi musafir. Ia banyak membaca Al Quran, berzikir dan menyebut nama Allah.

Berkata Ubeid bin Umeir:
“Pada suatu hari saya bacakan ayat berikut kepada Abdullah ibnu Umar: ‘Betapakah bila Kami hadapkan dari setiap umat seorang saksi, dan Kami hadapkan pula kamu sebagai saksi atas mereka semua? Pada hari itu orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelah bumi, dan tiada pula suatu pembicaraan pun yang dapat mereka sembunyikan dari Allah.” QS An Nissa 4:41-42.”

Maka Ibnu Umar pun menangis sampai janggutnya basah oleh air mata. Pada suatu hari ketika ia duduk di antara kawan-kawannya, ia membaca:

“Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran! Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka yang menakar atau  menimbang untuk orang lain. Tidakkah mereka merasa bahwa mereka akan di bangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat yaitu ketika manusia sama berdiri di hadapan Tuhan Rabbul Alamin.” QS Mutafifin  83: 1-6

Terus saja Ibnu Umar mengulang ayat:
“Ketika manusia sama berdiri di hadapan Rabbul Alamin.” Sedangkan airmatanya bercururan.

Menyumbangkan Hartanya


Apa yang dapat digambarkan dari sifat Ibnu Umar selain zuhud, wara dan shalih? Sebagai seorang saudagar yang berkecukupan, ia adalah seorang pemurah.

Ayub bin Wail ar Rasibi pernah menceritakan salah satu contoh kedermawanannya. Suatu hari Ibnu Umar mendapatkan uang sebanyak empat ribu dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya, Ibnu Wail secara tak sengaja melihat Ibnu Umar membelikan makanan tunggangannya di pasar secara berhutang.

Maka bertanyalah Ibnu Wail kepada keluarganya menanyakan penyebab Ibnu Umar berhutang. Keluarganya mengatakan, tidak sampai berakhir malam, uang yang empat ribu dirham itu telah dihabiskannya untuk dibagi-bagikan pada orang miskin. Demikian pula baju hangatnya yang ia berikan pada seorang tak mampu saat ia keluar rumah.

Ibnu Wail bergegas pergi ke pasar dan naik ke tempat yang tinggi sambil agak berteriak, “Hai kaum pedagang! Apa yang tuan-tuan lakukan terhadap dunia? Lihat Ibnu Umar, datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan  secara utang.”

Demikianlah Ibnu Wail membela Ibnu Umar. Semua orang sudah tahu bagaimana sifat kedermawanan Ibnu Umar. Ia pernah berkata kepada putra-putranya, “Kalian mengundang orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang yang kelaparan.” Tak pernah Ibnu Umar makan seorang diri, ia selalu dikelilingi anak-anak yatim waktu makan.

Ibnu Umar juga pernah suatu kali dihadiahi sahabatnya yang datang dari Khurasan sebuah baju halus yang indah. “Apakah ini sutra?” Tanya Ibnu Umar. “Bukan, hanya katun,” jawab temannya. Ibnu Umar mengusap-usap baju itu lalu katanya, “Tidak, saya khawatir terhadap diriku, saya takut ia akan menjadikan diriku sombong dan megah, sedang Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan bermegah diri.”

Ada juga sahabatnya yang lain menghadiahi sekotak obat istimewa yang dibawa dari Irak. “Obat untuk penyakit apa?” Tanya Ibnu Umar. “Obat penghancur makanan untuk membantu pencernaan,” jawab sahabatnya. Ibnu Umar tersenyum lalu berkata, “Obat penghancur makanan? Selama empat puluh tahun ini saya tak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang.” Bayangkan selama 40 tahun berlapar-lapar.

Berkata Malmun bin Marwan, “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut dan tikar, pendeknya apa juga yang terdapat di sana. Maka saya dapati harganya tidak sampai seratus dirham.”

Bersikap Netral


Hasan ra bercerita mengenai Ibnu Umar:
“Tatkala Ustman bin Affan dibunuh orang, umat mengatakan kepada Abdullah bin Umar, ’Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang bai’at pada Anda!’  Jawabnya, ‘Demi Allah, seandainya dapat, janganlah ada walau setetes darah pun yang tertumpah disebabkan daku’. Kata mereka, ‘Anda harus keluar! Kalau tidak akan kamu bunuh di tempat tidurmu!’ Tetapi jawaban Ibnu Umar tidak berbeda dengan yang pertama. Demikianlah mereka membujuk dan mengancamnya, tetapi tak satu pun hasil yang mereka peroleh.”

Ibnu Umar merupakan salah seorang harapan bagi umat kala itu, tapi ia memberi syarat jika ditunjuk menjadi pemimpin harus didukung oleh seluruh kaum muslimin tak terkecuali. Syarat tersebut kala itu sangatlah tidak mungkin karena adanya perselisihan kaum muslim sesaat setelah kematian Khalifah Utsman bin Affan.  

Seorang lak-laki mendatanginya, “Tak seorang pun yang lebih buruk perlakuannya kepada umat daripada kamu!”

Ibnu Umar bertanya, “Kenapa? Demi Allah, tak pernah saya akan menumpahkan darah mereka, tidak pula berpisah dengan jamaah mereka apalagi memecah belah kesatuan mereka. “

Kata laki-laki itu, “Andaikan kamu mau, tak seorang pun akan menentang.”

Jawab Ibnu Umar, “Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju namun yang lainnya tidak!”

Demikianlah pendirian Ibnu Umar. Ia tak ingin menjadi bagian dari pertumpahan darah. Bertahun-tahun setelah itu, Muawiyah menjadi pemimpin kaum muslim, diteruskan lagi oleh putranya Yazid  lalu putra dari Yazid, orang masih saja mengharapkannya menjadi pemimpin.  Marwan datang kepadanya, “Ulurkan tangan anda agar kami baiat, anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya.”

Kata Ibnu Umar, “Apa yang kita lakukan terhadap orang-orang Masyriq (kepemimpinan Muawiyah)?”

“Kita gempur mereka sampai mau berbaiat,” jawab Marwan.

“Demi Allah, saya tak sudi dalam umur saya yang 70 tahun ini ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan saya.”

Marwan pergi sambil berkata, “Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila. Dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa.”  Abu Laila yang dimaksud Marwan adalah Muawiyah bin Yazid.
Penolakan untuk menggunakan kekerasan dan alat senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar tak hendak campur tangan dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang terjadi di antara pengikut Ali dan penyokong Muawiyah dengan mengambil kalimat-kalimat berikut:

“Siapa yang berkata, ‘Marilah shalat!’, akan saya penuhi.
Dan siapa yang berkata, “Marilah menuju kebahagiaan!’ akan saya turuti pula.
Tetapi siapa yang mengatakan, ‘Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya!’ maka saya akan katakan tidak!”

Demikianlah sikap Ibnu Umar. Tak ayal terkadang ada hal dalam kepemimpinan Muawiyah yang bertentangan dengan dirinya, namun ia berkata, “Seandainya di antaraku dengan seseorang ada hubungan walau agak sebesar rambut, tidaklah ia akan putus.”

Betapapun keras dan beraninya, Ibnu Umar sampai akhir hayatnya tidak ingin terlibat dalam fitnah bersenjata dan menolak berpihak pada salah satu golongan. Suatu kali Abul Aliyah al Barra berjalan di belakangnya dan tak sengaja mendengar Ibnu Umar berkata pelan pada dirinya sendiri:

“Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata, ‘Hai Abdullah bin Umar ikutlah dan berikan bantuan’. Sungguh sangat menyedihkan.”

Ia amat menyesali darah kaum muslimin tertumpah oleh sesamanya. Sekiranya ia mampu menghentikan peperangan pastilah akan dilakukannya. Pada hati kecilnya tentu berpihak pada Ali bin Abi Thalib ra sebagai pihak yang benar. “Tiada sesuatupun yang saya sesalkan karena tidak kuperoleh, kecuali suatu hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi Ali dalam memerangi golongan pendurhaka.”

Pertumpahan darah adalah suatu hal yang tidak diinginkannya terjadi, itulah mengapa ia tidak berpihak. Suatu kali ia ditanyai Naf’I, “Hai Abu Abdurahman (panggilan Ibnu Umar), anda adalah putra Umar dan sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, maka apakah yang menghalangi anda bertindak (membela Ali)?”

Ibnu Umar menjawab, “Sebabnya Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah muslim.”  Ia lalu mengemukakan Al Quran: “Perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu semata ikhlas karena Allah.” QS Al Baqarah 2:193.

Ibnu Umar melanjutkan, “Nah, kita telah  melakukan itu dan memerangi orang musyrik, hingga agama ini semata bagi Allah! Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang? Saya telah mulai berperang semenjak berkala-berkala masih memenuhi Masjidil  Haram dari pintu sampai sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan Laa illaaha illallaah. Tiada Tuhan yang haq diibadahi selain Allah?”

Seperti itulah prinsip yang dipegang teguh Ibnu Umar. Bukan karena pengecut, tapi ia tak ingin berada dalam pertumpahan darah saudara sendiri.  Demikianlah  perkataan pria yang sejak kecil telah mengenal dan mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Sejak kecil sampai akhir masa tuanya ia mengalami berbagai gejolak yang terjadi pada kaum muslim.

“Saya telah baiat kepada Rasulullah shallallahu Alaihi Wassalam, maka sampaikanlah ini, saya tak pernah belot atau mungkar janji. Dan saya tak pernah baiat kepada pengobar fitnah. Tidak pula membangunkan orang mukmin dari tidurnya.”

Bersahaja


Ibnu Umar dikaruniai umur yang panjang dan hidup sampai pada masa Bani Umaiyah.  Saat itu, Islam sudah mulai berjaya, harta melimpah ruah. Namun, ia memilih zuhud dan mengutamakan ketaqwaan. Pada akhir hidup Ibnu Umar corak kehidupan mengalami perubahan. Kala itu, kehidupan kaum muslim semakin longgar, telah lapang dalam bermewah-mewahan. Namun, Ibnu Umar tetaplah bertahan dengan kesederhanaannya.  

Ibnu Umar berkata, “Saya bersama sahabat-sahabatku telah sama sepakat atas suatu perkara, dan saya khawatir jika menyalahi mereka, takkan bertemu lagi dengan mereka untuk selama-lamanya.” Lalu sambil berdoa menegadahkan tangan ia berucap, “Ya Allah, Engkau  mengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepadaMu tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraisy memperebutkan dunia ini.”

Kaum muslim berdoa, “Ya Tuhan kami, lanjutkanlah kiranya usia Ibnu Umar sebagaimana Allah melanjutkan usiaku, agar aku dapat mengikuti jejak langkahnya, karena aku tidak mengetahui seorang pun yang menghirup dari sumber pertama selain Abdullah bin Umar.” Namun, Allah berkehendak lain dan memanggilnya pada suatu hari di tahun 73 Hijriah pada usia 80 tahun.


Salam untukmu ya Abdullah bin Umar, Semoga Allah meridhoimu dan menempatkanmu di tempat yang tinggi bersama para sahabat Rasulullullah Shallallahu Alaihin Wassalam.

Mencintai Allah dan RasulNya Lebih dari Kepada Diri Sendiri



Siapakah manusia yang paling kita ingin temui di surga selain Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam? Lalu berkumpul dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah? Sudahkah kita mencintai Allah dan RasulNya melebihi cinta kita kepada diri sendiri?

QS An Nissa 4:69

                                          بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ 

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡہِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّہَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَ‌ۚ وَحَسُنَ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ رَفِيقً۬ا

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[*], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya .

[*]  ialah: orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.

Seorang laki-laki menghadap Nabi Shalallhu Alaihi Wassalam dan berkata, “Ya Rasulullah, Aku cintai tuan lebih daripada cinta kepada diriku dan anakku sendiri. Dan jika aku sedang di rumah selalu ingat tuan dan tidak sabar ingin segera bertemu dengan tuan. Dan jika aku ingat ajalku dan ajal tuan, aku yakin bahwa tuan akan diangkat beserta Nabi-Nabi di surga. Apabila masuk surga aku takut kalau-kalau tidak bisa bertemu dengan tuan.” Maka Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam terdiam tidak menjawab sedikit pun sehingga turun Jibril dengan membawa ayat ini sebagai janji Allah kepada orang-orang yang taat kepada Allah dan RasulNya. 

Para sahabat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasssalam berkata, “Ya Rasulullah, kami tidak mau berpisah dengan tuan, tetapi nanti di akhirat tuan akan diangkat beserta Nabi-Nabi lainnya lebih tinggi derajatnya dari kami, sehingga kami tidak dapat bertemu dengan tuan.” Maka turunlah ayat ini sebagai janji Allah bahwa mereka akan digolongkan kepada orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Subhana Wa Ta’ala.

Sebuah riwayat lain mengisahkan, seorang pemuda menghadap Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, dan berkata, “Ya Nabiyullah, kami dapat bertemu dengan tuan di dunia ini, dan di akhirat kami tidak dapat bertemu, karena tuan berada di derajat yang tertinggi di surga".  Maka Allah menurunkan ayat ini. Kemudian Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda, “Engkau besertaku di surga In syaa Allah.”

Sholawat dan Salam kepada Rasulullah Muhammad Shalallhu Alaihi Wassalam.

Alhamdulillah
#quran  

Kisah Taubatnya Sang Pencuri Kain Kafan