Saat orang belum lagi mengenal Islam, Hamzah bin Abdul
Mutthalib termasuk orang yang pertama dipanggil dalam iman. Hamzah adalah paman
dan saudara sesusuan Rasulullah SAW. Hamzah dan Rasulullah SAW besar
bersama-sama. Ia gemar dan mahir dalam berburu.
Sebagai keturunan Quraisy, Hamzah juga suka duduk dan berkumpul bersama
keluarga dan pembesar-pembesar suku itu.
Suatu hari saat pulang berburu, ia mampir ke Kabah untuk
thawaf. Seorang pelayan wanita Abdullah bin Jud’an segera menghampirinya.
“Wahai Abu Umarah (panggilan Hamzah), seandainya anda melihat apa yang dialami
oleh keponakan anda Muhammad SAW baru-baru ini! Abul Hakam bin Hisyam ketika
mendapati Muhammad sedang duduk disakitinya dan dimakinya, hingga mengalami
hal-hal yang tak diinginkan!”
Hamzah naik darah. Membawa busur panahnya, ia hendak pergi
mencari Abu Jahal. Belum lagi beranjak dari Kabah ia telah mendapati Abu Jahal
di sana. Sambil memegang busur panahnya, ia memukul kepala Abu Jahal hingga
lecet.
“Kenapa kamu cela dan kamu maki Muhammad SAW padahal aku
telah menganut agamanya dan mengatakan apa yang dikatakannya? Nah, cobalah
ulangi kembali makianmu itu kepadaku jika kamu berani!”
Orang-orang yang berada di sekitar mereka terkejut. Benarkan
Hamzah telah menjadi Islam?
Hamzah pulang ke rumah setelah kejadian itu. Ia merenung tak
habis pikir tentang apa yang baru saja ia ucapkan. Rasa marah karena
keponakannya telah disakiti membuatnya begitu saja mengatakan keislaman karena
tak rela Rasulullah SAW terluka. Mungkinkah ia menerima agama baru begitu saja
padahal saat itu ia sedang marah.
Tatkala dirasakan bahwa akal pikirannya tak berdaya, maka
dengan ikhlas dan tulus hati ia pun pergi berlindung kepada yang ghaib. Di sisi
Kabah, sambil wajahnya menengadah ke langit, dan dengan minta pertolongan
kepada segala kudratdan nur yang terdapat di alam wujud ia memohon dan berdoa
agar memperoleh petunjuk.
“Kemudian timbullah sesal dalam hatiku karena meninggalkan
agama nenek moyang dan kaumku… dan aku pun diliputi kebingungan hingga mata tak
pernah tidur… Lalu pergilah aku ke Kabah dan memohon petunjuk Allah agar
membukakan hatiku untuk menerima kebenaran dan melenyapkan segala keraguan.
Maka Allah pun mengabulkan permohonanku itu dan memenuhi hatiku dengan
keyakinan.
Aku pun segera menemui Rasulullah dan memaparkan keadaanku
padanya, maka didoakannya kepada Allah agar ditetapkanNya hatiku dalam
agamaNYa.”
Allah menguatkan agama Islam dengan Hamzah dan sebagai batu
karang yang kukuh menjulang ia membela Rasulullah SAW dan sahabatnya yang
lemah. Melihat Hamzah berada di pihak Rasulullah, Abu Jahal semakin gencar
melancarkan serangan kepada muslimin dan bersiap melakukan perang saudara. Apalagi
juga setelah Umar bin Khatab masuk Islam.
Ketegaran Hamzah memimpin sariyah, pasukan tentara Islam
telah membuktikan kekokohan hatinya. Panji-panji Islam pertama yang diserahkan
Rasululah SAW adalah kepada Hamzah, sehingga ia dijuluki Singa Padang Pasir, Singanya
Allah dan Rasulullah.
Perang pertama kali terhadap kaum kafir Quraisy, Perang
Badar yang terjadi pada Ramadan 2
Hijriah, Hamzah diutus Rasulullah duel satu orang satu dengan pasukan kafir. Waktu
itu ada tiga utusan adu duel yaitu Ubaidah ibn al Harits, Hamzah dan Ali. Sementara di pasukan kafir ada Utbah, Syaibah
dan Al Wali. Ia dengan gagah mengalahkan lawan duelnya, demikian pula Ali.
Mereka berdua kemudian membantu Ubaidah melawan Utbah.
Syahid di Perang Uhud
Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan merupakan perempuan
yang memiliki dendam terbesar pada Hamzah. Pada perang Badar, ia kehilangan
bapak, paman, saudara dan putanya. Orang menyampaikan kepadanya bahwa Hamzahlah
yang membunuh mereka. Wanita ini paling keras menghasut kaum Quraisy untuk
berperang. Tujuannya untuk mendapatkan kepala Hamzah.
Sebelum terjadinya perang Uhud, Hindun telah lama menghasut
Wahsyi, seorang budak untuk membenci Hamzah. Ia menjanjikan pada Wahsyi jika
berhasil membunuh Hamzah, akan diberi kekayaan dan perhiasan paling berharga,
semua perhiasan emas permata yang ada padanya. Ia pun dijanjikan tak menjadi
seorang budak lagi.
Perang Uhud pecah. Pasukan pemanah tak mengindahkan seruan
Rasulullah agar tak meninggalkan bukit untuk mengambil rampasan perang. Pasukan
muslimin diserang dari belakang dari arah bukit sehingga kucar-kacir. Saat
itulah, Hamzah berjuang mati-matian. Pada saat itu juga, mata Wahsyi selalu
jeli mengarahkan pandangan pada sasaran target tombaknya, Hamzah bin Abdul
Muttalib.
Wahsyi berkisah…
“Saya seorang Habsyi dan mahir melemparkan tombak dengan
teknik Habsyi hingga jarang sekali lemparanku meleset. Tatkala orang-orang
telah mulai berperang, saya pun keluar dan mencari-cari Hamzah. Sehingga
akhirnya tampak di antara manusia tak ubahnya bagai unta kelabu mengancam orang-orang dengan pedangnya
hingga tak seorang pun yang dapat bertahan di depannya.
Maka demi Allah, ketika saya bersiap-siap untuk membunuhnya,
saya bersembunyi di balik pohon agar dapat menerkamnya atau menunggunya supaya
dekat, tiba-tiba saya didahului oleh Siba bin Abdul Uzza yang tampil ke depannya. Tatkala ia tampak oleh Hamzah,
maka serunya, “Marilah ke sini hai anak tukang sunat wanita!” Lalu ditebasnya
hingga tepat mengenai kepalanya.
Ketika itu saya pun menggerakkan tombak mengambil ancang-ancang
hingga setelah terasa tepat, saya lontarkan hingga mengenai pinggang bagian
bawah dan tembus ke bagian muka di antara kedua pahanya. Dicobanya bangkit ke
arahku, tetapi ia tak berdaya lalu rubuh dan meninggal.
Saya datang mendekatinya dan mencabut tombakku lalu kembali
ke perkemahan dan duduk-duduk di sana karena tak ada lagi tugas dan
keperluanku. Saya telah membunuhnya semata-mata demi kebebasan dari perbudakan
yang memilikiku.”
Washyi melanjutkan kisahnya…
“Sesampainya di Mekah, saya pun dibebaskan. Saya tetap
bermukim di sana sampai kota itu dimasuki Rasulullah SAW di hari pembebasan.
Maka saya lari ke Thaif. Tatkala perutusan Thaif menghadap Rasulullah untuk
menyatakan keislamannya, timbul berbagai rencana dalam pikiranku. Kataku dalam
hati, biarlah saya pergi ke Syria, atau Yaman atau ke tempat lain. Demi Allah,
ketika saya berada dalam kebingungan itu, datanglah seseorang mengatakan
kepadaku, “Hai tolol, Rasulullah tak hendak membunuh seseorang yang masuk
Islam!”
Maka pergilah saya mendapatkan Rasulullah SAW di Madinah.
Saya baru tampak olehnya ketika tiba-tiba telah berdiri di depannya mengucapkan
dua kalimat syahadat. Tatkala saya dilihatnya, Beliau bertanya, “Apakah kamu
ini Wahsyi?”
“Benar ya Rasulullah,” ujarku. Lalu sabdanya, “”Ceritakanlah
kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah!” Maka saya ceritakan. Setelah saya
selesai, sabdanya pula, “Sangat menyesal. Sebaiknya engkau menghindarkan perjumpaan
denganku.”
Maka selalulah saya menghindarkan diri dari hadapan dan
jalan yang akan ditempuh oleh Rasulullah SAW agat tidak kelihatan oleh beliau
sampai saat beliau diwafatkan Allah. Tatkala kaum muslimin pergi memadamkan
pemberontakan (nabi palsu) Musailamatul Kadzdzan penguasa Yamamah, saya pun
ikut bersama mereka dan membawa tombak yang saya gunakan untuk membunuh Hamzah
dahulu.
Ketika orang-orang mulai bertempur saya lihat Musailamatul
Kadzhzab sedang berdiri dengan pedang di tangan. Maka saya pun bersiap-siaplah
dan menggerakkan tombak membuat ancang-ancang. Hingga setelah terasa tepat saya
lemparlah dan menemui sasarannya.
Maka sekiranya saya dengan tombak itu telah membunuh
sebaik-baik manusia yaitu Hamzah, saya berharap kiranya Allah mengampuni saya
karena dengan tombak itu pula saya telah membunuh sejahat-jahat manusia
Musailamah!”
Rasulullah SAW Diperintah untuk Bersabar
Perang Uhud usai dan syahidlah Hamzah terkena tombakan
Wahsyi. Penombak itu kembali kepada Hindun mendapatkan perhiasan dan kebebasan
dirinya dari budak dengan membawa hati Hamzah. Kebiadaban pasukan kafir pada
muslimin kala itu memang menyayat hati. Apalagi saat melihat paman tercintanya
Hamzah meninggal dunia, Rasulullah SAW tak tahan menitikkan air matanya. Beliau
bersabda,
“Tak pernah aku menderita musibah seperti ini yang kuderita
dengan peristiwa Anda (Hamzah) sekarang ini…dan tidak satu suasana pun yang
lebih menyakitkan hatiku seperti suasana sekarang ini.”
Sambil menoleh ke arah para sahabat Rasulullah SAW bersabda,
“Sekiranya Shafiah, saudara perempuan Hamzah- takkan berduka
dan tidak adak menjadi sunnah sepeninggalku nanti, akan kubiarkan ia mengisi
perut binatang buas dan tembolok burung nasar! Tetapi sekiranya aku diberi
kemenangan oleh Allah di salah satu medan pertempuran dengan orang Quraisy,
akan kuperbuat sebagai yang mereka perbuat, terhadap tiga puluh orang laki-laki
di antara mereka.”
Para sahabat berseru,
“Demi Allah, sekiranya pada waktu nanti kita diberi
kemenangan oleh Allah terhadap mereka, akan tiba cincang mayat-mayat mereka
seperti yang belum pernah dilakukan oleh seorang Arab pun.”
Belum beranjak Rasulullah dari tempatnya, turunlah wahyu
dari Allah SWY untuk tetap bersabar.
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang
baik, dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang utama. Sesungguhnya Rabb
kalian lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan ia lebih mengetahui
siapa-siapa yang beroleh petunjuk… Jika kalian hendak membalas, balaslah seperti
yang telah dilakukan mereka kepada kalian dan jika kalian bersabar, maka itu
memang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.
Dan bersabarlah kamu, dan kesabaranmu itu takkan tercapai
kecuali dengan pertolongan Allah, serta jangan kamu berduka cita atas mereka,
serta janganlah sesak nafas karena tipu daya yang mereka lakukan. ..
Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang taqwa serta
orang-orang yang berbuat baik.” QS An Nahl 125-128
Tangisan Para Wanita
Saat pulang dari medan perang, wanita-wanita Bani Abdil
Asyhal menangisi syuhada yang gugur. Dengan amat santun dan sayang, Rasulullah
SAW bersabda,
“Tetapi Hamzah tak ada wanita yang menangisinya…”
Hal ini terdengar oleh Sa’ad bin Mu’adz. Ia menyangka
Rasulullah akan senang jika ada wanita yang menangisi pamannya. Ia mendatangi
wanita Bani Asyhal dan meminta mereka menangisi Hamzah. Mereka pun menangislah.
Rasulullah SAW mendengar tangisan mereka dan sabdanya,
“Bukan ini yang saya maksudkan, pulanglah kalian semoga
Allah memberi kalian rahmat dan tak boleh menangis lagi setelah hari ini!”
Selain wanita yang menangis, para sahabat juga membuat syair
kesedihan untuk Hamzah. Hasan bin Tsabit menuliskan,
“Tinggalkan masa lalu yang penuh berhala
Ikuti jejak Hamzah yang bergelimang pahala
Penunggang kuda di medan laga
Bagaikan singa yang terluka di hutan belantara
Seorang warga Hasyim mencapai yang cemerlang
Tampil ke medan laga membela kebenaran
Gugur sebagai syahid di medan pertempuran
Di tangan Wahsyi pembunuh bayaran”
Abdullah bin Rawahah menuliskan,
“Air mata mengalir tak ada hentinya
Walau ratap dan tangis tak ada artinya
Bagimu wahai Singa Allah kami tafakur
Sambil bertanya Hamzahkah yang gugur
Ujian telah menimpa kami hamba Allah
Begitu pula Muhammad Rasulullah
Dengan kepergianmu benteng musuh berantakan
Dengan kepergianmu tercapailah tujuan.”
Dan berkatalah pula Shafiyah binti Abdul Mutthalib yaitu
bibi Rasulullah SAW dan saudara Hamzah,
“Ilahi rabbi pemilik Arsy telah memanggil datang
Ke dalam surga tempat hidup bersenang-senang
Memang itulah yang kita tunggu dan selalu harapkan
Hingga di yaumul mahsyar Hamzah beroleh tempat yang lapang
Demi Allah selama angin Barat berhembus daku takkan lupa
Baik di waktu bermukim maupun bepergian ke mana saja
Selalu berkabung dan menangisi Singa Allah Sang Pemuka
Pembela Islam terhadap setiap kafir orang angkara
Sementara daku mengucapkan syair keluargaku sama berdoa
Semoga Allah memberimu balasan wahai saudara, wahai pembela.
Tetapi ratapan terbaik yang mengharumkan kenangan terhadap
dirinya ialah kata-kata Rasulullah SAW saat berdiri di depan jasad Hamzah
sewaktu dilihatnya berada di antara para syuhada pertempuran.
“Melimpahlah atasmu Rahmat ar Rahim
Akulah saksi bagimu di hadapan Al Hakim
Engkaulah pendekar penyambung silaturahim
Berbuat kebaikan pembela yang zalim”
Salam atasmu Hamzah bin Abdul Mutthalib. Salam atasmu para syuhada.
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 6: Salman Al Farisi
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 7:Zubair bin Awwam
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 8: Abu Dzar Al Ghifari
Kisah Sahabat Rasulullah SAW 9: Hudzaifah ibnul Yaman