Sewaktu Rasulullah Shalllallahu Alaihi Wassalam meminta
beberapa sahabatnya hijrah ke Habsyi (Ethiopia), Jafar bin Abi Thalib
mengajukan diri bersama istrinya, Amma
binti Umais. Maka berangkatlah sebagian kaum muslimin ke sana. Namun, hal ini
tidak menyenangkan hati kaum Quraisy.
Pemimpin Quraisy mengirim dua orang utusan yang akan dikirim
kepada kaisar Negus di Habsyi dengan membawa hadiah-hadiah berharga agar mau
mengusir kaum muslimin. Dua orang utusan itu adalah Abdullah bin Abi Rabiah dan
Amar bin Ash yang kala itu belum masuk Islam.
Sebelum bertemu kaisar, kedua utusan Quraisy terlebih dahulu
bertemu Patrik dan Uskup gereja agar memberi dukungan kepada mereka. Kaisar
Negus kala itu adalah penganut nasrani yang taat. Maka hadiah-hadiah yang
banyak pun sampailah kepada pemuka-pemuka agama di sana, termasuk untuk kaisar
Negus.
Kaisar kemudian mengundang dua utusan Qiuraisy dan tak lupa pula mengundang kaum muhajirin.
Mereka duduk satu ruangan bersama para pemuka agama dan petinggi istana. Maka
dimulailah tuduhan dari kedua utusan Quraisy kepada kaum muslimin di hadapan
kaisar.
“Baginda Raja yang mulia, telah menyasar ke negeri paduka
orang-orang bodoh dan tolol. Mereka tinggalkan aagama nenek moyang mereka, tapi
tidak pula hendak memasuki agama paduka. Bahkan mereka dating membawa agama
baru yang mereka ada-adakan, yang tak pernah kami kenal, dan tidak pula oleh
paduka. Sungguh kami telah diutus oleh
orang-orang mulia dan terpandang di antara bangsa dan bapak-bapak mereka,
paman-paman mereka, keluarga-keluarga mereka, agar paduka sudi mengembalikan orang-orang
ini kepada kaumnya kembali.”
Negus lalu bertanya kepada kaum muslimin, “Agama apakah itu
yang menyebabkan kalian meninggalkan bangsa kalian, tapi tak memandang perlu
pula kepada agama kami?”
Jafar pun bangkit. Ia yang dengan perawakan tampan dan
banyak yang mengatakannya sangat mirip Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam
dalam hal ujud tubuh, sikap dan budi pekertinya, berkata kepada kaisar Negus.
“Wahai paduka yang mulia, dahulu kami memang orang-orang
jahil dan bodoh. Pekerjaan-pekerjaan keji, memutuskan silaturahim, menyakiti
tetangga dan orang yang berhampiran. Orang yang kuat memakan orang yang lemah,
hingga datanglah masanya Allah mengirimkan RasulNya kepada kami dari kalangan
kami. Kami kenal asal-usulnya, kejujuran, ketulusan dan kemuliaan jiwanya. Ia
mengajak kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri padaNya dan agar
membuang jauh-jauh apa yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu
berupa batu-batu dan berhala. Beliau menyuruh kami bicara benar, menunaikan
amanah, menghubungkan silaturahim, berbuat baik kepada tetangga dan menahan
diri dari menumpahkan darah serta semua yang dilarang Allah.”
Jafar melanjutkan, “Dilarangnya kami berbuat keji dan zina,
mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh berbuat jahat
terhadap wanita yang baik-baik. Lalu kami benarkan dia dan kami beriman
kepadanya, dan kami ikuti dengan taat apa yang disampaikannya dari Tuhannya.
Lalu kami beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak kami persekutukan
sedikit pun juga, dan kami halalkan apa yang dihalalkanNya untuk kami.
Karenanya, kaum kami sama memusuhi kami, dan menggoda kami dari agama kami agar
kami kembali menyembah berhala lagi, dan kepada perbuatan-perbuatan jahat yang
pernah kami lakukan dulu. Maka sewaktu mereka memaksa dan menganiaya kami dan
menggencet hidup kami, dan menghalangi kami dari agama kami, kami keluar hijrah
ke negeri paduka, dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka dan
terhidar dari perbuatan-perbuatan aniaya mereka.”
Kaisar terkesima mendengar penjelasan Jafar lalu ia bertanya
lagi, “Apakah anda membawa sesuatu (wahyu) yang diturunkan atas Rasulmu itu”
Jawab Jafar, “Ada.” Kaisar berkata, “Cobalah bacakan
kepadaku.”
Jafar lalu membacakan bagian dari surat Maryam dengan khusyu
dan merdu. Mendengar ayat-ayat tersebut kaisar Negus mencucurkan air mata.
Begitu pula para pendeta dan pembesar-pembesar istana. Jafar membenarkan wahyu yang telah dibawa
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam serta berkata kepada utusan Quraisy,
“Sesungguhnya apa yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa as sama memancar
dari satu pelita. Kemu keduanya dipersilahkan pergi. Demi Allah kami tak akan
menyerahkan mereka kepada kamu.”
Maka bubarlah pertemuan itu dan kedua utusan Quraisy harus
kembali. Namun, Amr bin Ash tak kekurangan akal licik. “Demi Allah besok aku
akan kembali menemui Negus, akan kusampaikan kepada baginda
keterangan-keterangan yang akan memukul kaum muslimin dan membasmi urat akar
mereka.”
Sahabatnya mengatakan, “Jangan lakukan itu, bukankah kita
masih ada hubungan keluarga dengan mereka, sekalipun mereka berselisih paham
dengan kita.” Amr menjawab, “Demi Allah, akan kuberitakan kepada Negus, bahwa
mereka mendakwakan Isa anak Maryam itu manusia biasa seperti manusia yang
lain.”
Keesokan harinya, kembali kedua utusan Quraisy itu kembali
menghadap kaisar Negus, “Wahai Sri Paduka, orang-orang Islam itu telah
mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan kedudukan Isa.” Para pendeta dan
kaum agama gempar serta menggoncangkan hati Negus. Mereka lalu memanggil orang Islam
sekali lagi untuk mempertanyakan pandangan Islam mengenai Isa Al Masih.
“Bagaimana pandangan kalian terhadap Isa?” Jafar bangkit
lagi dan mengatakan, “Kami akan mengatakan tentang Isa as sesuai dengan
keterangan yang dibawa Nabi kami
Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.” Jafar lalu membacakan salah satu ayat Al
Quran.
“Ia adalah seorang hamba Allah dan RasulNya serta kalimahNya
yang ditiupkanNya kepada Maryam dan ruh daripadaNya.” QS An Nissa 4:171
Negus mengatakan memang demikianlah yang dikatakan Al Masih
mengenai dirinya. “Silakan anda sekalian tinggal bebas di negeriku. Dan siapa
berani mencela dan menyakiti anda, maka orang itu akan mendapat hukuman yang
setimpal dengan perbuatannya itu.”
Negus lalu berkata kepada pemuka agama dan pembesar–pembesar kerajaannya. “Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini.
Aku tak membutuhkannya. Demi Allah, Alah tak pernah mengambil uang sogokan
daripadaku, di kala ia mengaruniakan tahta ini kepadaku, karena itu aku pun tak
akan menerimanya dalam hal ini.”
Demikianlah kisah para muslimin di Habsyi. Kedua utusan pun
kembali ke Mekah dengan tangan hampa, sementara Jafar bersama kaum muslim yang
baru memulai kehidupan baru di Ethiopia.
Kembali Dari Habsyi
Kala Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam sedang
bersukaria atas kemenangan jatuhnya
Khaibar, tiba-tiba muncullah Jafar bin Abi Thalib kembali dari Ethiopia. Nabi
SAW begitu bergembira atas kedatangannya. “Aku tak tahu, entah mana yang lebih
menggembirakanku, apakah dibebaskannya Khaibar atau kembalinya Jafar.”
Jafar menjadi bersemangat karena ia melewatkan kisah
perjalanan kaum muslim menghadapi kaum kafir yang telah ia lewatkan selama
tinggal di Ethiopia. Ia melewatkan perang Badar, Uhud, Khandak dan lainnya.
Hatinya pun menjadi rindu akan pergi berperang dan menjadi syuhada.
Maka saat perang Muktah, Jafar tampil mengajukan diri untuk
turut berperang. Perang kali ini akan menjadi perang besar karena harus
menghadapi puluhan ribu tentara Romawi. Jafar diangkat menjadi pemimpin kedua
dari tiga serangkai kepemimpinan perang, yaitu bersama Zaid bin Haritsah, dan Abdullah
Ibnu Rawahah.
Syahid di Perang Muktah
Pasukan Romawi sebanyak 200 ribu telah berhadap-hadapan
dengan tentara muslimin yang jumlahnya tak sebanding. Sewaktu panji kepemimpinan terlepas dari Zaid
Bin Haritsah, Jafar menggantikan komandan pasukan. Ia terus menyerbu ke
tengah-tengah pasukan musuh. Ia menebas
dengan pedangnya, sampai akhirnya kudanya pun mati. Jafar turun dan terus
berperang.
“Wahai surga yang kudambakan mendiaminya.
Harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya.
Tentara Romawi telah menghampiri liang kuburnya.
Terhalang jauh dari sanak keluarganya.
Kewajibankulah menghantamnya jala menjumpainya.”
Panji bendera Islam dikepit di pangkal lengannya. Ia terus
melawan musuh, sampai badannya tercabik-cabik. Bahkan sampai ia jatuh dan tak
lagi berdaya, bendera itu masih dipegangnya.
Sampai segera bendera itu dipegang oleh komandan selanjutnya, Abdullah
Ibnu Rawahah. Pria yang dijuluki Si Burung Surga ini akhirnya gugur sebagai
syuhada, seperti harapannya.
Hasan bin Tsabit mengutarakan syair mengenai sepupu
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam ini,
“Maju prajurit memimpin sepasukan mumin
Menempuh maut menghadap ridho Rabul Alamin
Putra Bani Hasyim yang cemerlang bak cahaya purnama
Menyibak kegelapan tiran nan aniaya
Menyabet dan menebas setiap penyerang
Akhirnya jatuh syahid sebagai pahlawan
Disambut para syuhada yang pergi lebih dahulu
Di sura naim yang menjadi idaman setiap kalbu
Alangkah besarnya pengorbanan Jafar bagi Islam
Dalam menyebarluaskan ke seluruh alam
Selama ada pejuang seperti putra Bani Hasyim ini
Pasti Islam menjadi anutan penduduk bumi.”
Sesudah Hasan bin Tsabit bangkit pula Kaab bin Malik, yang mengucapkan
syairnya yang bernilai:
“Kemuliaan tertumpah atas pahlawan yang susul menyusul
Di perang Muktah, tak tergoyahkan bersusun bahu membahu
Curahan Rahmat kiranya membasuh tulang belulang mereka
Tabah dan sabar, demi Tuhan rela mempertaruhkan nyawa
Setapak pun tak hendak undur, menentang setiap bahaya
Panji perang di tangan Jafar sebagai pendahulu
Menambah semangat tempur bagi setipa penyerbu
Kedua teras pasukan berbenturan baku hantam
Jafar dikepung musuh sabet kiri terkam kanan
Tiba-tiba bulan purnama redup kehilangan jiwanya.
Sang surya pun gerhana ditinggalkan pahlawannya.”
Si pemurah itu telah pergi. Jafar, si Bapak orang miskin
telah memenuhi panggilan berjuang di
jalan Allah. Abdullah Ibnu Umar berkata, “Aku sama-sama terjun di perang Muktah
dengan Jafar. Waktu kami mencarinya, kami dapati ia beroleh luka bekas tusukan
dan lembaran lebih dari 90 tempat.”
Rasullullah Shallallahu Alaihi Wassalam menyabdakan mengenai
Jafar Si Bersayap Dua di surga ini, “Aku melihatnya di surga kedua bahunya yang
penuh dengan bekas-bekas cucuran darah penuh dihiasi dengan tanda-tanda
kehormatan.”
Salam untukmu Jafar bin Abi Thalib. Salam untukmu para
syuhada.
Alhamdulillah
Kisah sahabat lainnya:
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 8: Abu Dzar Al Ghifari
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 9: Hudzaifah ibnul Yaman
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 10: Miqdad Bin Amr
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 11: Bilal bin Rabah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 12: Zaid bin Haritsah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 13: Khubaib bin Adi
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 14: Abbas bin Abdul Muttalib
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 15: Abdullah bin Umar
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 16: Jafar bin Abi Thalib
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 17: Khalid bin Walid
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 18: Ammar bin Yasir
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 19: Abu Hurairah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 20: Utbah bin Ghazwan
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 17: Khalid bin Walid
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 18: Ammar bin Yasir
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 19: Abu Hurairah
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 20: Utbah bin Ghazwan
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 21: Saad bin Abi Waqqash
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 22: Khalid bin Said bin Ash
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 23: Ubadah bin Shamit
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 22: Khalid bin Said bin Ash
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 23: Ubadah bin Shamit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar