Kisah Sahabat Rasulullah SAW 15: Abdullah bin Umar



Abdullah bin Umar adalah anak dari Khalifah Umar bin Khattab ra, karenanya ia dipanggil Ibnu Umar. Sejak kecil Ibnu Umar telah mengenal Rasulullah Shallallahu AlaihinWassalam. Pada usia 13 tahun, ia meminta untuk bisa menyertai ayahandanya turut dalam perang Badar namun ditolak oleh Nabi SAW karena masih belum cukup umur.

Sejak kecil Ibnu Umar telah mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dalam setiap langkahnya.  “Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW di tempat-tempat pemberhentiannya, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Umar.” Demikian pujian Uminul Mukminin, Aisyah ra terhadapnya.

Ibnu Umar selalu memperhatikan apa yang diperbuat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Ia menirunya dengan cermat dan teliti. Suatu kali di suatu tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam berdiri sambil berdiri, maka ia berdoa dan berdiri di tempat itu. Jika berdoa sambil duduk, maka ditirunya pula berdoa sambil duduk di situ.

Pada tempat  berbeda, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam pernah turun dari ontanya dan melakukan sholat dua rakaat. Maka Ibnu Umar akan melakukannya juga. Jika dalam perjalanan ia kebetulan lewat di tempat itu, maka ia akan turun dan sholat dua rakaat di sana. Ibnu Umar tak lupa bagaimana onta milik Nabi SAW berkeliling dua kali di kota Mekah sebelum Beliau turun dan sholat dua rakaat. Padahal bisa jadi onta itu berkeliling sedemikian rupa mencari tempat yang cocok. Ibnu Umar akan berputar dua kali lalu sholat di tempat yang sama.

Lantaran kegemarannya mengikuti sunnah dan jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, Ibnu Umar amat hati-hati dalam penyampaian hadist dari Beliau. Ia tdak ingin mengurangi atau menambahkan apa yang didengar dan dilihatnya.  “Tak seorang pun yang di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi sehuruf  pun dalam menyampaikan hadist sebagaimana halnya Ibnu Umar.” Demikian kesaksian pada sahabat kala itu.

Ibnu Umar enggan berfatwa pada suatu hal yang tidak diketahuinya. Ia hanya akan mengatakan, “Saya tidak tahu tentang masalah yang anda tanyakan itu.” Demikianlah kehati-hatiannya enggan berijtihad pada sesuatu yang tidak ia pahami karena takut melakukan kesalahan. Termasuk menghindarkan diri dari jabatan kadli atau kehakiman sebagai jabatan tertinggi.

Suatu hari Khalifah Ustman ra memanggilnya dan meminta kesediaannya untuk memegang jabatan kehakimannya itu, tetapi ditolaknya bagaimanapun khalifah mendesaknya.  “Apakah anda tak hendak mentaati perintahku?” Tanya Ustman.

Ibnu Umar  menjawab, “Sama sekali tidak… hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam. Pertama, hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua, yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Dan, ketiga yang berijtihad sedang hasil hasil ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada Anda agar dibebaskan dari jabatan itu.”

Khalifah Ustman memahami dan menerima keberatan Ibnu Umar. Langkahnya bukanlah sesuatu hal yang negatif karena pada waktu itu dinilai masih ada sahabat lain yang bisa memegang jabatan tersebut. Kecuali sudah  tak ada lagi orang bertaqwa yang bisa diserahi tugas.  Selain itu, Khalifah Ustman ra memahami bahwa Ibnu Umar sebagai seorang tokoh yang bertaqwa memberikan contoh akan sikap zuhud dan kesholehan.

Mimpi Ibnu Umar


Suatu kali Ibnu Umar pernah bercerita mengenai mimpinya. Ia berkisah,

“Di masa Rasulullah Shalllallahu Alaihi Wassalam, saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang saya ingin di surga, maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana…
Lalu nampak pula dua orang yang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi seorang Malaikat menghadang mereka, katanya, “ Jangan ganggu!” Maka kedua orang itu pun melapangkan jalan bagiku.”

Oleh Hafshah, yaitu saudari Ibnu Umar, mimpi itu diceritakannya kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Maka sabda Rasulullah SAW:

“Akan menjadi laki-laki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering sholat malam dan banyak melakukannya.”

Maka semenjak itu, sampai ia berpulang ke Rahmatullah, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan sholat malam baik kala ia bermukim atau saat menjadi musafir. Ia banyak membaca Al Quran, berzikir dan menyebut nama Allah.

Berkata Ubeid bin Umeir:
“Pada suatu hari saya bacakan ayat berikut kepada Abdullah ibnu Umar: ‘Betapakah bila Kami hadapkan dari setiap umat seorang saksi, dan Kami hadapkan pula kamu sebagai saksi atas mereka semua? Pada hari itu orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelah bumi, dan tiada pula suatu pembicaraan pun yang dapat mereka sembunyikan dari Allah.” QS An Nissa 4:41-42.”

Maka Ibnu Umar pun menangis sampai janggutnya basah oleh air mata. Pada suatu hari ketika ia duduk di antara kawan-kawannya, ia membaca:

“Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran! Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka yang menakar atau  menimbang untuk orang lain. Tidakkah mereka merasa bahwa mereka akan di bangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat yaitu ketika manusia sama berdiri di hadapan Tuhan Rabbul Alamin.” QS Mutafifin  83: 1-6

Terus saja Ibnu Umar mengulang ayat:
“Ketika manusia sama berdiri di hadapan Rabbul Alamin.” Sedangkan airmatanya bercururan.

Menyumbangkan Hartanya


Apa yang dapat digambarkan dari sifat Ibnu Umar selain zuhud, wara dan shalih? Sebagai seorang saudagar yang berkecukupan, ia adalah seorang pemurah.

Ayub bin Wail ar Rasibi pernah menceritakan salah satu contoh kedermawanannya. Suatu hari Ibnu Umar mendapatkan uang sebanyak empat ribu dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya, Ibnu Wail secara tak sengaja melihat Ibnu Umar membelikan makanan tunggangannya di pasar secara berhutang.

Maka bertanyalah Ibnu Wail kepada keluarganya menanyakan penyebab Ibnu Umar berhutang. Keluarganya mengatakan, tidak sampai berakhir malam, uang yang empat ribu dirham itu telah dihabiskannya untuk dibagi-bagikan pada orang miskin. Demikian pula baju hangatnya yang ia berikan pada seorang tak mampu saat ia keluar rumah.

Ibnu Wail bergegas pergi ke pasar dan naik ke tempat yang tinggi sambil agak berteriak, “Hai kaum pedagang! Apa yang tuan-tuan lakukan terhadap dunia? Lihat Ibnu Umar, datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan  secara utang.”

Demikianlah Ibnu Wail membela Ibnu Umar. Semua orang sudah tahu bagaimana sifat kedermawanan Ibnu Umar. Ia pernah berkata kepada putra-putranya, “Kalian mengundang orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang yang kelaparan.” Tak pernah Ibnu Umar makan seorang diri, ia selalu dikelilingi anak-anak yatim waktu makan.

Ibnu Umar juga pernah suatu kali dihadiahi sahabatnya yang datang dari Khurasan sebuah baju halus yang indah. “Apakah ini sutra?” Tanya Ibnu Umar. “Bukan, hanya katun,” jawab temannya. Ibnu Umar mengusap-usap baju itu lalu katanya, “Tidak, saya khawatir terhadap diriku, saya takut ia akan menjadikan diriku sombong dan megah, sedang Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan bermegah diri.”

Ada juga sahabatnya yang lain menghadiahi sekotak obat istimewa yang dibawa dari Irak. “Obat untuk penyakit apa?” Tanya Ibnu Umar. “Obat penghancur makanan untuk membantu pencernaan,” jawab sahabatnya. Ibnu Umar tersenyum lalu berkata, “Obat penghancur makanan? Selama empat puluh tahun ini saya tak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang.” Bayangkan selama 40 tahun berlapar-lapar.

Berkata Malmun bin Marwan, “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut dan tikar, pendeknya apa juga yang terdapat di sana. Maka saya dapati harganya tidak sampai seratus dirham.”

Bersikap Netral


Hasan ra bercerita mengenai Ibnu Umar:
“Tatkala Ustman bin Affan dibunuh orang, umat mengatakan kepada Abdullah bin Umar, ’Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang bai’at pada Anda!’  Jawabnya, ‘Demi Allah, seandainya dapat, janganlah ada walau setetes darah pun yang tertumpah disebabkan daku’. Kata mereka, ‘Anda harus keluar! Kalau tidak akan kamu bunuh di tempat tidurmu!’ Tetapi jawaban Ibnu Umar tidak berbeda dengan yang pertama. Demikianlah mereka membujuk dan mengancamnya, tetapi tak satu pun hasil yang mereka peroleh.”

Ibnu Umar merupakan salah seorang harapan bagi umat kala itu, tapi ia memberi syarat jika ditunjuk menjadi pemimpin harus didukung oleh seluruh kaum muslimin tak terkecuali. Syarat tersebut kala itu sangatlah tidak mungkin karena adanya perselisihan kaum muslim sesaat setelah kematian Khalifah Utsman bin Affan.  

Seorang lak-laki mendatanginya, “Tak seorang pun yang lebih buruk perlakuannya kepada umat daripada kamu!”

Ibnu Umar bertanya, “Kenapa? Demi Allah, tak pernah saya akan menumpahkan darah mereka, tidak pula berpisah dengan jamaah mereka apalagi memecah belah kesatuan mereka. “

Kata laki-laki itu, “Andaikan kamu mau, tak seorang pun akan menentang.”

Jawab Ibnu Umar, “Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju namun yang lainnya tidak!”

Demikianlah pendirian Ibnu Umar. Ia tak ingin menjadi bagian dari pertumpahan darah. Bertahun-tahun setelah itu, Muawiyah menjadi pemimpin kaum muslim, diteruskan lagi oleh putranya Yazid  lalu putra dari Yazid, orang masih saja mengharapkannya menjadi pemimpin.  Marwan datang kepadanya, “Ulurkan tangan anda agar kami baiat, anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya.”

Kata Ibnu Umar, “Apa yang kita lakukan terhadap orang-orang Masyriq (kepemimpinan Muawiyah)?”

“Kita gempur mereka sampai mau berbaiat,” jawab Marwan.

“Demi Allah, saya tak sudi dalam umur saya yang 70 tahun ini ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan saya.”

Marwan pergi sambil berkata, “Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila. Dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa.”  Abu Laila yang dimaksud Marwan adalah Muawiyah bin Yazid.
Penolakan untuk menggunakan kekerasan dan alat senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar tak hendak campur tangan dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang terjadi di antara pengikut Ali dan penyokong Muawiyah dengan mengambil kalimat-kalimat berikut:

“Siapa yang berkata, ‘Marilah shalat!’, akan saya penuhi.
Dan siapa yang berkata, “Marilah menuju kebahagiaan!’ akan saya turuti pula.
Tetapi siapa yang mengatakan, ‘Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya!’ maka saya akan katakan tidak!”

Demikianlah sikap Ibnu Umar. Tak ayal terkadang ada hal dalam kepemimpinan Muawiyah yang bertentangan dengan dirinya, namun ia berkata, “Seandainya di antaraku dengan seseorang ada hubungan walau agak sebesar rambut, tidaklah ia akan putus.”

Betapapun keras dan beraninya, Ibnu Umar sampai akhir hayatnya tidak ingin terlibat dalam fitnah bersenjata dan menolak berpihak pada salah satu golongan. Suatu kali Abul Aliyah al Barra berjalan di belakangnya dan tak sengaja mendengar Ibnu Umar berkata pelan pada dirinya sendiri:

“Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata, ‘Hai Abdullah bin Umar ikutlah dan berikan bantuan’. Sungguh sangat menyedihkan.”

Ia amat menyesali darah kaum muslimin tertumpah oleh sesamanya. Sekiranya ia mampu menghentikan peperangan pastilah akan dilakukannya. Pada hati kecilnya tentu berpihak pada Ali bin Abi Thalib ra sebagai pihak yang benar. “Tiada sesuatupun yang saya sesalkan karena tidak kuperoleh, kecuali suatu hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi Ali dalam memerangi golongan pendurhaka.”

Pertumpahan darah adalah suatu hal yang tidak diinginkannya terjadi, itulah mengapa ia tidak berpihak. Suatu kali ia ditanyai Naf’I, “Hai Abu Abdurahman (panggilan Ibnu Umar), anda adalah putra Umar dan sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, maka apakah yang menghalangi anda bertindak (membela Ali)?”

Ibnu Umar menjawab, “Sebabnya Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah muslim.”  Ia lalu mengemukakan Al Quran: “Perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu semata ikhlas karena Allah.” QS Al Baqarah 2:193.

Ibnu Umar melanjutkan, “Nah, kita telah  melakukan itu dan memerangi orang musyrik, hingga agama ini semata bagi Allah! Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang? Saya telah mulai berperang semenjak berkala-berkala masih memenuhi Masjidil  Haram dari pintu sampai sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan Laa illaaha illallaah. Tiada Tuhan yang haq diibadahi selain Allah?”

Seperti itulah prinsip yang dipegang teguh Ibnu Umar. Bukan karena pengecut, tapi ia tak ingin berada dalam pertumpahan darah saudara sendiri.  Demikianlah  perkataan pria yang sejak kecil telah mengenal dan mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Sejak kecil sampai akhir masa tuanya ia mengalami berbagai gejolak yang terjadi pada kaum muslim.

“Saya telah baiat kepada Rasulullah shallallahu Alaihi Wassalam, maka sampaikanlah ini, saya tak pernah belot atau mungkar janji. Dan saya tak pernah baiat kepada pengobar fitnah. Tidak pula membangunkan orang mukmin dari tidurnya.”

Bersahaja


Ibnu Umar dikaruniai umur yang panjang dan hidup sampai pada masa Bani Umaiyah.  Saat itu, Islam sudah mulai berjaya, harta melimpah ruah. Namun, ia memilih zuhud dan mengutamakan ketaqwaan. Pada akhir hidup Ibnu Umar corak kehidupan mengalami perubahan. Kala itu, kehidupan kaum muslim semakin longgar, telah lapang dalam bermewah-mewahan. Namun, Ibnu Umar tetaplah bertahan dengan kesederhanaannya.  

Ibnu Umar berkata, “Saya bersama sahabat-sahabatku telah sama sepakat atas suatu perkara, dan saya khawatir jika menyalahi mereka, takkan bertemu lagi dengan mereka untuk selama-lamanya.” Lalu sambil berdoa menegadahkan tangan ia berucap, “Ya Allah, Engkau  mengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepadaMu tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraisy memperebutkan dunia ini.”

Kaum muslim berdoa, “Ya Tuhan kami, lanjutkanlah kiranya usia Ibnu Umar sebagaimana Allah melanjutkan usiaku, agar aku dapat mengikuti jejak langkahnya, karena aku tidak mengetahui seorang pun yang menghirup dari sumber pertama selain Abdullah bin Umar.” Namun, Allah berkehendak lain dan memanggilnya pada suatu hari di tahun 73 Hijriah pada usia 80 tahun.


Salam untukmu ya Abdullah bin Umar, Semoga Allah meridhoimu dan menempatkanmu di tempat yang tinggi bersama para sahabat Rasulullullah Shallallahu Alaihin Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Taubatnya Sang Pencuri Kain Kafan