Pertempuran sengit di Persia sungguh membuat gelisah Amirul
Mukminin, Umar bin Khattab. Pertempuran Jembatan di Irak telah merenggut empat
ribu kaum muslimin yang terjadi hanya dalam waktu sehari. Orang-orang Irak telah melanggar perjanjian-perjanjian
yang mereka buat. Sudah tak bisa lagi
khalifah tinggal diam dan harus mengangkat senjata melawan Persia.
Berangkatlah Umar bin Khattab bersama sahabat meninggalkan
Madinah dan mempercayakan kota nabi itu kepada Ali Bin Abi Thalib. Namun, belum
terlalu jauh pergi, sebagian anggota rombongan berpendapat bahwa sebaiknya
Amirul Mukminin tetap di Madinah dan mempercayakan kepepimpinan melawan Persia
kepada orang lain.
Abdurahman bin Auf mengusulkan agar
Amirul Mukminin tetap di Madinah karena menuju ke Irak akan menyia-nyiakan
nyawanya. Maka Umar menyuruh berkumpul kaum muslimin untuk bermusyawarah. Ali
bin Abi Thalib juga ikut datang. Umar
bertanya kepada kaum muslimin siapa kiranya yang akan dikirim ke Persia.
Tiba-tiba Abdurahman bin Auf berkata, “Saya telah menemukannya.” Umar bertanya,
“Siapa dia?”
Jawab Abdurahman, “Singa yang
menyembunyikan kukunya, yaitu Saad bin
Malik az Zuhri.”
Pilihan Abdurahman bin Auf langsung
disetujui kaum muslimin dan khalifah Umar. Maka dipilihkan Saad bin Malik az
Zuhri atau lebih dikenal dengan nama Saad bin Abi Waqqash. Ia dipiih menjadi
amir atau gubernur militer di Irak.
Panah dan Doa
Siapakah orang yang dijuluki singa
yang menyembunyikan kukunya itu? Saat
datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, Beliau mengatakan, “Ini
dia pamanku. Siapa orang yang punya paman seperti pamanku?”
Kakek Saad adalah putra dari Manaf
yang menjadi paman dari Aminah, ibunda Rasulullah SAW. Saad masuk Islam kala
berusia 17 tahun. “Saya beroleh kesempatan termasuk tiga orang pertama yang masuk
Islam,” demikian Saad menjelaskan keislamannya.
Saad termasuk yang pertama masuk
Islam atas usaha Abu Bakar, selain Ustman bin Affan, Zubair bin Awwam, dan
Abdurahman bin Auf serta Thalhah bin Ubaidillah. Banyak keistimewaan dari Saad,
selain sebagai orang yang pertama melempar dan terkena panah atas nama Islam,
ia juga salah seorang sahabat yang oleh Rasulullah SAW dijamin dengan jaminan
kedua orang tua Nabi. Bersabda Nabi SAW kala perang Uhud, “Panahlah hai Saad,
Ibu Bapakku menjadi jaminan bagimu!”
Saad termasuk seorang ksatria
berkuda Arab dan muslimin yang berani. Suatu hari Rasulullah SAW mendoakannya,
“Ya Allah, tepatkanlah bidikan panahnya dan kabulkanlah doanya.”
Dua hal itu, bidikan panah dan doa
Saad adalah kelebihan, yang juga disadari sepenuhnya oleh Saad sendiri. Amin
bin Saad suatu kali bercerita:
“Saad mendengar seorang laki-laki
memaki Ali, Thalhah dan Zubair. Ketika dilarangnya, orang itu tak hendak
menurut, maka katanya, “Kalau begitu, saya doakan kamu kepada Allah.”
Laki-laki itu berujar, “Rupanya
kamu hedak menakut-nakuti aku, seolah-olah kamu seorang Nabi.”
Saad lalu pergi dan berwudhu untuk sholat dua
rakaat. Ia mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, kiranya menurut
ilmu-Mu laki-laki ini telah memaki segolongan orang yang telah beroleh kebaikan
dari-Mu dan tindakan mereka itu mengundang amarah-Mu, maka mohon dijadikan hal
itu sebagai pertanda dan suatu pelajaran.”
Tak lama kemudian tiba-tiba dari
salah satu pekarangan rumah, muncul seekor unta liar dan tanpa dapat dibendung masuk
ke dalam lingkungan orang banyak seolah-olah ada yang dicarinya. Lalu
diterjangnya laki-laki tadi, dibawanya dengan kakinya, menjadi bulan-bulanan
onta itu, diinjaknya serta diterjangnya sehingga akhirnya tewas menemui
ajalnya.”
Demikianlah Allah telah menjawab
doa Saad.
Saad termasuk orang yang memiliki
kelapangan dalam hal harta. Ia memiliki harta yang tidak sedikit, padahal
termasuk mereka yang selalu mencari sesuatu yang halal. Saad selalu berusaha
memakan makanan yang didapat secara halal. Walaupun kaya harta, Saad termasuk
yang ahli dalam membersihkan hartanya itu.
Saat haji wada, Saad ikut bersama
Rasulullah SAW dan ia jatuh sakit. Nabi pun menengoknya. Saad bertanya, “Wahal
Rasulullah, saya punya harta dan ahli warisku hanya seorang putri saja.
Bolehkah saya sadaqohkan dua pertiga hartaku?”
“Tidak,” jawab Nabi SAW.
“Kalau begitu separuhnya,” tanya
Saad pula.
“Jangan,” jawab Nabi SAW.
“Jadi sepertiga?” tanya Saad lagi.
“Benar, dan sepertiga pun sudah
banyak, lebih baik anda meninggalkan ahli waris dalam keadaan mampu daripada
membiarkan ahli waris dalam keadaan miskin dan menadahkan tangannya kepada
orang lain. Dan setiap nafkah yang anda keluarkan dengan mengharap ridha Allah,
pastilah akan diberi ganjaran, bahkan walau sesuap makanan yang anda taruh di
mulut istri anda.”
Kala itu Saad memiliki seorang
putri, lalu beberapa waktu setelahnya, ia dikaruniani beberapa orang putra.
Saad juga orang yang mudah
menangis. Jika mendengar Rasulullah Shalllallhu Alaihi Wassalam berceramah dan
menasehati umat, air matanya bercucuran. Pada suatu hari, Rasulullah SAW tengah
duduk-duduk bersama para sahabat, tiba-tiba Beliau menatap dan menajamkan
pandangannya kea rah ufuk seperti sedang menunggu kata-kata atau bisikan
rahasia. Nabi kemudian menengok kepada para sahabat dan bersabda, “Sekarang
akan muncul di hadapan tuan-tuan seorang laki-laki penduduk surga.”
Para sahabat pun menengok ke arah
yang ditunjuk sambil bertanya-tanya siapa gerangan yang disebutkan Rasulullah
SAW itu. Tak berapa lama muncullah Saat bin Abi Waqqash.
Suatu kali Abdullah bin Amr bin Ash
datang kepada Saad untuk bertanya amalan ibadah apa yang sering dilakukannya. Saad
menjawab, “Tak lebih dari amal ibadah yang biasa kita kerjakan, hanya saja saya
tak pernah menaruh dendam atau niat jahat terhadap seorang pun di antara kaum muslimin.”
Itulah Saad bin Abi Waqqash yang
terpilih sebagai pemimpin militer oleh Khalifah Umar untuk pergi ke pertempuran
Qadisiyah di Persia. Ia seorang yang makbul doanya, seorang yang hati-hati
dalam memakan sesuatu yang halal, seorang ahli berkuda sejak perang Uhud,
seorang yang kuat dan tebal imamnya sehingga tak mudah goyah.
Saat Awal Masuk Islam
Umar teringat mengenai kisah Saad
dengan ibunya. Sang ibu yang begitu dicintainya menghalangi si putra dengan
sekuat tenaganya agar tak memeluk agama Islam. Ia bahkan melakukan mogok makan.
Namun, Saad tak bergeming. Sampai suatu hari saat keadaan sang ibu sudah sangat
lemah, seseorang menjemput Saad agar mengunjungi ibunya. Barangkali dengan
melihat ibu itu, hati Saad menjadi luluh dan meninggalkan agama Islam.
Maka datanglah Saad kepada ibunya
yang terkulai lemah. Hati Saad begitu teriris menyaksikan pemandangan yang
dilihatnya. Namun, hatinya tetap teguh dengan tauhid. Perlahan dengan penuh
kelembutan, ia berbisik kepada sang ibu…
“Demi Allah, ketahuilah wahai
ibunda, seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu per satu,
tidaklah ananda akan meninggalkan agama ini, walau ditebus dengan apapun juga,
maka, terserahlah kepada bunda, apakah bunda akan makan atau tidak…”
Kali ini hati ibunya luluh. Beriringan
dengan peristiwa ini, turun ayat yang mendukung pendirian Saad:
“Dan seandainya kedua orang tua
memaksamu untuk mempersekutukan Aku, padahal itu tidak sesuai dengan
pendapatmu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” QS Lukman 31:15
Menaklukkan Persia
Saad datang ke Persia membawa 30
ribu pasukan. Masing-masing membawa panah dan tombak. Setiba di sana, Saad
menerima surat dari Khalifah Umar yang isinya:
“Wahai Saad bin Wuhaib, janganlah
anda terpedaya di hadapan Allah, mentang-mentang dikatakan bahwa anda adalah
paman dan sahabat Rasulullah. Sungguh, tak ada hubungan keluarga antara
seseorang dengan Allah kecuali dengan mentaati-Nya. Semua manusia baik yang
mulia maupun yang hina, pada pandangan Allah serupa tidak berbeda. Allah Tuhan
mereka, sedang mereka hamba-hambaNya. Mereka berlebih berkurang dalam kesehatan
dan akan beroleh karunia yang tersedia di sisi Allah dengan ketaatan. Maka
perhatikanlah segala sesuatu yang pernah anda lihat pada Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassalam semenjak ia diutus sampai meninggalkan kita dan pegang
teguhlah, karena itulah yang harus diikuti.
Tulislah kepadaku segala hal ikhwal
tuan-tuan, bagaimana kedudukan tuan-tuan, dan dimana pula posisi musuh terhadap
tuan-tuan, terangkan sejelas-jelasnya, hingga seolah-olah aku menyaksikan
sendiri keadaan tuan-tuan.”
Saad yang telah sampai ke Qadisiyah
menulis surat balasan kepada Khalifah Umar, menceritakan keadaan masyarakat
Persia kala itu. Pasukan musuh telah berkumpul, sesuatu hal yang belum pernah
mereka lakukan sebelumnya, di bawah pimpinan mereka yang paling ulung, Rustum.
Khalifah Umar menulis surat kembali
kepada Saad:
“Sekali-kali janganlah anda gentar
mendapat berita dan persiapan mereka. Bermohonlah kepada Allah dan tawakallah
kepada-Nya dan tabah untuk menyeru mereka ke jalan Allah. Dan, tulislah surat
kepadaku setiap hari.”
Lalu Saad kembali mengirim surat
kepada Umar bin Khattab. Ia menyampaikan bahwa Rustum telah menduduki Sabath
dengan mengerahkan pasukan gajah dan kuda. Mereka semakin mendekat kepada kaum
muslimin. Khalifah Umar pun kembali
mengirim surat untuk meneguhkan hati Saad.
Pesan Umar dilaksanakan oleh Saad.
Ia mengirim sejumlah rombongan sebagai utusan kepada Rustum untuk menyeru
kepada Islam. Tanya jawab para utusan itu dengan Rustum pun berlangsung lama.
Sampai pada akhirnya, para utusan itu tak lagi boleh berbicara setelah salah
seorang mengatakan:
“Sesungguhnya Allah telah memilih
kami untuk membebaskan hamba-hambaNy a yang dikehendaki-Nya dari pemujaan
berhala kepada pengabdian terhadap Allah Yang Maha Esa, dari kesempitan dunia
kepada keluasannya, dan dari kedhaliman
pihak penguasa kepada keadilan Islam.
Maka siapa-siapa yang bersedia
menerima itu dari kami, kami terima pula kesediannya dan kami biarkan mereka.
Tetapi siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka sehingga kami
mencapai apa yang telah dijanjikan Allah.”
“Apa yang dijanjikan Allah itu?”
Tanya Rustum.
Mereka menjawab, “Surga bagi kami
yang mati syahid, dan kemenangan bagi yang masih hidup.”
Para utusan pun kembali kepada Saad
dan mengatakan bahwa sudah tak ada pilihan lain selain perang. Air mata Saad
langsung berlinang. Ia sangat berharap pertempuran dapat diundur sedikit waktu
karena dirinya sedang sakit yang menyebabkannya sulit bergerak. Seluruh tubuh
Saad sedang ditumbuhi semacam bisul yang membuatnya tak kuat duduk apalagi di
punggung kudanya. Namun, hal kecil itu tak pernah menyurutkannya.
Saad tampil di hadapan pasukannya
dan menyampaikan pidato perjuangan dengan mengutip sebuah ayat:
“Bismillahi rahmaani rahiim… Telah
Kami cantumkan dalam Zabur setelah sebelumnya Kami catat dalam (Lauh Mahfuz)
peringatan bahwa bumi itu diwarisi oleh hamba-hambaKu yang sholeh.” QS Al
Anbiya 105
Setelah menyampaikan pidatonya,
Saad sholat zuhur bersama tentaranya. Ia lalu bertakbir dan menyeru pasukannya
ke medan perang. “Ayo maju dengan berkat dari Allah!”
Sambil menahan sakit yang
dideritanya, diderunya kuda dengan cepat, tanpa gentar. Dikomandoi pasukan, “Majulah
ke kanan!... Tutup pertahanan sebelah kiri!... Awas didepanmu Mughirah!... Ke
belakang mereka Jarir!... Pukul hai
Muman!... serta hai Asy’ats!... Hantam hai Qaqa!... Majulah semua
sahabat-sahabat Muhammad!”
Maka musuh yang banyak jumlahnya
bertumbangan. Prajurit mereka bergelimpangan. Tewas pula panglima mereka yang
ditakuti. Sisa-sisa musuh lari tunggang langgang lalu dikejar oleh tentara
Islam sampai ke Nahawand dan Madain. Pasukan muslim memasuki Madain untuk merebut
dan pada akhirnya menguasai mahkota Kisra.
Pertempuran Madain terjadi kira-kra
selama dua setengah tahun setelah pertempuran Qadisiyah dengan bentuk
perang-perang kecil antara kaum muslimin dengan tentara Persia. Tinggal sisa-sisa tentara Persia yang bertahan
di Madain.
Terbentang di hadapan tentara
muslim kala itu sungai Tigris sebagai penghalang ke kota Madain. Namun,
disinilah mengapa Saad dipanggil sebagai singa yang menyembunyikan kukunya. Pada saat genting, ia mampu memberi keputusan
yang lihai, langsung menyerang di kala mental pasukan musuh sedang turun.
Bagaimana Saad melakukan
pertempuran melewati sungai Tigris yang besar dan dalam? Ia mengirim dahulu dua
kompi pasukan sebelum mengirim pasukan inti. Kompi pertama adalah kompi sapujagat dipimpin Ashim
bin Amr dan yang kedua kompi gerak cepat dipimpin Qaqa bin Amr. Kedua kompi ini
menerjuni bahaya dengan menetas jalan menuju pinggir kota. Mereka melindungi
pasukan inti dengan tugas yang luar biasa.
Sahabat Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam yang juga berasal dari Persia, Salman al Farisi, sungguh tak
percaya dengan taktik yang dilakukan Saad. Ia berkata:
“Agama Islam masih baru, tetapi
lautan telah dapat mereka taklukkan sebagai halnya daratan telah mereka kuasai.
Demi Allah yang nyawa Salman berada
dalam tanganNya, pastilah mereka akan dapat keluar dengan selamat daripadanya
berbondong-bondong, sebagaimana mereka telah memasukinya berbondong-bondong,”
Sebuah riwayat sejarah melukiskan
bagaimana dashyatnya penyeberangan sungai Tigris itu:
“Saad memerintahkan kaum muslimin
agar membaca: hasbunallahu wa nimal wakiil – cukuplah bagi kita Allah, dan
Dialah sebaik-baik pemimpin. Lalu dikerahkanlah kudanya menerjuni sungai yang
diikuti orang-orangnya, sehingga tak seorangpun di antara anggota pasukan yang
tinggal di belakang.
Maka berjalanlah mereka dalam air,
tak ubahnya bagai berjalan di darat juga, hingga dari pinggir yang satu ke
pinggir yang lainnya telah dipenuhi oleh
prajurit, dan permukaan air tak kelihatan lagi disebabkan amat banyaknya
anggota angkatan berkuda serta pasukan pejalan kaki. Orang-orang bercakap-cakap
sesamanya ketika berada dalam air, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap di
darat. Sebabnya tidak lain karena mereka merasa aman tentram serta percaya akan ketentuan Allah dan
pertolonganNya akan janji dan bantuanNya.”
Kembali ke
Madinah
Usai
pertempuran-pertempuran itu, Saad menjadi
amir di Irak dan membangun kota Kuffah. Ia melaksanakan hukum Islam di daerah
yang luas. Suatu kali warga Kuffah yang tabiatnya suka mengadu domba mengadukan
perihal Saad kepada Umar bin Khattab. Mereka mengatakan sholat Saat tidak baik
karena dua rakaat pertama lebih panjang dibanding yang kedua.
Sambil tertawa
Saad berkata, “Demi Allah, yang saya lakukan hanyalah mengerjakan sholat
bersama mereka sebagai sholat Rasulullah, yaitu memanjangkan dua rakaat yang
mula-mula dan memendekkan dua rakaat yang akhir.”
Saad dipanggil Umar ke Madinah dan
ia memenuhinya. Saat akan ditugaskan kembali
ke Kuffah, Saad berkata, “Apakah anda hendak mengembalikan saya kepada kaum
yang menuduh bahwa sholat saya tidak baik?” Demikianlah, Saad memilih untuk
tetap tinggal di Madinah.
Menjelang akhir hidupnya, khalifah Umar pernah berkata mengenai calon khalifah yang akan
menggantikannya kelak. “Jika khalifah
dijabat oleh Saad, demikianlah sebaiknya. Dan seandainya dijabat oleh lainnya,
hendaklah ia menjadikan Saad sebagai pendampingnya.”
Menyiapkan Kain Kafan
Saad hidup sampai usia lanjut. Ia
masih hidup saat fitnah besar mulai terjadi. Namun, Saad tak berkehendak
mencampurinya. Ia juga berpesan kepada keluarga dan putra-putranya agar tidak
menyampaikan suatu berita mengenai hal itu.
Suatu hari datanglah anak
saudaranya bernama Hasyim bin Utbah berkata kepadanya, “Paman, disini telah
siap seratus ribu bilah pedang, yang menganggap bahwa pamanlah yang lebih
berhak mengenai urusan khilafah ini.”
Saad berkata, “Dari seratus ribu
belah pedang itu saya inginkan sebilah pedang saja. Jika saya tebaskan kepada
orang mukmin maka takkan mempan sedikipun juga, tetapi bila saya pancungkan
kepada orang kafir pastilah putus batang lehernya.” Hasyim pun terdiam dan
meninggalkannya.
Saat khilafah akhirnya jatuh kepada
Muawiyah, Saad ditanya, “Kenapa anda tidak ikut berperang di pihak kami?”
Saad berkata, “Saya sedang lewat di
suatu tempat yang dilanda taufan berkabut gelap. Maka kataku: Hai
saudara-saudaraku! Lalu saya hentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali. “
Muawiyah berkata, “Bukankah dalam Al
Quran taka da kata-kata, hai saudara-saudaraku. Hanya firman Allah taala: “Jika
di antara orang-orang mukmin ada dua golongan yang berbunuhan, maka damaikanlah
mereka. Seandainya salah satu di antara kedua golongan itu berbuat aniaya
kepada yang lain, maka perangilah yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali
kepada perintah Allah.” QS Al Hujurat 9.
Maka, anda bukanlah di pihak yang
aniaya terhadap pihak yang benar, dan bukan pula di pihak yang benar terhadap
golongan yang aniaya.”
Saad menjawab berikut:
“Saya tak hendak memerangi seorang
laki-laki (maksudnya Ali) yang mengenai dirinya Rasulullah pernah bersabda: “Engkau
di sampingku, tak ubahnya seperti kedudukan Harun disamping Musa, tetapi tak ada lagi nabi sesudahku.”
Suatu hari tahun 54 hijriah saat
Saad telah berusia lebih dari 80 tahun ia sedang di rumahnya di Aqiq. Seorang putranya
berkata, “Kepala bapakku berada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal dunia.
Aku menangis, maka katanya: Kenapa engkau menangis anakku? Sungguh Allah tiada
akan menghukumku dan sesungguhnya aku termasuk salah seorang penduduk surga.”
Tidak akan disiksa dan akan menjadi
penduduk surga seperti yang dikabarkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam
tentang Saad. Seperti itulah apa yang telah dipercayanya. Walaupun ia harus
menunggu sehingga lebih dari 80 tahun sampai ajal itu tiba. Siapakah lagi yang
tak bahagia saat maut yang ditunggu-tunggu itu datang menjemput?
Saad telah menyimpan sehelai kain
tua dalam sebuah peti untuk mengkafaninya saat telah wafat. Rupanya hanya
sehelai kain tua usang yang dikenakannya kala perang Badar. Ia berkata, “Telah
kuhadapi orang-orang musyrik waktu perang Badar dengan memakai kain itu dan
telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan seperti pada hari ini.”
Saad adalah salah seorang yang
pertama-tama masuk Islam, dan ia termasuk yang terakhir meninggal di antara
kaum muhajirin yang pertama kali bersusah payah hijrah ke Madinah. Ia telah
meninggalkan dunia dengan tenang untuk bertemu dengan para penduduk surga yang dirindukan. Pada pundak penduduk Madinah dibawa jasadnya
dan dikuburkan di pemakaman Baqi.
Salam untukmu Saad bin Abi Waqqash,
pahlawan muslim di tanah Persia. Semoga Allah meridhoimu.