Kisah Sahabat Rasulullah SAW 5: Thalhah bin Ubaidillah

Thalhah bin Ubaidillah dijuluki si syahid yang hidup. Thalhah pada masa perang Uhud telah berani mengorbankan nyawanya demi melindungi Rasulullah SAW yang kala itu telah terluka. Lebih dari 70 tikaman tombak dan tebasan pedang melukai Thalhah demi melindungi Rasul. Namun, Thalhah yang terluka parah tetap hidup. 

Al Quran menjelaskan orang-orang seperti Thalhah: “Di antara orang-orang mukmin itu terdapat sejumlah laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka ada yang memberikannya nyawanya, sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya sedikit pun jua.” QS 33 Al Ahzab 23

Setelah membaca ayat itu Rasulullah  menunjuk kepada Thalhah Bin Ubaidillah sambil berkata:

“Siapa yang suka melihat seorang laki-laki yang masih berjalan di muka bumi, padahal ia telah memberikan nyawanya, maka hendaklah ia memandang Thalhah.”

Masuk Islam Dibantu Abu Bakar ra. 


Dalam perjalanannya berniaga ke kota Bushra, Thalhah bertemu dengan seorang pendeta yang amat baik. Di waktu itu sang pendeta memberi tahu padanya, bahwa Nabi yang akan muncul di tanah Haram, sebagaimana telah diramalkan akan segera datang. Maka tibalah Thalhah di Mekah setelah beberapa bulan menetap di Bushra, ia mendengar bisik-bisik mengenai Muhammad Al Amin.

Thalhah bertanya kepada Abu Bakar yang baru saja pulang dengan kafilah dan barang perniagaannya.  Setelah berbincang sejenak, Abu Bakar mengantarkan Thalhah kepada Rasulullah SAW.  Thalhah hendak berjanji setia kepadanya sehingga menjadikannya diantara orang-orang yang pertama masuk Islam.

Setelah masuk Islam, Thalhah yang termasuk terpandang sebagai hartawan besar dengan perniagaan pun tak luput dari penganiayaan kaum Quraisy. Ia dilindungi oleh Naufal bin Khuwailid, paman dari istri Rasul Khadijah. Sampai akhirnya Thalhah pun ikut hijrah ke Madinah.

Saat perang Badar, Thalhah tak bisa turut berperang. Ia diutus ke luar kota oleh Rasulullah SAW bersama Said bi Zaid. Sekembalinya dari sana, mereka yang berperang juga baru tiba dari perang Badar. Meskipun tak ikut berperang, Thalhah mendapatkan rampasan perang seperti yang lainnya.

Pelindung Rasulullah SAW di Perang Uhud

Kisah pahit peperangan Uhud terjadi ketika pasukan panah turun meninggalkan kedudukan mereka tak menghiraukan perintah Rasulullah SAW hanya untuk memperebutkan harta rampasan. Tiba-tiba pasukan Quraisy menyerang dari belakang dengan mendadak. Pasukan muslim kucar-kacir. Nabi menjadi sasaran utama dan sempat terluka.

Thalhah yang melihat bahaya menimpa Rasulullah bergerak cepat. Ia menebas jalan, menghalau tombak, menikam pedang, demi melindungi Nabi. Ia lompat dari kudanya, menepis pedang-pedang yang mengarah kepada Rasulullah yang saat itu telah terluka di bagian wajahnya.

Demikianlah Thalhah sang pelindung Nabi. Berkat ketangkasannya, ia memapah Rasulullah SAW dengan tangan kirinya, dan menebas pedang dengan tangan kanannya.  Ia menyerang semua musyrik yang berkeliling di sekitar Rasulullah SAW yang jumlahnya  banyak.

Aisyah ra menceritakan apa yang digambarkan ayahnya Abu Bakar Shidiq ra mengenai Thalhah:
“Itu semuanya adalah hari Thalhah! Aku adalah orang yang mula-mula mendapatkan Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, “Tolonglah saudaramu itu…Thalhah!” Kami lalu menengoknya, dan ternyata pada sekujur tubuhnya terdapat lebih dari tujuh puluh luka berupa tusukan tombak, sobekan pedang dan tancapan panah, dan ternyata pula anak jarinya putus, maka kami segera merawatnya dengan baik.”

Thalhah Si Baik Hati


Pada semua medan tempur, Thalhah selalu berada di barisan terdepan mencari keridhaan Allah dan membela bendera Rasul. Usai berperang di medan laga, ia akan kembali ke pekerjaannya sebagai pedagang. Perniagaannya selalu berkembang pesat, dan ia banyak menyumbangkan hartanya. Rasulullah menyebutnya, “Thalhah si baik hati”.

Istri Thalhah, Su’da bin Auf bercerita mengenai suaminya. Suatu hari ditemukannya Thalhah sedang sedih. “Ada apa?” kataku. Maka ia menjawab, “Soal harta yang ada padaku ini, semakin banyak juga, hingga menyusahkanku dan menyempitkanku.” Aku berkata, “Tidak jadi soal, bagi-bagikan saja.” Lalu ia berdiri memanggil orang banyak kemudian membagi-bagikannya sehingga tak ada yang tinggal sedirham.

Suatu kali pernah ia menjual sebidang tanah dengan harga yang tinggi. Setelah itu, dilihatnya tumpukan uangnya dan ia menangis. “Sungguh jika seseorang dibebani memiliki harta yang segini banyaknya dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pasti akan mengganggu ketentraman ibadah kepada Allah.”  Thalhah kemudian berkeliling membawa hartanya bersama sahabat dan membagi-bagikannya sampai siang sehingga tak tersisa.

Jabir bin Abdullah menggambarkan pula kepemurahan Thalhah dengan berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih dermawan dengan memberikan hartanya yang banyak tanpa diminta terlebih dahulu daripada Thalhah bin Ubaidillah.”

Thalhah adalah seorang yang banyak berbuat baik kepada keluarga dan kerabat. Ia menanggung nafkah mereka. Ia menanggung kebutuhan, mencukupi belanja, menikahkan anak yatim, dan melunasi hutang orang yang berhutang.

As Saib bin Zaid menceritakan, “Aku telah menemui Thalhah baik dalam perjalanan maupun waktu menetap, maka tak pernah kujumpai seseorang yang lebih merata kepemurahannya baik mengenai uang, kain atau makanan daripada Thalhah.”

Thalhah mendapat julukan, Asy Syahidul  Hayy (syahid yang hidup), Al Khair (yang baik), Al Jauh (yang pemurah), Al  Fayyadh (yang dermawan).

Tetangga Rasulullah dalam Surga


Setelah khalifah Ustman bin Affan terbunuh, bermunculanlah perpecahan kaum muslimin kala itu. Thalhah sempat berada dalam perpecahan dan menjadi mereka yang membela kaum yang menuntut Khalifah Ali bin Abi Thalib atas kematian Ustman.  Namun khalifah Ali mengingatkan Thalhah yang kala itu bersama Zubair, akan pesan Rasulullah SAW.

Ali berkata kepada Zubair yang juga didengar Thalhah. “Hai Zubair aku minta kau jawab karena Allah. Tidakkah engkau ingatm du suatu hari Rasulullah lewat di depanmu dan berkata kepadamu, “Wahai Zubair tidakkah engkau cinta kepada Ali?” Maka jawabmu, “Masak aku tidak cinta kepada saudara sepupuku, anak bibi dan anak pamanku, serta orang satu agama denganku?” Beliau Rasulullah SAW menjawab, “Hai Zubair, demi Allah bila engkau memeranginya jelas engkau berlaku zalim kepadanya.” Berkatalah Zubair, “Yah aku ingat, hampir aku melupakannya. Demi Allah aku tak akan memerangimu.” Demikian kata Zubair kepada Ali. Zubair dan Thalhah mundur dari perpecahan dan tak lagi memusuhi Ali.

Mundurnya Thalhah ini justru menjadi ancaman bagi keduanya. Mundurnya Thalhah dan Zubair dari perpecahan yang menentang khalifah Ali harus ditebus dengan nyawanya. Zibair dibunuh seorang yang mengikutinya bernama Amru bin Jarmuz sedangkan Thalhah dibunuh dengan panah oleh Marwan bin Hakam.

Sewaktu Ali meninjau orang-orang yang gugur sebagai syuhada di medan perang, semua mereka disholatkan. Tatkala ia berada di makam Thalhah dan Zubair, ia berdiri melepas keduanya dengan kata-kata indah. “Sesungguhnya aku amat mengharapkan agar aku bersama Thalhah dan Zubair dan Ustman, termasuk di antara orang-orang yang difirmankan Allah:

“Dan Kami cabut apa yang bersarang dalam dada mereka dari kebencian sebagai layaknya orang bersaudara, dan di atas pelaminan mereka bercengkerama berhadap-hadapan…” QS Al Hijr 47

Kemudian Ali berkata, “Kedua telingaku ini telah mendengar sendiri sabda Rasulullah SAW. Thalhah dan Zubair tetanggaku dalam surga…”

Salam untukmu Thalhah Bin Ubaidillah. Salam untukmu para syuhada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Taubatnya Sang Pencuri Kain Kafan